Teks dan Foto Bentara Budaya Bali
Sepasang lelaki dan perempuan bergerak ritmis selaras suara seruling yang pelan tapi penuh ketegasan.
Dengan olah tubuh yang tidak hanya sensual tapi juga ekspresif, mereka mengeksplorasi ruang pameran Bentara Budaya Bali, pada pembukaan pameran Wayan Sudiarta bertajuk ‘Out of The Locker’, Rabu lalu. Perfomance art ini memang mengetengahkan topik seksualitas boleh jadi merupakan tema besar karya-karya pelukis kelahiran Peliatan, Ubud, 23 April 1969 ini. Hadir pula, budayawan Jean Couteau, Sutedja Neka, serta perupa-perupa muda, seniman dan budayawan lainnya.
Koordinator Program Bentara Budaya Bali, Hardiman, dalam pengantar kuratorialnya, menjelaskan bahwa karya rupa dua dan tiga dimensi Wayan Sudiarta kali ini sangat menegaskan suatu upaya keluar dari persembunyian ‘Out of The Locker’. Apa yang dianggap subversive atau ‘berbeda’ oleh masyarakat diketengahkan sedemian rupa lewat bahasan seksualitas yang mengemuka. Kali ini Sudiarta menampilkan 11 karya rupa yakni 6 buah lukisan, 2 karya instalasi serta 1 karya tiga dimensi.
Dalam kurun waktu kesenimanannya, Wayan Sudiarta sempat melakoni proses kreatif dengan berguru kepada Wayan Gandera, Ketut Djudjul, Wayan Daging, dan Wayan Barwa, pelukis tradisi mumpuni Bali. Ia telah berpameran ke berbagai negeri, seperti Singapura, Jerman dan Itali, serta banyak tempat di tanah air.
Pameran dibuka guru besar Antropologi Universitas Pendidikan Ganesha, Prof. Dr. Nengah Bawa Atmadja, MA. Dalam sambutannya, dia menyatakan kesenian, khususnya seni rupa, bukan hanya ruang ekspresi tiada batas. Ruang ini tak hanya coba dieksplorasi sedemikian rupa oleh para seniman tetapi juga menjadi sarana apresiasi sekaligus kritik sosial terhadap aneka persoalan kekinian masyarakat di sekitarnya.
Usai mengucapkan selamat kepada Sudiarta yang juga pengajar seni rupa di Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja Bali, Prof. Bawa membuka pintu ruang pameran sebagai tanda peresmian acara ini. Sebelumnya, Wayan Sudiarta menyerahkan kenang-kenangan berupa lukisan kepada Prof. Bawa didampingi Kurator, Bapak Hardiman; Koordinator Program Bentara Budaya Bali, dan Wayan Sukra, Manager Printing Kompas.
Sebagai pembuka acara, hadir pula kelompok Mepantigan Bali yang didalangi Putu Witser. Seniman perupa yang juga menguasai seni bela diri ini bersama rekan-rekannya tampil memukau dengan menggabungkan unsur musik tradisi Bali yakni gamelan, dengan gesture tubuh yang energik, sesekali kocak. Mereka pun mencoba mengedepankan persoalan seksualitas yang disimbolisasi dengan gerakan-gerakan bela diri khas kelompok ini. Yang mengejutkan adalah tampilnya seekor kuda.
“Gerak harmonis langkah kuda ini mencerminkan penetralisir kekacauan akibat pertentangan yang baik dan buruk,” ujar Putu Witser, yang tubuhnya masih belepotan cat warna. Performance ini diakhiri dengan atraksi melukis yang menghebohkan.
Pada Jumat, 8 April 2011 mendatang, kurator pameran Hardiman dan pelukis Wayan Sudiarta juga akan menjadi pembicara dalam diskusi seni rupa dengan tajuk ‘Kosa Tradisi Sebagai Pernyataan Kini’ pada pukul 15.00 wita di Bentara Budaya Bali.
Pameran ini berlangsung sedari 31 Maret hingga 8 April 2011, pk. 10.00 – 18.00 Wita. [b]