Oleh Luh De Suriyani
Sejumlah sekolah dan remaja bersepakat melakukan berbagai advokasi dalam persoalan kehamilan tak diinginkan (KTD) dengan Dinas Pendidikan. Mereka minta sekolah tidak menghilangkan hak remaja untuk bersekolah jika mengalami kasus KTD.
Hal ini didiskusikan dalam workshop peningkatan peran remaja untuk mengadvokasi kasus KTD yang dilaksanakan oleh Integrated Youth Center (IYC) Kisara, Selasa lalu di Denpasar. Diskusi ini diikuti sekitar 30 siswa SMA dan komunitas remaja lain.
Forum advokasi ini dihidupkan lagi karena fenomena KTD menjadi masalah seksualitas remaja terbanyak di Bali.
Luh Putu Ikha Widari, koordinator media dan communication IYC Kisara memaparkan dari data konseling yang masuk ke Kisara via hotline selama tahun 2008 secara umum didominasi oleh kasus pacaran (60 persen) dan seksualitas remaja (25 persen).
Sementara dari salah satu unit kegiatan Kisara yakni Kisara Youth Clinic didapatkan fakta bahwa 90 persen kasus konseling atau 212 orang remaja adalah masalah remaja dengan KTD. Data ini diperoleh selama empat bulan hingga 31 Desember 2008.
Fakta ini memperkuat hasil survei kuantitatif sederhana yang dilaksanakan oleh Kisara pada tahun 2007 yang menyebut sekitar 155 orang (11 persen) dari 1412 remaja SMA/SMK di enam wilayah kota/kabupaten di Bali telah memiliki pengalaman melakukan aktifitas seksual aktif.
“Dinas Pendidikan meminta kita melakukan audiensi untuk menggerakkan institusi pendidikan dan remaja dalam menyikapi persoalan ini,” ujarnya.
Luh Anggreni, Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Bali menyebut kasus penghilangan hak anak untuk sekolah kita makin banyak ditangani, terutama karena KTD. “Sekolah main pecat jika ada korban KTD dan juga korban pornografi,” katanya. Dari setiap kasus pemecatan, sebagian besar korbannya perempuan.
Kepedihan yang sama juga dilontarkan Amelia Febrina Merry, siswa SMA 1 Kuta Utara. “Saya kehilangan teman yang telah mengalami dua kali aborsi. Andai saja pendidikan seksual didapatkan secara dini, aborsi setidaknya bisa dicegah,” ujarnya.
Ia menyebut teman sebayanya hanya mengenal aborsi sebagai alternatif penanggulangan KTD. Segala jenis obat-obatan tradisional dan cara alternatif telah diyakini jalan paling aman untuk menghindari diskriminasi dan pemecatan dari sekolah.
Kisara mencatat jumlah seluruh remaja di Indonesia mencapai 63 juta orang, sedangkan di Bali diperkirakan mencapai 850 ribu orang. Sekitar 30,3 persen dari seluruh penduduk Indonesia adalah remaja.
“Jumlah yang sangat potensial dan menjadi kekuatan besar untuk mencapai kemajuan jika mereka memiliki tingkat kesehatan yang optimal dan bertanggung jawab dalam setiap perilakunya,” ujar Ikha.
Namun tingkat pengetahuan remaja terkait kesehatan reproduksi, narkoba, HIV dan AIDS masih rendah. Lebih dari 50 persen ODHA berusia 19-25 tahun.
Hubungan seksual pra nikah pada remaja adalah 28,5 persen dan sekitar 10 persen remaja usia 15-19 tahun sudah menikah dan memiliki anak. Terdapat 36 persen kasus IMS yang diderita oleh remaja usia 16-24 tahun, 46,19 persen remaja usia 15-29 tahun terpapar HIV-AIDS (Depkes RI).
Jumlah aborsi per tahun diperkirakan 2,3 juta di mana 30 persen dilakukan oleh remaja, dan 51 persen adalah unsafe abortion. KTD pada remaja diperkirakan meningkat sekitar 150.000 – 200.000 per tahun.
Di lain pihak, menurut dokter Pramesmara banyak layanan yang tersedia ternyata tidak mampu menjadi teman remaja. Sampai saat ini, layanan yang ramah remaja masih sangat terbatas jumlahnya.
Ida Pedanda Tianyar Arimbawa, pemuka agama yang intens terlibat dalam persoalan sosial kemasyarakatan meminta para orang tua tidak melakukan diskriminasi bagi anak yang mengalami KTD.
“Teknologi memberi transparansi yang sangat cepat. Kita harus menyelesaikan masalah bukan sok suci. Alat kontrasepsi juga masih sulit diterima sebagai alat mencegah KTD dan penyakit menular seksual,” ujarnya. Persoalan KTD menurutnya adalah masalah yang juga harus diselesaikan agamawan di Bali. [b]