Kenapa tidak banyak hotel di Tulamben menggunakan sekehaa seni?
Ketika liputan untuk pelatihan jurnalisme warga Agustus lalu, saya mewawancarai salah satu tokoh seni di Tulamben. Namanya I Gede Kompiang. Kebetulan dia bapak saya sendiri.
Ia memakai baju berwarna merah bergaris-garis hitam dipadu dengan celana jeans panjang. Saya menanyakan seputar kehidupan dan aktivitas seni di Tulamben. Dengan suasana santai dan embusan angin pelan, kami duduk ngobrol. Saya mulai bertanya seputar sekaha-sekaha yang bisa dibilang masih aktif di Desa Tulamben.
Dari pertanyaan saya seputar sekaha tersebut saya mendapat data yang bisa dibilang tidak terlalu menggembirakan. Sekaha-sekaha seni di Desa Tulamben bisa dihitung dengan jari.
Dari sekian desa pekraman di Desa Tulamben, hanya ada enam sekaha gong yang aktif yaitu Sekaha Gong dari Muntig, Batudawa, Tulamben, Beluhu Kaja, Beluhu Kangin dan Sekaha Angklung. Selain enam sekaha tersebut sebenarnya desa pekraman lain juga memiliki seperangkat gong namun tidak ada orang-orang yang memainkannya.
Dari enam sekaha tersebut, semuanya juga tidak bisa dibilang sering tampil. Sebab, pada dasarnya tujuan mereka mengikuti atau mendirikan sekaha seni tersebut adalah untuk tampil di Pura-Pura pada saat upacara keagamaan saja. Istilahnya ngayah. Upacara keagamaan hanya dilakukan pada waktu-waktu tertentu.
“Jadi, jika tidak ada upacara, maka tidak akan ada sekaha gong yang tampil,” jelasnya.
“Kenapa jarang ditampilkan di Tulamben? Bukannya daerah ini merupakan daerah pariwisata? Pasti banyak turis mengunjungi Tulamben dan ingin melihat seni-seni di Tulamben?” tanya saya heran.
Namun, pertanyaan tersebut tidak langsung dijawab oleh bapak saya.
Kemudian dia mengajak saya berjalan-jalan santai ke pantai untuk menikmati suasana. Pada saat berjalan santai kami bertemu seorang seniman Tulamben lainnya, I Nyoman Bogoh. Kebetulan beliau tinggal dekat dengan objek wisata Tulamben.
“Bagaimana aktivitas seni di Desa Tulamben ini terutama aktivitas sekaha dalam pentas seni di hotel-hotel sini?” saya memulai pertanyaan.
“Aktivitas seni di sini sudah sangat jarang. Bisa dibilang tidak aktif lagi karena beberapa alasan. Salah satunya karena sulitnya mencari pelatih seni dan tidak antusiasnya masyarakat untuk berlatih seni,” ujarnya.
“Apakah hotel-hotel di sini sering menyewa sekaha-sekaha untuk tampil di hotel?” tanya saya kembali.
“Hotel di sini jarang menyewa sekaha gong untuk tampil di hotel. Mereka cenderung memilih untuk menyewa seni tari dengan tidak diiringi sekaha gong melainkan menggunakan kaset,” ujar bapak dua anak ini.
Karena masih ada kegiatan lain, Nyoman Bogoh hanya dapat memberikan informasi sebatas itu.
Saya melanjutkan mencari info seputar seni lagi dengan pergi ke sebuah hotel. Tepatnya hotel bernama Touch Terminal. Saya bertemu salah satu staf hotel bernama I Gede Rana. Saya bertanya seputar progaram-progam atau jadwal yang berhubungan dengan petas seni di hotel tersebut.
“Hotel sudah memiliki program pentas seni namun tidak tetap tergantung dari pesanan atau permintaan tamu saja,” jawabnya.
Dia melanjutkan, dalam pementasan seni hotelnya lebih memilih seni tari tanpa sekaha gong. Alasannya biaya menyewa sekaha gong lebih besar daripada sekaha tari. “Selain itu, tamu hotel juga lebih tertarik dengan seni tari atau seni yang bisa mereka lihat dari pada seni tabuh yang mereka dengar,”ungkapnya.
Dari sana saya mengerti bahwa jarang tampilnya sekaha-sekaha seni yang ada di Tulamben karena beberapa faktor. Antara lain masyarakat yang tidak terlalu antusias dalam berkesenian mungkin karena pihak hotel selaku penyewa tidak terlalu tertarik. Di samping karena biayanya cukup menguras kantong, juga karena kurangnya permintaan dari tamu-tamu hotel.
Di sini kita tidak bisa salahkan siapa-siapa karena semua ini saling terkait satu sama lain. Mereka memiliki kepentingan sendiri-sendiri.
Sebagai solusi, menurut saya, sebaiknya pihak hotel memiliki progam yang tidak hanya mementaskan seni tari namun juga seni tabuh dan seni-seni lainnya. Dari pihak sekaha seninya juga jangan terlalu mematok tarif tinggi. Karena walaupun honor tidak terlalu tinggi namun jika itu membuat aktivitas seni komersial bisa hidup, kenapa tidak?
Dengan tarif yang tidak tinggi, maka pihak hotel tidak terbebani. Maka hotel pun akan sering menyewa sekaha seni tersebut. Sekaha seni juga akan memperoleh manfaatnya juga walaupun tidak seketika.
Kita tidak boleh memikirkan untuk hari ini saja karena semua ini adalah proyek jangka panjang. Tidak kita saja yang menikmatinya juga anak dan cucu kita. [I Gede Sagus SPN]