Semangat anak muda hidup progresif dan semangat anak muda hidup jaen.
Saya diminta mengisi tentang respon dan imajinasi anak muda dalam perubahan Bali. Entah kenapa saya suka menyampaikan sesuatu dengan bercerita. Maka, saya akan bercerita tentang sensitivitas pemuda global Bali terhadap Bali saat ini dari observasi kecil-kecilan yang saya lakukan.
Keinginan mengerjakan tulisan di kafe kembali dan saya mengerjakan tulisan ini di satu rantai kafe ternama di Bali di satu mall yang berada di pojokan jalan besar. Setiap kali kembali kesini, saya selalu bertanya: siapa sebenarnya yang ke kafe ini di kota Denpasar?
Pengunjungnya sepertinya ada pebisnis atau freelancer dengan laptop-laptopnya, dan tidak ketinggalan yang lagi buat tugas sekolah atau kuliah (dengan umur saya sekarang, kadang tidak bisa membedakan yang mana mereka karena berdandannya hampir sama dan pasti punya smartphone di tangan), atau cuma demi koneksi Wi-Fi ia bermain game online.
Rasanya, umur mereka, tidaklah jauh dari umur saya yang hampir kepala tiga. Yang pasti, tidak ketinggalan, ada saja yang berusaha mengambil swafoto dengan minuman kafe tersebut maupun dirinya saja, yang nantinya kemungkinan besar akan ada di media sosialnya dan mengisi tag location (tanda lokasi) di kafe ini.
Membaca satu paragraf di atas tersebut, mungkin menjadi satu hal yang anda sering lihat juga. Dan berasumsi kemungkinan besar yang begitu adalah anak muda, lalu bisakah kita memukul rata bahwa sensitivitas pemuda Bali sebatas swafoto yang akan beredar di internet yang global itu?
Rasanya dangkal sekali mengatakan itu. Tetapi, begini.
Poin pertama: Di satu sisi, yang namanya anak muda, pasti punya hasrat – suka cewek, suka cowok, atau yang masih suka dibicarakan secara tabu sampai saat ini, sesama jenis. Dan dengan media sosial dan internet yang telah memudahkan kita semua untuk mencari segala hal di saat ini – hasrat tersebut menjadi salah satunya. Ada upaya-upaya unjuk diri, sengaja ingin dicari, dan ada yang mencari melalui tagar atau hashtag.
Saya tidak tahu, ini harusnya menyenangkan atau menakutkan. Karena rasanya pernyataan dangkal sebelumnya itu ada benarnya. Lalu, di sisi lainnya, saya yakin banyak lapisan di dalamnya – dengan dia ambil foto itu dengan handphone miliknya, handphone harusnya dibeli untuk apa ya? Handphonenya beli dengan gaji sendiri atau dibeliin orang tua? Kalau orang tua, harapan orang tuanya bagaimana sebenarnya dengan dia memiliki handphone itu?
Poin kedua: Mungkin ini pertanyaan yang terlalu berjarak, tetapi apakah para orang tua, ataupun para anak muda ini, mengenal yang namanya Global Village yang pernah ditekankan oleh pakar studi media, Marshall McLuhan?
Sejak tahun 2001 saya aktif berinternet di Indonesia. Masih dial-up, sambungan telepon rumah harus putus dulu baru bisa internetan. Yang dicari lewat laptop saat itu? Informasi tentang film kesukaan, kecuali bisa ke warung internet atau warnet, tapi uang saku harus keluar.
Tahun 2004, sempat tinggal jauh dari Indonesia, namun internet di negara itu sudah broadband, tidak mengganggu telepon rumah, dan bisa dipakai sepanjang hari. Komputer direkomendasikan ada di rumah karena bahan belajar sekolah juga ada di internet.
Apalagi saya di jenjang yang akan ujian nasional dan sudah ketinggalan pelajaran. Media sosial pun memudahkan saya berkomunikasi dengan teman-teman di Indonesia, maka mulai mengenal kita harus buat profil, berteman lewat internet, adanya messenger untuk berbincang, forum-forum online, dan seterusnya.
Tahun 2008, saya baru mengenal kalau Marshall McLuhan pada tahun 1967 pernah membuat buku yang juga dikemas cukup eksperimental bersama desainer Quentin Fiore berjudul “Medium is the massage”. Intisari dari buku tersebut bahwa media adalah ekstensi dari bagian tubuh kita. Salah satunya: electric circuitry, atau jaringan listrik, sebagai ekstensi dari jaringan saraf manusia.
Alat atau medium atau media saat itu dan juga sedang berproses adalah electric technology, atau teknologi berlistrik, dikatakan akan membentuk kembali dan menstruktur kembali pola ketergantungan sosial dan setiap aspek kehidupan pribadi juga.2 McLuhan mengatakan ini karena keberadaan televisi sebagai media baru pada saat itu yang menjadi evolusi dari radio.
Dengan itu, McLuhan juga berargumen adanya Global Village, atau Desa Global, dimana ketergantungan perangkat listrik yang baru tersebut mengkreasi kembali dunia dalam satu gambaran desa global. Bagaimana dari dahulu kita berkehidupan di satu desa: tinggal, bekerja, bersosialisasi sebagai paguyuban makhluk sosial di dalam satu daerah tersebut, sekarang semua bisa terkoneksi dan dapat dilihat dari segala penjuru – lewat televisi yang membawa transmisi gambar bergerak dan suara.
Hari ini, tentu, di Bali, teknologi berlistrik ikut berkembang seperti tempat lainnya namun jaringan listriknya, ya ada banyak argumen didalamnya terkait dengan energi yang bisa diperbaharui dan tidak bisa diperbaharui. Namun, jika kita kembali ke teori McLuhan yang terlahir tahun 60an ini rasanya sangat relevan dengan hari ini.
Pada tahun 2018, saya mengambil di satu sudut kampung halaman di Buleleng, Bali Utara. Daerah ini dari dulu dibilang terbelakang, tidak ada kemajuan. Tetapi orang-orang juga mulai tidak tertinggal dengan perangkat listrik sehari-hari terkini, smartphone atau handphone pintar. Dan saya sendiri mengambil dan menggunggah video ini ke internet berkat smartphone juga. Maka, teknologi berlistrik memudahkan global village benar-benar ada di realita kita.
Poin ketiga: Dari frase Global Village ini, saya jadinya ingin berbincang tentang sensitivitas pemuda global Bali saat ini. Kata “global” di sini ditekankan karena pemuda di Bali sudah tidak saja berkecimpung di Bali atau sebagai pemuda Bali, tetapi merupakan pemuda global Bali.
Kita tidak pernah bisa mengelak kalau kita adalah warga dunia yang kebetulan di negara Indonesia dan di pulau Bali dan memiliki sistem Banjar yang dimana pemuda global Bali itu kemungkinan besar terdaftar di dalamnya. Ditambah pemuda global Bali sudah ada di dalam ranah Global Village yang dinyatakan McLuhan dengan smartphone-nya, dan kalau boleh dikatakan juga, Bali adalah sebuah kampung internasional – Global Village yang fisik ya di sini.
Tetapi di perbincangan ini, dan dalam menanggapi respon dan imajinasi anak muda terhadap perubahan Bali, maka pertanyaan yang ingin dilontarkan adalah: seberapa jauh sensitivitas pemuda global Bali terhadap keadaan, situasi dan kondisi Bali itu sendiri?
Dari komik Beluluk di atas, tercermin bahwa pergerakan anak muda di Bali masih melanjutkan warisan budayanya, yaitu: ngumpul, nongkrong dan menyame braye (gotong royong). Memang, dominannya lelaki, tetapi saya rasa yang perempuan tidak tertinggal. Dan yang saya tarik dari perkumpulan-perkumpulan tersebut, sepertinya ada dua macam tema yang diangkat pemuda global Bali berdasarkan apa yang dibagikan di media sosial: Semangat anak muda hidup progresif dan Semangat anak muda hidup jaen.
Semangat anak muda hidup progresif yang dimaksud adalah yang berbudaya (mengikuti budaya dan ikut mengembangkan budaya kehidupan sehari-hari), bersikap kritis, dan melakukan suatu pergerakan dalam masyarakat, akademis maupun aktivisme. Semangat anak muda hidup jaen yang dimaksud disini adalah juga yang berbudaya, yang memperlihatkan hidupnya jaen (arti: enak) atau lifestyle kelas tinggi, biasanya mereka memiliki posisi kerja yang ‘mapan’ atau memiliki bisnis, dan oportunis seperti dengan jasa endorsement.
Sebenarnya agak rumit untuk mengatakan ada dua macam pemuda global Bali ini karena di keadaan Global Village ini keduanya seperti tidak terpisahkan namun terpisahkan di saat yang sama. Seperti ada area semu atau abu-abu yang kemungkinan para pemuda global Bali ini terdapat di keduanya.
Saat ini pandangan saya terhenti disini. Lalu saya lihat balik ke situasi di saat saya mulai mengetik tulisan ini di sebuah kafe ternama di Denpasar, Bali, dikelilingi pemuda Bali global dan semua ada di dalam Global Village. Sejauh mana saya dan orang-orang muda Bali global di sekitar saya menyadari bahwa apa yang tercermin pada cermin hitam mereka akan dilihat di tempat lain juga? Sejauh mana sensitivitas pemuda global Bali menggunakan akses yang mereka dapatkan untuk memperlihatkan tema hidup progresif dan hidup jaen di Bali?
Lalu saya teringat akan satu riset yang telah saya lakukan terhadap kehadiran gerakan Bali Tolak Reklamasi Berkedok Revitalisasi. Gerakan yang disingkat BTR tersebut masih berlangsung sejak tahun 2013 dan saya anggap masuk ke tema semangat anak muda hidup progresif di Bali karena digerakkan generasi muda global Bali. Salah satu hal yang menarik dari pergerakan ini adalah bagaimana suatu gerakan yang melawan keadaan Bali yang sudah dibentuk citranya oleh pemerintah dan pengusaha, jika dirunut sampai juga dalam pro kontra progres produksi pengetahuan atau knowledge production tentang Bali.
Dalam Tesis yang berjudul, “Interrogating Global Fantasies: Bali and the Cultural Rejection of Land ‘Revitalisation’”, saya menulis tentang bagaimana Bali Tolak Reklamasi bisa terjadi di pulau Bali yang terkenal sebagai destinasi pariwisata yang sangat indah di muka bumi ini dan uniknya diikuti oleh banyak seniman dan pelaku seni. Bisa dilihat dari ikutnya para musisi, graphic designer, seniman Bali, juga adanya dokumentasi visual serta parade budaya yang dilaksanakan. Ada banyak faktor dan elemen yang saya angkat di sana, dan cukup sulit diringkas juga. Namun berkaitan dengan knowledge production, saya menggarisbawahi selain adanya fetisisme melalui kapitalisme, menggunakan pantai dan pulau reklamasi yang masih imajiner sebagai sumber penghasilan, juga adanya fetisisme dalam antropologi di sejarah citra Bali tersebut. Menurut Adrian Vickers, terutama dari Margaret Mead, antropolog Amerika yang menaruh Bali di peta akademia internasional di abad ke-20.4
Karya terkenalnya bersama Gregory Bateson berjudul Balinese Character: A Photographic Analysis (Karakter Orang Bali: Analisa melalui Fotografi) di tahun 1930an saat Bali masih di bawah kekuasaan Belanda, sempat didiskusikan oleh Anggota Asosiasi SOAS Centre for Media and Film Studies, Mark Hobart. Ia mengklarifikasi bahwa buku ini “berargumen” bahwa “Budaya Bali bisa dilihat tidak seperti yang kita miliki dan yang lainnya serta belum terekam” dan bagaimana budaya Bali dilihat “memiliki ketidakmampuan menyesuaikan diri yang dikatakan di budaya kita sebagai schizoid… [yakni] skizofrenia.”5 Ia melanjutkan, orang Bali menjadi “objek yang dipelajari untuk menambah ilmu kita tentang diri kita sendiri [sebagai manusia],” namun ia mempertanyakan, “…siapa ‘kita/kami’ disini…orang Barat imajiner yang tidak ingin dikritik?…Bagaimana para antropolog mempertanyakan untuk siapa pengetahuan yang diambil dari Bali ini?”
Sepertinya penulisan antropologi terhadap Bali ditemukan bermasalah oleh para penulis luar negeri selanjutnya karena kecenderungannya yang terlalu mengestetikakan dan fetisisme terhadap Bali melalui kepercayaannya sebagai elemen Timur dari pandangan Barat. Hobart berargumen bagaimana “pursuit of knowledge” menjadi keuntungan para yang memburu dan didapatkan melalui “subjeknya sendiri namun bukti-buktinya tidak dipedulikan.”7 Saat itu saya berargumen bahwa ini adalah bentuk anthropologising atau mengantropologikan – yang digunakan untuk menghidupkan Bali seperti apa yang diinginkan oleh si pemburu pulau ini.
Hobart pun mempertanyakan, “apakah pengetahuan yang relevan hanya akademis, bagaimana dengan pemahaman masyarakatnya sendiri?” membuat saya bermetode dengan mewawancarai beberapa pelaku gerakan BTR termasuk para pegiat seni yang saya sebut di atas. Semua ini memungkinkan dengan adanya internet dan media sosial yang membuat saya tahu keadaan, situasi dan kondisi gerakan BTR di Bali saat itu.
Di tulisan tersebut, salah satu yang saya simpulkan bahwa para pelaku BTR telah memproduksi pengetahuan baru yang melawan pengetahuan lama yang cenderung fetis terhadap Bali. Salah satunya, ada sisi dimana reklamasi itu dikatakan untuk kebaikan lulusan ISI Denpasar agar ada lahan baru untuk bekerja seperti menjadi penari di hotel, gerakan ini melalui kegiatan seninya telah mendobrak komodifikasi Bali melalui kesenian yang dikatakan telah merevitalisasi kehidupan orang Bali.
Hal-hal yang dilakukan aparat agar komodifikasi kultur dan kesenian Bali terus indah-indah saja dipertanyakan dan membuat saya juga bertanya, “apakah saya yang lulusan ISI Denpasar hanya sebatas produk turisme juga yang menjadi budaknya daripada pembuat pengetahuan baru?” Maka dari itu saya menyatakan bahwa Bali Tolak Reklamasi telah membuka diskusi dan perbincangan yang lebih luas dalam menginterogasi tendensi fantasi revitalisasi di Bali, dan bisa juga di bagian dunia lainnya.
Dengan kehadiran visual-visual yang telah terciptakan tersebut dan tersebarkan di Global Village saat ini, sebenarnya sudah ada suatu dokumentasi arsip yang memperlihatkan keadaan Bali yang tidak selalu indah saat ini. Sepertinya sensitivitas pemuda global Bali ada dalam hal memproduksi pengetahuan baru untuk generasi selanjutnya. Dan sepertinya ini datang dari semangat anak muda hidup progresif di Bali yang sepertinya melek sejarah, budaya dan tradisi.
Namun, bagaimana dengan yang semangat anak muda hidup jaen? Apakah mereka memiliki harapan juga? Apakah saya terlalu pesimis? Atau mereka sebatas memperlihatkan jaen dengan harapan satu #balijegeg bisa didapatkannya dari Global Village yang kita huni ini?
Catatan akhir: rasanya cerita ini tidak ada ujungnya. Mungkin, bisa dikatakan, sebegitunya lekat Bali sebagai sebuah brand yang baik dan terkenal, membuat penasaran dengan apa yang dipikirkan anak muda jaman now-nya. Bahkan secara pemerintahan Propinsi, berani mengeluarkan pengumuman bahwa Bali baik-baik saja bebas dari sampah – yang juga salah satu contoh catatan pekerjaan rumah Bali yang krusial saat ini.
Baru ini saya bertemu dengan pemuda-pemuda global Bali yang akan masuk ke ranah branding kotanya melalui satu wadah baru yang dibentuk pemerintahan kota. Sepertinya mereka cukup sensitif dengan penggunaan media sosial karena beberapa ternyata pekerja di departemen hubungan masyarakat pemerintah dan bahkan pelaku endorse online shop.
Baru saya menemukan yang menurut saya masuk semangat anak muda hidup jaen. Ternyata mereka cukup antusias dan sensitif juga terhadap keadaan kotanya maka bersedia membantu memajukan kotanya bersama-sama, yang menurut saya akan menjadi pengetahuan baru juga di Global Village ini. Selama hidup ini saya tidak pernah bagian dalam sekaa teruna teruni, mungkin berkegiatan di wadah baru kota ini di usia yang hampir kepala tiga ini bisa membuat saya lebih mengerti sensitivitas pemuda global Bali terhadap Bali ke depannya.