Syarat administrasi menjadi salah satu kendala utama.
Serapan anggaran Pemprov Bali untuk meringankan biaya pendidikan khususnya perguruan tinggi negeri dan swasta ternyata masih rendah. Dari anggaran Rp 22,5 miliar, hanya Rp 13,8 miliar yang terserap. Alias hanya 61 persen saja.
Hal itu terungkap dalam diskusi publik secara daring (online) yang digelar kolaborasi BaleBengong, SAKTI, LBH, dan AJI Denpasar, Selasa, 7 Juli 2020 lalu.
“Usulan dari PTN/ PTS realisasinya Rp 13.801.900.000,” ujar Sekretaris Dinas Pendidikan Pemuda dan Olah Raga Provinsi Bali, I Ketut Sudarma yang menjadi pembicara pertama. Jumlah mahasiswa yang menerima bantuan, lanjut Sudarma, juga tidak mencapai kuota. Dari kuota bantuan maksimal Rp 1,5 juta untuk sekitar 15 ribu mahasiswa, cuma terealisasi 9.490.
Selain Sudarma, diskusi ini juga menghadirkan beberapa pihak lain. Antara lain Wakil Rektor IV Unud, Prof Ida Bagus Wyasa Putra; Wakil Rektor Bidang Akademik Undiknas, Dr Ni Wayan Widhiastini; juga diikuti sejumlah perwakilan dari BEM Unud, dan sejumlah organisasi kemahasiswaan di Bali. Diskusi dipandu Seira.
Prof Wyasa menyebutkan, dengan kuota 3.250 mahasiswa penerima BST pendidikan di Unud, hanya 1.065 yang mengajukan kepada pihak rektorat. Setelah melalui verifikasi, hanya 373 mahasiswa yang memenuhi syarat. Menurut Wyasa, banyak mahasiswa yang tidak memenuhi syarat yang diatur dalam Peraturan Gubernur Nomor 15 tahun 2020 tentang Paket Kebijakan Percepatan Penanganan Covid-19 di Provinsi Bali.
“Di antaranya kriteria KTP Bali dan surat PHK yang tidak terpenuhi,” ujarnya.
Dr Widhiastini juga menyampaikan bahwa kuota penerima BST PT di Undiknas juga tidak terpenuhi. Bahkan, akunya, pada awalnya susah mencari mahasiswa untuk memenuhi kuota tersebut. Setelah melakukan upaya akhirnya tercapai data 280 mahasiswa yang memenuhi syarat, dari 320 yang mengajukan usulan. Padahal kuota untuk Undiknas lumayan banyak, yakni 400 mahasiswa.
Beberapa peserta diskusi mempersoalkan kriteria yang terkesan diskriminatif. Seperti disampaikan Ufiya Amirah, dari Komunitas Aspirasi Mahasiswa Udayana (KAMU), yang menyampaikan banyak keluhan mahasiswa tidak bisa mendapatkan BST PT padahal kuota yang diberikan cukup banyak.
Dia menyatakan, kriteria penerima BST juga condong bagi buruh (formal). Sedangkan bagi mahasiswa yang orang tuanya sebagai petani, pedagang toko kelontong, atau nelayan tidak bisa memenuhi syarat. Hal ini juga ditanyakan Direktur LBH Bali, Kadek Vany Primaliraning yang menyebut Pergub 15/2020 lebih menekankan pekerja formal, sedangkan pekerja informal tidak mendapatkan tempat.
Menanggapi hal tersebut, Sudarma menyatakan pihaknya hanya menjalankan aturan. Dalam Pergub 15/2020 memang diatur kriteria penerima BST PT adalah pekerja formal yang dibuktikan dengan surat PHK, dirumahkan atau kehilangan penghasilan. “Karena kami perlu aspek legal formal,” katanya memberi alasan.
Presiden BEM Unud, Dewa Gede Satya Ranasika Kusuma menekankan waktu sosialisasi dan pengisian kelengkapan untuk mendapatkan BST PT yang terlalu pendek membuat banyak mahasiswa yang tidak tertampung dalam penerima BST ini. Lima hari adalah waktu yang pendek, katanya. Namun, Wyasa membantah. Ia tetap pada pendapat di awal bahwa kuota tak terpenuhi karena banyak mahasiswa yang tidak memenuhi kriteria.
Sekretaris AJI Denpasar, Yoyo Raharyo menanyakan mengapa penerima BST PT dikriteriakan yang bukan penerima jaring pengaman sosial (JPS), padahal tujuan keduanya berbeda. BST PT adalah untuk kelanjutan pendidikan, sedangkan JPS adalah kebutuhan hidup sehari-hari warga karena dampak Covid-19.
Menurut Sudarma, dalam Pergub 15/2020 sebetulnya menyebutkan klausul bahwa kriteria penerima BST PT “diprioritaskan” bagi mahasiswa yang orang tuanya tidak menerima JPS. Dengan kata lain, Sudarma menjelaskan bahwa ketika kuota tidak terpenuhi sesuai yang diprioritaskan, maka bisa untuk yang lain.
“Diprioritaskan yang tidak mendapat JPS. Kalau kuota tidak terpenuhi, maka untuk yang lain, untuk memenuhi kuota,” tuturnya, namun ia tak menegaskan apakah dengan demikian penerima JPS bisa menerima BST PT.
Luh De Suriyani, pengelola BaleBengong menanyakan apakah akan ada kloter berikutnya dengan mempertimbangkan banyak masukan belum terakomodasinya pekerja dari sektor informal, mengingat masih ada anggaran yang belum terserap. Prof Wyasa menyatakan hal tersebut tergantung kebijakan Pemprov Bali. Sedangkan Sudarma belum bisa memastikan.
“Kami akan melakukan evaluasi, dan dibuat masukan secara berjenjang ke pimpinan (gubernur),” jelas Sudarma memungkasi diskusi yang berlangsung selama dua jam ini. [b]
Comments 1