Ada sembilan karya seri “Imagination” diunggah dalam pameran ini.
Karya berukuran 30 x 25 cm (2021) itu dibuat dengan media cat minyak di kanvas. Ida Bagus Putu Purwa mengelaborasi konsep kuratorial yang mengetengahkan soal akar tinggal (rimpang). Akar yang disebut juga rizoma ini sebenarnya batang yang tumbuh dan menjalar di bawah permukaan tanah. Rizoma bisa dilihat pada jahe, kunyit, lengkuas, temulawak dan kencur.
Rizoma atau rimpang diniscayai sebagai bentuk an sich. Sebagai elemen rupa saja. Dengan leluasa, dia mencangkokkan bentuk-bentuk yang mirip rimpang itu ke benda-benda yang sering kita jumpai sehari-hari. Misalnya sepatu, jamur shitake, kran air, gelungan tari bahkan pada badan manusia yang mengenakan jas dan berdasi. Dia biarkan imajinasinya liar tanpa kendali logika.
Yang menarik dari pencangkokan ini adalah penggabungan dua karakter benda. Sebuah kran air menempel di tumbuhan seperti kaktus, misalnya. Benda-benda itu membawa karakter masing-masing, membawa sejarahnya, membawa fitrahnya. Latar belakang dan sifat benda-benda tersebut bisa saja bertentangan, tidak harmonis. Gus Purwa memaknai benda itu sebagai bentuk atau rupa, meluruhkan fitrahnya, menghubungkan satu sama lain.
Lukisan-lukisan Ida Bagus Putu Purwa bisa dijumpai bersama karya Made Budiadnyana, Wayan Paramarta dan AA Ngurah Paramartha di Rumah Paros, Banjar Palak, Sukawati. Pameran berlangsung pada 2 – 9 April 2021.
Kubisme
Saya mengenal nama Made Budiadnyana cukup lama. Dia sangat konsisten di genre kubisme. Berdasarkan pengakuannya, dia tertarik kubisme selepas kuliah di STSI, Denpasar. Lukisan bercorak kubistisnya sempat mengisi pameran 100 finalis kompetisi seni lukis Philip Morris.
Dia terinspirasi karya Nyoman Tusan dan Picasso. Namun begitu, visual karyanya jauh berbeda dari karya mereka berdua. Budi jarang sekali menggunakan lengkungan atau bulatan untuk memotong objek seperti halnya Picasso maupun Tusan. Inti ketertarikan dia adalah pada geometrik. Dia terobsesi memecah gagasan menjadi bidang-bidang, faset-faset. Seolah ingin mendalami unsur objek dengan membedahnya, mengiris-irisnya.
Objek yang dihadirkan di karyanya sangat sederhana. Faset-faset atau irisan-irisan justru memunculkan kesan dinamis. Objek sederhana jadi terasa berisi, padat. Dalam melukis dia memakai kuas dan pisau palet atau scrab. Dia menggunakan cat minyak dan acrylic. Masing-masing bahan memiliki karakter dan dia merasa ‘enjoy’ dengan kedua bahan tersebut.
Garis-garis yang ditorehkan terkesan liris. Ada yang tajam dan mengabur. Sapuan cat basah, tebal maupun tipis, tekstur semu sebagai efek dari peneraan cat dengan keenceran tertentu memunculkan kesan ilusif. Lukisan seri wajahnya mengesankan sebagai refleksi diri. Sebuah laku meditasi, masuk ke dalam diri, membongkarnya. Berdialog dengan diri, sebuah sikap introspeksi yang sangat diperlukan pada masa sekarang.
Pada lukisan AA Ngurah Paramartha guratan-guratan menumpuk di bidang datar. Menimbulkan citra relief. Pulasan berbagai warna menyisakan warna dasar gelap sebagai kontur. Di dalam tiap bidang kita bisa menyaksikan tumpukan warna berlapis-lapis. Dari warna tua ditimpa warna medium, kemudian warna muda atau terang di lapisan berikut dan putih sebagai highlight.
Torehan-torehan cat dengan menggunakan pisau palet ini mengingatkan pada drawing dengan garis-garis yang riuh. Teknik menggunakan pisau palet menciptakan kesan ekspresif.
Bentuk pada lukisan Ngurah Paramartha mengalami distorsi. Tentu pencapaian ini didahului oleh studi yang intens. Bentuk jadi terlihat sederhana. Anatomi dan proporsi didekonstruksi. Ngurah ingin menghadirkan nilai idealnya sendiri. Di semua lukisannya yang dipamerkan, tak saya temukan perspektif dan tone (warna jauh dekat). Citraan dibuat datar. Warna disusun dari bidang tiap objek.
Karya-karyanya merefleksikan interaksi terhadap lingkungan dan kebersamaan.
Isolasi
Pandemi dengan pembatasan-pembatasannya menjadi perenungan Wayan Paramarta. Program belajar mengajar dengan tatap muka langsung berhenti total. Bergeser ke belajar mengajar daring, sekolah dari rumah. Aktivitas anak di luar rumah juga berkurang karena orangtua tentu sangat khawatir akan kesehatan anaknya.
Virus COVID-19 diviralkan sangat mudah menular, informasi ini menyebarkan virus baru yaitu ‘ketakutan’. Masyarakat dihimbau berkegiatan di rumah saja, mengurangi aktivitas di luar rumah. Kebijakan ini tentu berdampak pada kondisi psikologis anak-anak. Tiga karya Wayan Paramarta sangat jelas mengekspresikan ini.
Wayan Paramarta mengamati kehidupan di dalam rumahnya, terutama aktivitas anaknya yang tentu ini juga mewakili kegelisahan banyak orangtua selama pandemi. Dia menyiapkan sebuah kotak transparan dari bahan flexyglass berukuran 49,5 x 39,5 x 6 cm. Kotak ini tertutup rapat, menggambarkan sebuah ruang isolasi. Di latar depan disematkan potret anaknya yang dilukis dengan bahan cat minyak sebagai penanda pemilik ruang tersebut.
Di dalam kotak diisikan berbagai benda. Ada boneka gurita, boneka berbagai aksi dan tema, gambar, lego, benda-benda mainan lainnya yang semua itu milik sang anak. Benda-benda itu disusun sedemikian rupa. Pertimbangan komposisinya dengan sendirinya akan menghadirkan dinamika yang memperkuat karya. Benda-benda ini penanda perjalanan hidup si pemiliknya. Benda-benda itu menjadi sebuah diari. Karya ‘Home Series’ bertarikh 2020 ini sebagai sebuah renungan.
Tentu kita masih ingat video yang sempat viral di awal pandemi tentang seorang anak perempuan yang meminta orangtuanya untuk mengantarnya ke sekolah. Sambil memegangi pintu gerbang sekolah yang tertutup rapat, dia menangis. Dia ingin sekolah. Rindu kepada teman-temannya sementara sekolah libur panjang karena pandemi COVID-19.
Anak tetangga saya yang baru menapaki proses belajar mengajar di sekolah, baru mendapatkan teman, mengalami kegelisahan yang sama ketika komunikasi dan interaksi dengan teman dan gurunya terputus.
Dampak psikologis anak-anak negeri ini mungkin tidak seserius di negara yang menerapkan lockdown. Dari beberapa curhatan orangtua, anaknya malah enggan ke sekolah andaikan sekolah sudah mulai dibuka. Seiring berjalannya waktu anak merasa nyaman dengan kondisi sekarang. Anak tak perlu bangun pagi. Pada proses belajar daring, orangtuanya yang mengerjakan PR sementara sang anak sibuk bermain. Kondisi begini tentu berpengaruh buruk pada kejiwaan anak.
Benang Merah
Benang merah yang menghubungkan karya keempat pelukis adalah karya-karya yang dipamerkan dikerjakan pada masa pandemi. Masa-masa pergolakan batin dan pikiran terkait kondisi kehidupan kini maupun di waktu ke depan.
Hal lain ialah adanya muatan persoalan komunikasi dan interaksi yang menjadi kasus serius. Tengara ini bisa ditemui pada karya With You, Together, Grow Up dan Stay in The Morning milik AA Ngurah Paramartha, pada Dialog, Figur and Cat, Memegang (bermain) Gitar, Seri Wajah karya Made Budiadnyana, pada ‘Home Series’ Wayan Paramarta dan seri ‘Imagination’ Ida Bagus Putu Purwa.
Secara eksplisit karya-karya Made Budiadnyana, AA Ngurah Paramartha dan Wayan Paramarta tidak nampak kaitannya dengan tema Rizoma. Namun, secara implisit bisa dilihat mereka memiliki akar tinggal yang semakin kuat sepanjang proses berkeseniannya. Seperti halnya rizoma yang memiliki kemampuan untuk menyimpan cadangan makanan seperti pati, protein, dan nutrisi lainnya, semoga akar tinggal keempat pelukis dapat menumbuhkan tunas dan akar baru dari ruas-ruasnya dan memunculkan tumbuhan baru. [b]