Teks dan Foto Anton Muhajir
Setiap perjalanan adalah upaya untuk berdialog tentang sebuah kebudayaan. Begitu pula perjalanan sepanjang lautan pasir menuju Gunung Bromo. Suko, pemuda 23 tahun yang sudah jadi pemandu kuda selama tujuh tahun, bisa menjadi teman perjalanan sekaligus pemandu yang menyenangkan. Dia fasih menjelaskan tiap hal yang saya tanyakan tentang kebudayaan masyarakat setempat, termasuk tentang Hindu di sini.
Salah satu hal yang membuat saya tertarik melakukan perjalanan ke Bromo, Probolinggo, Jawa Timur pertengahan Agustus lalu adalah para penunggang kuda dan lautan pasirnya. Maka begitu sampai di Cemorolawang, salah satu desa gerbang menuju Gunung Bromo, saya langsung cari kuda untuk menuju Bromo.
Suko yang sedang menuntun kuda hendak pulang dan dari pagi belum dapat tamu adalah pemandu kuda pertama yang saya temui. Setelah tawar menawar harga, dari awalnya Rp 160 ribu jadi Rp 70 ribu untuk perjalanan bolak-balik, kami pun menuju Gunung Bromo.
Dari Cemorolawang kami turun dulu setelah melewati pos pintu masuk Taman Nasional Gunung Bromo. Lautan pasir coklat membentang dengan Gunung Batok berbentuk kerucut di ujung depan sana ketika kami usai melewati jalan yang dihotmiks. Di samping Gunung Batok, di sebelah kiri dari posisi kami, adalah Gunung Bromo dengan bentuk yang lebih datar. Lebih mirip bukit dibanding gunung yang sudah termashur namanya itu.
Suhu di sini rata-rata di bawah 10 derajat Celcius, jauh di bawah rata-rata suhu di Indonesia yang berkisar 27 derajat Celcius. Karena dingin itu, warga di Bromo punya pakaian wajib: jaket dan celana panjang dengan sepatu boot, sarung menggulung leher, dan sebagian besar pakai balaclava, topeng penutup wajah dengan bagian mata dan mulut saja yang terbuka. Mirip Subcomandante Marcos, pemimpin pemberontak Zapata di Meksiko. Atau paling dekat sih mirip kawanan teroris Indonesia yang menutup wajahnya.
Suko, si pemandu kuda itu, pun menggunakan pakaian yang tak jauh beda. Dia hanya tak pakai balaclava. Baguslah. Jadi saya bisa melihat wajah orang yang saya ajak bicara ini. sebab kalau wajahnya terus tertutup, jangan-jangan saya bicara sama Noordin M Top. Hehehe..
Menurut saya, lewat lautan pasir bukan perkara mudah. Sebab pasir sangat gampang tertiup angin. Jadi jalan setapak itu akan mudah hilang ketika ada angin bertiup agak kencang. Begitu pula kalau hujan.
Karena itu, warga setempat memasang patok-patok dari beton sepanjang jalan setapak. Patok mirip tapal desa atau penanda jarak yang biasa ada di pinggir jalan raya itu memanjang hingga lokasi terakhir di mana kuda jalan akan mulai menanjak setelah melewati lautan pasir.
Di antara jalan itu, ada beberapa penanda yang menarik bagi saya. Di kanan kiri jalan tersebut terdapat tugu kecil mirip sanggah, tempat orang Hindu di Bali menghaturkan banten (sesaji) ketika sembahyang. Ya, bentuknya memang persis sanggah yang biasa ada di rumah-rumah.
Orang setempat menyebutnya punden. Fungsinya pun sama, tempat menghaturkan sesaji. Saya kemudian baru sadar bahwa sebagian besar masyarakat Tengger memeluk Hindu seperti halnya sebagian besar orang Bali. Masyarakat Tengger di kawasan Gunung Semeru dan sekitarnya, termasuk di kawasan Bromo adalah pemeluk Hindu. Begitu pula Suko.
Punden Watu Balong adalah punden pertama yang kami temui dalam perjalanan sambil naik kuda itu. Menurut Suko, tiap Jumat pagi, akan ada orang yang bersembahyang di punden ini. Sembahyang ini hanya cukup seminggu sekali. Mungkin karena lokasinya yang jauh, tidak di dekat rumah seperti halnya di Bali.
Beberapa punden masih kami temui sepanjang jalan. Bahkan ketika akhirnya sampai di puncak Bromo, menjelang naik tangga menuju kawan, ada satu punden yang sekaligus jadi tempat bersandar penjual kopi, rokok, dan camilan lain. Di tiap sisi punden ini ada aksara-aksara antara lain Omkara dan Swastika, dua aksara sakral dalam kepercayaan Hindu Bali.
Tak jauh dari Punden Watu Balong, ada pula punden lebih besar. Punden Watu Dukun ini tak hanya berbentuk tugu tapi lebih lengkap dengan pagar yang mengelilinginya. Ada batu besar di dalam pagar tersebut. “Sesepuh biasanya sembahyang di sini setelah kami melakukan upacara Yadnya Kesada,” kata Suko merujuk pada ritual tiap tahun yang diadakan warga sini.
Sesepuh adalah sebutan untuk pemimpin upacara agama Hindu di sini yang biasa sekaligus pemimpin adat.
Meski demikian, lanjut Suko, sesepuh juga akan sembahyang pada waktu-waktu tertentu ketika ada yang meminta. Sebab, “Sesepuh menjadi perantara kalau seseorang ingin cepat dikabulkan permohonannya oleh Tuhan,” ujarnya.
Tempat sembahyang paling besar di sini adalah Pura Luhur Poten. Strukur bangunannya pun persis sama seperti di Bali. Hanya detail bangunan, misalnya pada candi bentar. Kalau di Bali cenderung berlekuk tanpa sudut, maka di sini agak lancip.
Kami melewati pura ini ketika dalam sudah kembali dari puncak Bromo. Saya hanya berdiri di luar pagar mengintip ke dalam lewat pintu bergambar Swastika di depannya. Suasana sepi dengan kabut tipis perlahan membuat agak mistis. Hanya sebentar saja saya di sana. Lalu melanjutkan kembali perjalanan pulang.
Selain warga setempat, umat Hindu dari Bali pun banyak yang sembahyang di sini, terutama pada hari raya tertentu seperti Galungan dan Kuningan. “Minggu lalu juga ada orang dari Bali yang sembahyang di sana,” ujarnya.
Menurut Suko di sekitar pura inilah biasanya upacara 17 Agustus digelar. Jadi selain sebagai peringatan kemerdekaan, upacara itu sekalian sebagai rasa syukur pada Tuhan. Makanya upacara digelar dalam pakaian adat setempat. Sepertinya asik bisa ikut upcara bendera di tengah lautan pasir dan sebuah agama yang agak berbeda dibanding sebagian besar Jawa. Sayang, saya ke sana empat hari lebih awal.. [b]