Oleh Luh De Suriyani
Bali dinilai makin semraut. Pembangunan fisik dinyatakan sudah banyak melanggar konsep tata ruang yang telah disepakati dalam Peraturan Daerah (Perda) No 3 tahun 2005 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali. Para pakar tata ruang, lingkungan, dan hukum sepakat hal ini segera akan menimbulkan konflik sosial serius.
Pelanggaran terhadap Perda Tata Ruang ini didiskusikan bersama sekitar 50 masyarakat dalam seminar refleksi kritis soal Perda itu di Hotel Inna Hotel Bali, Denpasar, Rabu lalu.
“Kuta Selatan kini makin ambruk. Bukit-bukit bopeng karena bangunan. Sampai kapan hal ini terus dibiarkan? Kenapa Perda sulit diimplementasikan?” tanya Ketut Suindra, warga Desa Ungasan, Kuta Selatan.
Hal senada dilontarkan sejumlah masyarakat soal pembangunan pariwisata yang merusak lingkungan di beberapa daerah lain.
Menurut K.G. Dharma Putra, pengamat lingkungan dari Universitas Udayana, pelanggaran terhadap kesepakatan yang dituangkan dalam perencanaan pembangunan bermuara dari tidak konsistennya pelaksanaan perijinan yang dikeluarkan pemerintah pada investor. “Ada kepentingan terselubung akibat perselingkuhan pemodal dan aparat pemerintah untuk memuluskan suatu rencana investasi. Ini akan menjadi konflik sosial yang serius di Bali,” jelasnya.
Padahal dalam Perda pengaturan tata ruang telah tercantum sejumlah nilai-nilai kearifan lokal yanga bernuansa konservasi lingkungan. Ia mencontohkan soal pembatasan ketinggian bangunan maksimum di bawah pohon kelapa atau sekitar 15 meter. Ada juga pengaturan sempadan pantai, sempadan jurang, dan ruang terbuka.
Terakhir, polemik soal kearifan lokal ini terjadi ketika Gubernur Bali Made Mangku pastika sempat berencana akan meninjau peraturan soal radius kawasan tempat suci. Hal ini muncul saat diskusi kasus pembangunan vila-vila mewah di kawasan Bukit Jimbaran, lokasi tempat Pura Suci Uluwatu.
Kearifan lokal yang tertuang dalam Perda ini menurut Darma telah dirongrong sejak lama dengan melakukan berbagai revisi.
Ia tidak menampik revisi dilakukan untuk memenuhi berbagai peningkatan sektor ekonomi. Karena perencanaan tata ruang merupakan pemanfaatan ruang secara optimal dengan orientasi produksi dan konservasi lingkungan dengan memperhatikan daya dukungnya.
“Pengawasan pemerintah pada dimakina pembangunan yang menyalahi tata ruang selalu terlambat. Padahal daya dukung Bali pada pembangunan fisik sangat terbatas,” ujarnya.
Pulau Bali hanya 0,29 persen dari luas kepulauan Indonesia. Luasnya hanya 5632 kilometer persegi.
Beberapa peristiwa pelanggaran tata ruang dan berpotensi merusak lingkungan yang terangkum dalam seminar itu antara lain pendirian bangunan di ruang terbuka hijau, sempadan sungai dan pantai. Misalnya rencana pembangunan hotel di loloan (muara sungai) Yeh Poh, Badung oleh PT Bali Unicorn Cooperation. Setelah ditentang masyarakat, akhirnya dihentikan operasinya.
Rencana pembangunan hotel dan villa di lereng Danau Buyan, Desa Pecatu Kuta Selatan, dan Bukit Mimba Karangasem.
Putu Rumawan Silain, seorang arsitek dan pengamat tata ruang mengatakan sejumlah potensi pelanggaran lain akan makin banyak. Misalnya pembangunan tower-tower operator komunikasi, pembangunan gedung basement, kerancuan tata kota sebagai kawasan metropolitan, dan lainnya.
Hal ini bersumber dari tumpang tindihnya peraturan tata ruang antar kota, kabupaten, dan provinsi. “Sekarang saja, gubernur pada praktiknya sulit berkoordinir dengan para bupati lain. Jadi sangat sulit melakukan pengendalian pemanfaatan ruang,” katanya.
Saat ini Bali masih menggunakan Rencana Tata Ruang Wilayah tahun 2005-2010. Di anataranya ditetapkan kawasan lindung sebesar 198.093 hektar (35%), yang terdiri dari kawasan hutan lindung dan daerah resapan air (17%), kawasan suci, sempadan pantai, sungai, jurang dan sekitarnya, dan lainnya.
Ada juga pengaturan kawasan pertanian sebesar 40% dari wilayah Bali, kawasan industri, pertambangan, serta pertahanan dan keamanan.
“Masyarakat harus merebut haknya untuk mengetahui rencana tata ruang ini dan mengawasinya. Saat ini masyarakat kurang mendapat peran,” ujar Rumawan.
Pelanggaran Perda Tata Ruang ini menurut I Ketut Sudiarta, dosen hukum Unud, karena dalam Perda tidak tercantum sanksi pidana bagi pemerintah yang melakukan pelanggaran atas peraturan yang dibuatnya. “Hanya ada sanksi administrasi. Ketentuan pidana hanya bagi masyarakat yang melanggar bukan pejabat pemerintah,” urainya.
Sementara Sugi Lanus, budayawan Bali menegaskan miskinnya ide kreatif pemerintah daerah untuk meningkatkan pendapatan perkapita penduduknya. “Pemerintah miskin ide sehingga pembukaan lapangan kerja lebih banyak merusak lingkungan,” ungkapnya. (untuk the jakarta post). [b]
pokoknya uang, uang dan uang. pejabat pada korup
zaman sekarang kalau mau hidup memang harus taruh muka dan hati. udah jadi zombi semua
jangan biarkan bali seperti jakarta
seharusny ad tindakan yg nyata. bukany janji semata..
biktikan dounk….