Saat itu pukul 11.00 WITA di kala kami berkunjung ke Balai Banjar Bukit Sari. Kisid bersama petani lainnya bergotong royong membersihkan balai Banjar Bukit Sari. Tanah yang dahulunya hutan belantara dan penuh dengan semak belukar ini, kini terlihat bersih nan indah dikelilingi dengan pekarangan rumah yang tertata rapi penuh tanaman hidup milik pengungsi eks-transmigran Timor Timur (Tim-Tim).
Secercah harapan hadir tatkala proses perjuangan pengungsi dipulangkan ke Bali. Mulai menemukan titik terang, mereka diberikan lahan di Kawasan Hutan Produksi Terbatas, Desa Sumberklampok pada akhir tahun 2000.
“Akhirnya ditempatkan di sini (di Sumberklampok) jadinya, itu dikasih rekomendasi oleh gubernur atau bupati, pokoknya itu dikasih rekomendasi untuk warga tinggal di sini,” tutur Dipa sembari mengingat kisah yang didapatnya dari para orang tua.
Berbekal surat rekomendasi dari Bupati Buleleng tersebut, Sudirta selaku pendamping hukum mengarahkan Kisid beserta dengan 106 KK pengungsi. Mereka menolak tawaran tanah 2 Are untuk membuka lahan di desa Kawasan milik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tersebut karena di Tim-Tim mereka mengelola lahan pertanian 2 hektar dengan sertifikat hak milik.
“Nah, waktu itu, Pak Sudirta langsung menginformasikan kepada para pengungsi. Bagi mereka yang tidak menerima tawaran dua are tersebut. Akhirnya ikut ke sini (Sumberklampok),” ungkap Kisid.
Setibanya di Sumberklampok, para pengungsi berkumpul di Balai Banjar Sumberbatok. “Kalau orang di sini menyebutnya Pura Perjuangan itu. Lokasinya di timur LPD (Lembaga Perkreditan Desa), masih di Sumberklampok, di Timurnya LPD itu kan ada Balai Banjar, di sebelah Selatan. Lalu kita merabas di sini,” tambah Kisid membayangkan masa saat pertama kali ia dan pengungsi lainnya tiba di Sumberklampok.
Saat itu, Kisid dan 106 KK yang terdiri atas 46 KK dari Karangasem, 2 KK berasal dari Badung, dan 59 KK dari Buleleng tidak dapat langsung menempati atau bahkan mengelola lahan yang diberikan oleh Bupati Buleleng. Mereka masih harus mengeluarkan tenaga untuk membersihkan lahan di kawasan Bali Barat tersebut.
“Kita ngerabas dulu di sini karena full semak semua. Kalau dulu batasnya dikasi dari sekolah sampai sekolah untuk pengungsi eks Tim-Tim. Setelah dikasi batas itu, kita baru gotong royong. Dulu tidurnya masih di balai banjar [Sumberbatok]. Setelah itu, nerabas di sini. Udah di sini, sempat mau dikeluarin juga,” tutur Kisid menceritakan kisah perjuangan para pengungsi.
Secara alamiah didasari atas kesamaan latar belakang historis, para pengungsi ini kemudian membentuk suatu banjar adat bernama Banjar Adat Bukit Sari. Selain mendapatkan julukan “Pengungsi Eks Timtim” dari masyarakat Sumberklampok sekitar, mereka juga dikenal dengan Warga Bukit Sari yang tengah memperjuangkan pengakuan hak atas tanahnya.
Bahu Membahu Membangun di Sumberklampok
Namun siapa sangka saat pertama kali tiba di Sumberklampok mereka hanya menempati gubuk sebelum akhirnya mendapatkan bantuan rumah layak tinggal. “Ini kan, pertama awalnya ketika sampai di sini [Sumberklampok], kita semua bikin perumahan gubuk, ya kita, terus bapak-bapak pejuang di sini memohon, dikasihlah rumah,” tutur Suastini, salah satu anggota Perempuan Bukit Sari [PBS]. Warga bergotong royong membangun rumah gubuk untuk dijadikan tempat tinggal sebelum akhirnya mendapatkan bantuan berupa material bangunan.
Namun, perjuangan mendapatkan bahan bangunan ternyata tidak berjalan mulus begitu saja. Kisid bercerita, saat mencoba untuk mengajukan bantuan ke Dinas Kependudukan. Dengan kondisi baru mendapatkan bantuan untuk dua perumahan, bantuan tersebut mangkrak. Oleh Sekretaris Daerah kabupaten Buleleng, mereka malah disuruh meninggalkan kawasan Kehutanan yang telah mereka tempati dengan tawaran. “Setelah di sini [di Sumberklampok] kita sempat disuruh keluar, hanya diberi tawaran waktu itu. Tapi teman-teman saya (Pengungsi Eks Timtim yang lainnya) ndak tahu. Ditawari Rp 17 juta. Ramuannya (bahan bangunan) waktu itu dinilaikan seharga Rp 7 juta. Ada kayu, semen, batako. Udah gitu, Rp 10 juta itu dianggap ganti rugi pekarangannya. Tapi keluar dari sini [Sumberklampok],” jelas Nengah Kisid.
Mengalami hal tersebut, Kisid tidak tinggal diam. Dengan tegas ia menolak bantuan tersebut. Merek sepakat aksi protes karena bantuan ngadat. Saat melakukan aksi tersebut mereka dikabarkan bahwa Gubernur beserta wakilnya sedang berada di luar daerah. Mereka sempat segel halaman (kantor Dinas Kependudukan).
“Pintu masuk-keluar kita segel kantor kependudukan di Denpasar. Kalau tidak salah itu tahun 2002. Itu hampir 2 tahun berjalan di sini. Waktu itu sudah ada 107 KK sampai sekarang,” terang Kisid.
Aksi yang dilakukan Pengungsi Eks Timtim di Kantor Kependudukan tidak membuahkan hasil dan respon sama sekali. Sehingga, sore hari sekitar pukul 6, mereka memutuskan kembali ke Sumberklampok untuk istirahat. Usai istirahat, para pengungsi kembali berkumpul untuk berdiskusi terkait langkah yang akan mereka ambil. Setelah didapatkan keputusan bersama, mereka kembali melakukan aksi menutup Jalan Gilimanuk-Singaraja.
Saat itu mereka menurunkan Balai Sakapat di tengah jalan dan menyebabkan jalanan menjadi macet. “Akhirnya karena jalan ditutup jam 12 kalau tidak salah. Baru datang Pak Bupati. Masih Pak Bagiada waktu itu. Di sini, di Balai Banjar ini. Tapi belum begini. Masih darurat [bangunan semi permanen]. Dia mengambil alih permasalahan ramuan itu. Setelah itu baru dilanjutkan, lancar jadinya. Sampai membangun, kita gotong royong. Membangun ini bantuannya bahan saja dari Kementerian Sosial.”
Meskipun mendapat bantuan bahan dari Kementerian Sosial, Kisid merasa sikap pemerintah cukup ambigu (bantuan tersebut didapatkan pada saat audiensi ke Jakarta yang didampingi oleh Sudirta). Saat itu pemerintah memberikan keterangan bahwa mereka tidak berani mengeluarkan SK pelepasan karena kawasan yang ditempati oleh pengungsi merupakan kawasan hutan miliki KLHK. Tetapi anehnya, pemerintah memberikan bantuan bangunan untuk pengungsi Eks Timtim. “Bantuan tersebut sudah termasuk bangunan Pura di Balai Banjar Bukitsari,” terang Kisid sembari menunjuk bangunan dan Pura di Balai Banjar.
Tuntutan HGU
Pasca mendapat bantuan dari Kementerian Sosial tahun 2002, ketidakpastian akan Hak Milik masih belum didapatkan juga. Mereka masih tetap berkebun tanpa mendapatkan kepastian soal legalitas. Tidak banyak pergerakan yang dapat dilakukan, selain itu dari pihak pemerintah juga pasif.
Sampai akhirnya, pengungsi merasa bahwa penggusuran akan ruang hidup yang telah mereka kelola dan tinggali dapat terjadi kapanpun selama mereka masih belum memegang satupun bukti terkait kepemilikan mereka. Lalu pada 2016, setelah berkenalan dengan Ni Made Indrawati selaku ketua Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Bali, mereka memutuskan untuk bergabung bersama dengan KPA dan berjuang bersama warga Sumberklampok yang memperjuangkan soal Hak Guna Usaha yang diberikan oleh pemerintah kepada PT Margarana II, PT Margarana III, dan PT Dharmajati.
Sayangnya perjuangan Kisid dan pengungsi lainnya bersama dengan warga HGU hanya berlangsung selama satu tahun. “Sempat bergabung, berjuang mulai tahun 2016. Cuma sebentar saya disitu. Tidak ada pergerakan apa-apa juga. Akhirnya pisah di 2017,” tutur Kisid.
Keputusan untuk berpisah bukanlah tanpa alasan, setelah berdiskusi lebih lanjut dengan Indrawati selaku KPA, didapatkan bahwa secara historis dan juga permohonan terkait objek maupun subjeknya sangatlah berbeda dan tidak dapat dijadikan satu. “Karena di sini kawasan Hutan, disitu HGU, kan tidak bisa gabung, itu memang berbeda. Akhirnya kita pisah, dia [Bu Indra] tetap mendampingi,” terang Kisid.
Perjuangan Warga Bukit Sari bersama KPA
Perpisahan dengan warga Sumberklampok yang memperjuangkan HGU bukanlah akhir melainkan awal perjuangan Warga Bukit Sari setelah rentang waktu yang cukup lama. Mereka masih didampingi oleh Indrawati dan juga KPA. “Kita harus ada pendamping. Kita awam tentang aturan,” terang Gede Sudiartana salah seorang pengungsi yang turut berbincang dengan kami di Banjar Bukit Sari.
Kisid menuturkan, langkah pertama yang dilakukan pada tahun 2017 bersama dengan Indrawati KPA adalah penjajakan ke Balai Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (BPSKL) yang membawahi segala urusan terkait dengan tanah hutan produksi. Saat itu, pihak kehutanan akhirnya turun ke Sumberklampok kemudian memberikan tawaran terkait Perhutanan Sosial. Skema perhutanan sosial menawarkan bahwa warga akan mendapatkan hak milik untuk pekarangan, tetapi lahan pertaniannya tetap sebagai hutan sosial dengan periode penggunaan selama 25 sampai 35 tahun, tetapi warga tetap tidak mendapatkan SHM.
Tawaran tersebut tentu saja ditolak oleh warga. “Kita itu, karena kita ditempatkan di Timor Timur adalah ikut programnya pemerintah dan di situ kita seiring waktu SHM (Sertifikat Hak Milik) itu keluar tanpa kita minta, tanpa kita mohon. Kan Pemerintah ngeluarin, sertifikat itu kan kita tidak minta, kita tidak mohon. Seiring perjalanan waktu kan pemerintah wajib mengeluarkan itu. Kita diberi bukti bahwa kita punya hak. Kita sudah sempat bayar pajak [di Timor Timur]. Setelah sertifikat keluar kan kita wajib bayar pajak, kita sudah bayar pajak,” terang Kisid menceritakan alasan penolakan mereka terhadap skema perhutanan sosial.
Kesulitan mendapatkan SHM terganjal dengan adanya pasal 18 ayat 2 dalam Undang-Undang (UU) Kehutanan tentang luas kawasan hutan harus dipertahankan minimal 30% dari luas daerah aliran sungai dan atau pulau dengan sebaran yang proporsional. Namun, pada saat kehadiran Undang-Undang Cipta Kerja tahun 2020, peraturan ini dihapuskan. Akan tetapi SHM masih belum didapatkan. “Itu tidak ada lagi aturan yang 30% dari luasan daerah. Tetapi kita terganjal juga. Sama aja, cuma beda nama aja. Itu dengan SK (Surat Keputusan) berkecukupan dan tidak berkecukupan. Berkecukupan tutupan kawasan dan sampai sekarang memang SK berkecukupan atau tidak berkecukupan ini tidak keluar juga. Sama saja,” Kisid melanjutkan.
Namun semangat Kisid dan pengungsi yang lainnya tidak tumbang begitu saja, bersama dengan KPA mereka berdiskusi lebih lanjut, hingga sampai pada keputusan untuk melaksanakan pertemuan dengan pihak Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSKN). Setelah tiga kali melakukan pertemuan, tawaran mereka masih sama yakni, skema perhutanan sosial. Tentu saja ditolak. Penolakan tesebut berdasar pada prinsip sebagaimana saat mereka ditempatkan di Timor Timur oleh pemerintah, pun saat di Sumberklampok. Mereka masih memiliki harapan yang sama bahwa pemerintah akan memberikan hak milik tanpa mereka harus meminta-minta dan memohon, sama seperti saat mereka di Timor Timur. Selain itu, kurang lebih selama dua puluh tahun, KPA menyusun konsep Damara (Desa Maju Performa Agraria). Konsep ini bertujuan untuk mewujudkan kemandirian dan kedaulatan masyarakat Bukit Sari.
Janji Pemerintah dan Hadiah Moeldoko
Harapan akan pemberian hak atas tanah terus hidup di dalam diri pengungsi. Mereka tetap mengelola tanah di Sumberklampok tanpa mendapatkan kepastian hukum. Padahal, menurut Pasal 24 Ayat (2) PP 24/1997 menegaskan bahwa seseorang yang menguasai fisik tanah selama kurun waktu 20 tahun secara terus-menerus dapat mendaftarkan diri sebagai pemegang hak atas tanah tersebut.
Sayangnya sampai sekarang mereka belum juga mendapatkan respon yang pasti, bahkan mereka sempat melangsungkan pertemuan dengan Moeldoko. Pertama, tahun 2021 saat Moeldoko ke Bali untuk penyelesaian HGU Sumberklampok di Denpasar. Saat itu Nengah Kisid sebagai perwakilan tidak masuk dalam undangan. Namun atas anjuran Sekjen KPA, Nengah Kisid pun memberanikan diri untuk hadir. “Saya minta waktu, saya interupsi setelah beliau [Moeldoko] selesai dengan HGU,” kata Nengah Kisid.
Ia pun mengulang kembali obrolan singkat mereka saat itu. “Bapak dari mana?” kata Moeldoko ketika Nengah Kisid meminta ijin untuk berbicara. Saat itu nengah Kisid pun langsung memanfaatkan kesempatannya, “saya perwakilan Eks-Timtim. Sudah 21 tahun belum juga tersentuh. Kami berharap karena kami juga ikut programnya pemerintah, kami ditempatkan di Timor Timur, seiring waktu SHM itu udah keluar, tanpa kami minta, tanpa kami mohon. Kami berharap sama itu terjadi di Sumberklampok dan minimal saya harus dapat setengah dari yang di Timor Timur.” Nengah Kisid pun menunjukan sertifikat tanah seluas 2 hektar di Timor Timur kepada Moeldoko. Ia pun menambahkan, “minimal saya harus dapat setengah dari luasan ini.” Kisid bercerita pertemuannya dengan Moeldoko.
Saat itu Moeldoko menyatakan bahwa permasalahan para pengungsi ini akan dibahas lebih jauh di Jakarta. Setelah itu, pada 16 Desember tahun 2021 mereka kembali diundang oleh Moeldoko untuk penyelesaian masalah Eks Tim-Tim, dihadiri juga oleh Kementerian Kehutanan. Pertemuan yang berlangsung di Jaya Sabha, Denpasar tersebut membuahkan hasil berupa janji dari pemerintah memberikan hadiah tahun baru untuk 2022. Bahkan perbincangan tersebut berlanjut sampai mereka diarahkan ke Jimbaran tepatnya di halaman Hotel tempat Moeldoko menginap. “Nah setelah di Jaya Sabha, karena waktunya pendek. Kita diajak lagi ke Jimbaran. Khusus untuk menyelesaikan kasus waktu itu. Ke Jimbaran karena waktunya mendesak disitu [Jaya Sabha] kan belum dapat banyak, disamping itu orang banyak, Pak Moeldoko ingin mendengarkan langsung ceritanya saya. Hanya bertiga, disitu ada fotonya. Tiga orang waktu itu,” lanjut Kisid sambil menunjuk dokumentasi foto yang dipasang di Balai Banjar.
Saat itu, Moeldoko juga meyakinkan bahwa permasalahan pengungsi ini akan selesai pada bulan Agustus 2022, namun faktanya sampai sekarang belum ada kejelasan. Meskipun pada bulan Juni 2022 saat berlangsungnya pertemuan di Kantor Desa Sumberklampok dengan agenda penyerahan program untuk warga HGU, Moeldoko turut hadir dan mengundang warga eks Tim-Tim untuk memberikan hadiah berupa Bioflok (kolam lele) beserta benihnya. “Itu baru dijanjikan tahun baru itu sama kado. Ternyata dikasih bantuan itu saja. Belum redistribusi lahan, tapi dikasih bantuan. Ada lagi janji terbaru,” tambah Sudiartana sambil tertawa.
Proses Pelepasan Lahan dan Tapal Batas Baru
Bantuan seakan menjadi tidak tepat sasaran, sebab warga Bukit Sari hanya ingin legalitas atas tanahnya. Setelah itu, mereka pun akan dapat mandiri mengelola tanah tersebut. Dukungan yang minim karena permasalahan lahan ini telah dialami sebagian besar warga Bukit Sari, seperti juga Suastini. Ia merupakan salah satu anggota dari kelompok Perempuan Bukitsari (PBS) yang turut melaksanakan transmigrasi ke Timor Timur sejak duduk di bangku kelas 4 SD mengikuti orang tuanya.
Keinginan mengubah kehidupan menjadi lebih baik harus berakhir saat Suastini berumur 25 tahun. Suastini yang posisinya telah menikah terpaksa pulang ke Bali dan meninggalkan lahan yang telah dikelolanya selama berpuluh-puluh tahun. Kepada kami, ia bercerita tentang kepulangannya ke Bali. “Dulunya kan, perjalanannya ngungsi dulu di Atambua ya, langsung ke Kupang, pas ribut-ribut itu dah kita disuruh ngungsi sama pak Ngahnya (Nengah Kisid), disuruh berangkat lah duluan, diantar ke sana sama pamannya (Nengah Kisid),” tutur Suastini menceritakan perjalanan kepulangannya ke Bali.
Pada saat tiba di Bali, Suastini baru menyadari bahwa ia tengah mengandung anak pertama. Dengan kondisi yang cukup memprihatinkan, berada di pengungsian, ia masih sempat bersyukur karena tidak melalui masa ngidam sampai pada hari melahirkan. “Waktu itu (saat melahirkan) di pengungsian, Pemaron, di Gedung keseniannya, itu benar-benar di Pengungsian, makanya anak perempuan saya itu dibilang Iluh Rundung karena ke sana ke sini diajak gitu baru lahir, di pengungsian,” lanjut Suastini bercerita.
Angin berhembus segar, tiga bulan pasca melahirkan, Suastini akhirnya mendapatkan kabar bahwa mereka diberikan lahan di Sumberklampok. Menghabiskan waktu sebulan menerabas hutan, Suastini kemudian diboyong ke Sumberklampok bersama dengan perempuan lainnya dan tinggal di gubuk sederhana buatan para bapak-bapak pengungsi sebelum mendapat bantuan bahan bangunan dari Kemensos.
Harapan baru kembali hadir setelah 22 tahun lamanya Suastini bersama para pengungsi lainnya menempati lahan pekarangan di kawasan hutan tersebut. Suastini mendapatkan kabar bahwa akan dilakukan pelepasan pekarangan seluas 7,98 hektar.
Namun kabar tentang pelepasan lahan untuk pekarangan itu pun masih dalam proses. “Proses dari tim terpadu, dari tim terpadu merekomendasi untuk pelepasan kan. Karena tim terpadu diberi SK hanya kajian pekarangan Fasos (Fasilitas Sosial) dan Fasum (Fasilitas Umum),” terang Kisid.
Kajian tersebut kemudian dijadikan landasan oleh Kementrian LHK, Siti Nurbaya untuk mengeluarkan surat persetujuan pelepasan. Proses ini ditandai dengan pemasangan tapal batas pada 27 November 2022. Meskipun telah dilaksanakan pemasangan tapal batas dan juga rapat di tingkat Kabupaten untuk menandatangani berita acara pelepasan pada tanggal 1 Desember 2022, sampai kini belum juga diserah terimakan terkait SK pelepasan tersebut kepada warga.
Gerakan Kolektif Warga dan Dukungan Berbagai Lini
Generasi Muda (GM) KPA
Cuaca terik menyelimuti Desa Sumberklampok tak menghentikan semangat lima anak muda keturunan eks transmigran Timor Timur untuk melakukan tugasnya. Usai menyelesaikan pekerjaan membantu orang tua di kebun, mereka meluangkan waktu untuk berkumpul di ruang tengah rumah milik Namet, yang juga merupakan anak dari Nengah Kisid. Terlihat sibuk namun asik mereka mengumpulkan dokumentasi untuk laporan kegiatan yang telah dilaksanakan beberapa waktu belakangan.
Kelima pemuda itu ialah Bali, Namet, Dipa, Sweca, dan Widi. Mereka tergabung dalam Generasi Muda (GM) KPA. Gerakan anak muda yang baru diawali tahun 2018 ini merupakan inisiasi dari Indrawati selaku koordinator KPA guna membantu warga Bukitsari mendapatkan hak atas tanahnya. “Karena waktu itu kami berlima kebetulan yang sering dikenal GM, Generasi Muda Eks Timtim itu diminta untuk mengerjakan databasenya, seperti input nomor KK, input nomor KTP,” kata Dipa selaku salah satu anggota dari GM.
Di Kebun Pak Kisid, Dipa sebagai salah satu pemuda yang cukup aktif mengikut isu agraria, bersedia meluangkan waktunya untuk bercerita dengan kami terkait gerakan pemuda di Bukitsari. Dipa menuturkan bahwa sebelum bergabung dengan KPA pada tahun 2017 dan dimintai bantuan untuk menginput database, ia bahkan tidak begitu mengetahui kisah perjuangan para Pengungsi Eks Timtim. “Jadi dari situ kita mulai denger cerita-cerita, ternyata tanah kita belum ada sertifikatnya ternyata. Waktu itu juga baru tau, ternyata, kita dari Timtim,” lanjut Dipa.
Mendengar kisah dari para tetua mereka yang sempat melangsungkan hidup di Timor Timur sampai kepulangan ke Bali membuat Dipa bersama dengan generasi muda lainnya tergugah untuk turut terlibat lebih jauh dalam perjuangan ini. Proses pelepasan pekarangan yang tengah berlangsung kini tidak terlepas dari peranan para GM pada awalnya mereka ditugaskan untuk mengurus administrasi yang saat ini serba digital, karena orang tua mereka yang dapat dikatakan cukup kurang memahami terkait teknologi.
“Ini kan bapak-bapak semua nih. Gaptek (gagap teknologi) lah istilahnya. Sempet mikir, ini kalau bapak-bapaknya disuruh ngetik kan ga mungkin. Terus sempet juga bapak saya ngasi tau “bantu dulu sebentar, di administrasinya biar lancar.” Setelah GM hadir dan membantu proses administrasi, alur proses penuntutan ini pun terasa lebih jelas. “Jadi data itu kita punya buat apa misalnya untuk adu argumen gitu, kalau pemerintah minta data jadi gampang dan prosesnya juga jadi lebih cepat, dari 2017 sampai sekarang kita udah dapat pekarangannya,” terang Dipa membicarakan celah yang dapat diambil para pemuda dalam proses perjuangan.
Tidak hanya membantu dalam urusan administrasi, GM juga dilibatkan dalam setiap rapat bersama dengan tim kerja. Sehingga dalam setiap pengambilan keputusan di lapangan, para anak muda memberikan masukan, meskipun sesekali beradu argumen, masukan yang diberikan tetap diterima dan didiskusikan kembali.
Dipa menilai bahwa anak muda sudah seharusnya terlibat dalam gerakan perjuangan warga Bukit Sari.Kesadaran mereka cukup penting untuk membantu orangtua memperkuat basis data yang acap kali diminta oleh pemerintah secara mendadak.
Selain di permasalahan agraria yang dialami warga Bukit Sari, bersama dengan KPA, Dipa juga lumayan aktif turut memperjuangkan masalah yang sama, seperti di Sumberkima terkait permasalahan tanah aset. Sesekali Dipa juga berkunjung ke daerah lainnya seperti Gianyar dan melihat serta mempelajari permasalahan agraria yang tengah berlangsung. Sebagai salah satu pemuda yang cukup aktif, Dipa berharap pemuda pemudi Bukit Sari lainnya, tidak hanya GM, lambat laun lebih peka terhadap permasalahan yang sama karena ia menyadari bahwa dalam memperjuangkan tanah tidak akan mungkin dapat berjuang sendiri.
Perempuan Bukit Sari (PBS)
Perjuangan pengungsi dalam memperoleh status hak atas lahan tidak hanya dilakukan oleh Pak Kisid, Dipa, Bu Indra beserta KPA, melainkan juga Suastini dan perempuan Bukit Sari lainnya yang luar biasa menyertai. Para peremuan ini tergabung ke dalam kelompok Perempuan Bukit Sari atau lebih dikenal dengan PBS.
Gerakan PBS yang beranggotakan 20 orang ini baru terbentuk tahun 2022 oleh bu Indra KPA. PBS memiliki tujuan memberdayakan para perempuan di Bukit Sari melalui pelatihan-perlatihan pengelolaan produk pasca panen, selain itu juga mereka sangat berperan penting dalam setiap kegiatan yang berhubungan dengan proses pelepasan lahan. Biasanya mereka bertugas menjadi seksie konsumsi. “Iyaa kalau ada kegiatan-kegiatan di banjar gitu lah, kita bantu,” terang Suastini.
Selain PBS, semangat perempuan Bukit Sari dalam gerakan juga terlihat dalam komite simpan pinjam khusus untuk warga Bukit Sari yang telah berlangsung selama 10 tahun. Komite ini pada awalnya memang diinisiasi oleh para bapak-bapak Bukit Sari dengan sumber pendanaan yang berasal dari desa. Namun dikarenakan permasalahan tanah yang hingga kini belum mendapatkan legalitas, gerakan ini kesulitan mendapatkan pendanaan.
Dukungan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)
Gerakan kolektif dalam memperjuangkan pengakuan hak atas tanah Warga Bukit Sari tidak hanya berasal dari warga beserta KPA, melainkan juga berasal dari beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat, diantaranya adalah Yayasan Wisnu dan IDEP. Keperluan dalam hal administrasi untuk diserahkan kepada pihak yang bersangkutan, seperti peta, sejarah maupun catatan kronologis, sampai dengan KK, KTP menyebabkan warga tidak dapat bekerja sendirian, meskipun GM telah berperan aktif dalam proses pengumpulan KK dan KTP serta bersama KPA telah membuat catatan kronologis, masih diperlukan pemetaan wilayah untuk melengkapinya.
Bersama dengan Yayasan Wisnu pada tahun 2018 kemudian warga Bukit Sari melaksanakan pelatihan pengambilan titik koordinat untuk membuat peta wilayah. Dengan bantuan tersebut, kini telah dimiliki peta wilayah Bukit Sari.
Selain membantu pemetaan, Yayasan Wisnu juga turut andil memberikan pelatihan kepada Suastini beserta 14 perempuan Bukit Sari lainnya untuk membuat sabun organik dari daun kelor. “wah itu udah lama, belum ada PBS, belum ada IDEP, mereka lah (Yayasan Wisnu) yang awalnya ngajarin kami,” terang Suastini kepada kami.
Setelah Yayasan Wisnu, menyusul IDEP pada 2021 memberikan program pelatihan kepada Warga Bukit Sari. Program yang berlangsung selama 1 tahun ini berupa pelatihan permakultur dan kebun pekarangan keluarga (KPK). Tidak hanya itu, IDEP juga memberikan pelatihan pembuatan minyak VCO beserta cabe bubuk kepada warga.
Pelatihan kapasitas guna meningkatkan pengetahuan warga tentu saja tidak hanya datang dari Yayasan Wisnu dan IDEP saja. Dari pihak Taman Nasional juga turut memberi pelatihan pengolahan keripik kepada ibu-ibu Bukit Sari. Selain itu, Balebengong hadir untuk memberikan pelatihan dasar dokumentasi seperti menulis dan membuat video serta SAFEnet terkait dengan keamanan digital yang tentu saja bermanfaat bagi warga Bukit Sari.
Potensi Ekonomi Warga Bukit Sari
Ketika berada di Timor Timur, para transmigran dapat menanam padi sesuai dengan program swasembada pangan yang diusung oleh pemerintah Orde Baru kala itu. Tidak hanya itu, selama berada di sana mereka juga dapat menanam buah-buahan seperti semangka dan melon. Kondisi lahan tersebut tentu membawa keuntungan besar bagi para transmigran yang didukung juga oleh luas lahan yang memadai. “Karena kan kalo denger dari segi cerita, di sana kaya Bedugul. Pasti kan udah kebayang suburnya tanah di sana gimana, terus ini juga cerita-cerita dari orang tua di sini juga, di sana saking asrinya mereka cari makan ga susah, karena dari, kan ada bantaran sungai, kalau pingin makan, ya cari ikan aja tinggal nangkep, gausah mancing, gausah nyaring, tinggal nangkep aja. Wah ini, terbayang jadinya masih asri banget di sana,” kisah Dipa membayangkan cerita orang tuanya saat berada di Timor Timur.
Namun, saat ini warga harus puas dengan kebun seluas 50 Are di Sumberklampok. Meskipun dengan kondisi lahan yang tidak sama seperti saat berada di Timor Timur, berbekal keahlian dalam bidang pertanian, para eks transmigran ini berhasil mengelola lahan mereka dengan menanaminya tanaman tumpang sari, seperti jagung, cabai, dan kacang-kacangan. Hal ini dikarenakan cuaca terik di Sumberklampok yang jarang disambang hujan.
Hasil dari perkebunan tersebut merupakan potensi ekonomi utama yang dimiliki oleh warga Bukit Sari, selain juga berinvestasi pada ternak sapi dan babi. Dalam hal peternakan mereka memiliki kelompok Subak yang diketuai langsung oleh Pak Kisid.
Seiring berjalannya waktu dan setelah mendapatkan pelatihan pengolahan produk pasca panen dari LSM, para ibu, khususnya Suastini sudah mulai mengolah hasil pertanian mereka untuk mengisi waktu luang dan menambah nilai ekonomis. Suastini sendiri telah mulai membuat produk olahan berupa keripik. “Awalnya kita kan beli dari petani di Bukit sari, terus bapak-bapaknya disini kan mendukung saya ya, saya minta 20 ribu ya dikasih berapa lah untuk ngolah, ini kan kita baru percobaan, udah saya sempat pasarin juga di warung warung bukit sari karena kita kan baru bikin sendiri kan engga kuat,” tutur Suastini menceritakan pengolahan keripik yang telah dilangsungkannya.
Solidaritas warga Bukit Sari secara tidak langsung juga menambah potensi ekonomi mereka. Seperti yang dialami Suastini, ia mendapatkan dukungan dari warga lain untuk meningkatkan produk olahan pasca panen yang berasal dari kebun mereka. Akan tetapi, Suastini belum dapat memasarkannya ke luar Bukit Sari karena terkendala oleh pengajuan izin yang perlu menunjukan bukti legalitas atas lahan yang mereka tempati.
Harapan Warga dan Refleksi Pemerintah
Sapaan hangat setiap warga Bukit Sari masih terngiang di dalam pikiran, dimulai dari malam hari saat kami menapakan kaki di sana sampai pada malam perayaan Siwaratri, pemuda-pemudi terasa ramah berbaur bersama kami.
Hari demi hari kami mendengar kisah dari perjuangan para eks transmigran ini, kekhawatiran akan penggusuran nampak terlihat meskipun terbalut oleh semangat perjuangan yang sampai saat ini tetap membara.
Bahkan Dipa secara gamblang menyampaikan bahwa mereka memiliki ketakutan kolektif. “Ketakutannya kalau sampai sekarang, pasti tani takutnya digusur ya karena kan belum legal nih, apalagi kita hutan ya. Udah gede banget risikonya yang di ambil. Apalagi sekarang ada isu bandara itu ya, tapi engga tau gimana jadi atau engganya tapi yang namanya orang tua dulu dikasi satu isu aja udah kemana-mana itu isunya, udah jadi pikiran satu hari satu malam, jadi ya kebanyakan sih kekhawatiran mereka ya digusur,” jelas Dipa menjabarkan ketakutan para warga.
Meskipun demikian, dengan janji-janji yang telah dilontarkan pemerintah, mereka masih memiliki harapan akan kepastian hak atas ruang hidup yang telah 23 tahun mereka kelola. “Ya memang harapan kita bersama disini kan seperti yang saya sampaikan itu. Itu harapan saya. Ditempatkan oleh pemerintah, tidak mesti saya harus minta dan memohon. Pemerintah itu hadir. Jangan kita pulang dari konflik, dihadapkan lagi dengan konflik. Faktanya kan itu, kita pulang dari konflik, dihadapkan lagi dengan konflik. Negara mesti hadir untuk menyelesaikan. Ini tugas negara,” tutur Kisid menyampaikan harapan warga Bukit Sari.
Harapan lain juga disampaikan oleh salah satu teruni Bukit Sari bernama Wanda. Wanda memiliki harapan bahwa apa yang tengah diperjuangkan saat ini agar cepat selesai karena warga tidak mau digantung tanpa kepastian terus menerus karena mata pencaharian mereka dari lahan dan hidup dari sana.
Terhitung 20 tahun semenjak di tempatkan di Sumberklampok.amun sampai saat ini warga belum juga mendapatkan kepastian bahkan untuk SK pelepasan pekarangan yang telah dijanjikan, sampai saat ini belum diserahterimakan. Harapan dan ketakutan warga yang terus bergulir dari hari ke hari harusnya dapat dijadikan sebagai landasan pemerintah mengambil keputusan yang berpihak kepada rakyat.