I Made Sanggra membawa kehidupan sastra Bali memasuki babak baru.
Dialah sastrawan Bali pertama yang meraih hadiah Sastra Rancage pada 1998, melalui kumpulan sajaknya “Kidung Republik”. Selain Sanggra, penghargaan jasa diberikan pula kepada Nyoman Manda.
Diikutkannya sastra Bali modern sebagai salah satu penerima hadiah Sastra Rancage oleh Ayip Rosidi kala itu turut membawa hal baru bagi sastra Bali.
Sejalan hal itu, Sandyakala #46 yang digelar Bentara Budaya Bali kali ini secara khusus mengetengahkan tema “Seputar Sastra Bali Modern dan Rancage”. Dialog sastra tersebut akan diselenggarakan pada Jumat (25/9) pukul 18.30 WITA di Jl. Prof. Ida Bagus Mantra No.88A, Ketewel, Gianyar.
Hadir sebagai pembicara adalah kritikus Prof. Dr. Nyoman Darma Putra, M.Litt dan sastrawan Dewa Gede Windhu Sancaya. Keduanya akan bertimbang perihal perkembangan sastra Bali modern dan upaya Yayasan Rancage pimpinan budayawan Ajip Rosidi, terutama terkait upaya medorong lahirnya karya-karya berbahasa Ibu, tak terkecuali bahasa Bali.
Menurut Nyoman Darma Putra yang juga Guru Besar Sastra Indonesia di Universitas Udayana, hadiah Sastra Rancage merupakan salah satu pilar penting penunjang kehidupan sastra berbahasa Ibu di Indonesia, termasuk bahasa Bali.
“Jika tidak ada Hadiah Sastra Rancage, kemungkinan besar sastra Bali modern tumbuh tidak segayeng saat ini,“ ungkapnya.
Sejak lahirnya sastra Bali modern tahun 1910-an, sejarah sastra ini memiliki gap, kesenjangan, atau naik-turun karena sedikitnya karya dan sepinya peminat. Perjalanan sastra Bali modern yang terseok-seok itu boleh dikatakan berlangsung sampai tahun 1980-an.
Penulis-penulis Bali kian menyambut anugerah sastra Rancage lewat karya. Banyak yang kemudian menerbitkan buku-buku sastra seperti kumpulan puisi, cerpen, dan novel. Sejak tahun 2000, rata-rata buku sastra Bali modern yang terbit sekitar delapan judul. Walau kecil, tetapi buku-buku itu membuat perkembangan sastra Bali modern cukup stabil.
Setelah 17 tahun diikutkan sebagai penerima hadiah sastra Rancage, sudah ada 20-an sastrawan Bali modern yang meraih hadiah sastra Rancage, baik atas buku yang ditulisnya, maupun atas jasanya dalam pengembangan bahasa dan sastra Bali.
Beberapa nama yang dapat disebut antara lain; I Made Sanggra, Nyoman Manda, I Komang Beratha, I Ketut Rida, I Gde Darna, I Ketut Suwija, Jelantik Santha, IDK Raka Kusuma, I Gusti Putu Bawa Samar Gantang, Nyoman Tusthi Eddy, Dewa Gede Windhu Sancaya, I Made Taro, I Wayan Sadha (alm), Ida Bagus Darmasuta, I Wayan Westa, I Made Sugianto, dan masih banyak lagi.
“Para sastrawan Bali tersebut dan karya-karya yang diciptakan adalah tulang-punggung kehidupan sastra Bali modern,“ sebut Darma Putra.
Lebih lanjut ia menyebutkan bahwa selama ini kehidupan sastra di Bali sejatinya bersifat heterogen, terdiri dari paling tidak tiga kategori sastra. Ketiganya hidup berdampingan dengan ranah berbeda-beda tetapi secara bersama-sama menyemarakkan kehidupan seni sastra di Bali.
Ketiga kategori sastra tersebut antara lain; pertama, sastra Indonesia dengan jenis novel, puisi, dan drama, kedua, sastra Bali yaitu sastra yang ditulis dalam bahasa Bali atau Jawa Kuna dalam bentuk-bentuk tradisional seperti geguritan, kidung, kakawin, serta ketiga sastra Bali modern, yaitu sastra yang ditulis dalam bahasa Bali namun bentuknya modern sama dengan bentuk-bentuk sastra Indonesia, seperti puisi, cerpen, novel, dan drama.
Pada kesempatan dialog ini, Bentara Budaya Bali juga akan mengundang para pemenang Rancage guna berbagi pandangan dan pengalaman.
Prof. Dr. I Nyoman Darma Putra, M.Litt., adalah Guru besar sastra Indonesia, Fakultas Sastra Universitas Udayana. Dia menyelesaikan pendidikan doktor di School of Languages and Comparative Cultural Studies, The University of Queensland, Australia, 2003. Bukunya yang baru terbit adalah A Literary Mirror, Balinese Reflections On Modernity And Identity In The Twentieth Century (Leiden, KITLV Press, 2011).
Karyanya yang lain adalah Wanita Bali Tempo Doeloe Perspektif Masa Kini (2007), Bali dalam Kuasa Politik (2008), dan Tonggak Baru Sastra Bali Modern (2010). Tulisannya“Getting Organized; Culture And Nationalism In Bali, 1959-1965” terbit dalam Jennifer Lindsay dan Maya H.T. Liem (eds) Heirs To World Culture; Being Indonesian 1950-1965, pp.315-42 (KITLV Press: 2012) dan versi bahasa Indonesia berjudul Ahli Waris Budaya Dunia : Menjadi Indonesia 1950-1965(Denpasar: Pustaka Larasan dan KITLV Jakarta, 2011).
Drs. I Dewa Gede Windu Sancaya, M.Hum. dosen Sastra Bali Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Udayana ini juga adalah sastrawan peraih Penghargaan Sastra Rancage, melalui buku kumpulan puisi berbahasa Bali “Coffe Shop”. Dosen yang tengah menyelesaikan program doktornya ini dikenal sebagai sastrawan bahasa Bali dengan tema-tema karya yang mencoba mengangkat peralihan antara masyarakat Bali yang agraris-komunal menuju era industri yang lebih individual.
Ia juga aktif di berbagai organisasi sosial budaya di Bali, turut membina perkembangan susastra di Bali, termasuk aktif di lembaga-lembaga pemberdayaan masyarakat, khususnya di Bina Antara Budaya, yang menyiapkan pelajar atau mahasiswa Bali untuk berkesempatan memperoleh beasiswa belajar ke Amerika, Eropa dan beberapa negara Asia. Ia juga sering bertindak sebagai editor buku. [b]