Bali yang Binal digagas Komunitas Pojoks dan Komunitas Seni di Denpasar.
Kegiatan ini sebagai respon atas penyelenggaraan even seni Bali Bienalle. Bagi beberapa orang Bali Bienalle adalah sebuah even jor-joran yang tidak jelas arah dan tujuannya.
Bali yang Binal #1, mengambil tempat di Art Center, Denpasar. Dengan dana patungan, Bali yang Binal pertama menjadi ruang pada para perupa (muda) untuk berkumpul dan melakukan sesuatu tentang (ke)seni(an. Hampir semua unsur (ke)seni(an) mendapatkan tempat mulai dari seni rupa, pagelaran musik sampai video art.
Bali yang Binal #2 berlangsung dua tahun kemudian. Tepatnya pertengahan tahun 2007. Berlokasi di Art Center dalam pergelaran Bali yang Binal #2 Komunitas Pojok dan Komunitas Seni di Denpasar (KSDD) mengambil tema studio work, sebuah hajatan yang ingin lepas dari kaidah-kaidah berpameran di Bali.
Pada era itu, yang biasa terjadi seniman membuat karyanya secara tertutup sehinggga pengunjung pameran hanya bisa melihat setelah karya itu jadi. Pengunjung tidak diberi ruang untuk melihat dan menikmati bagaimana proses penciptaan karya tersebut.
Hal itu coba dilawan pada Bali yang Binal #2. Pengunjung hadir disuguhi bagaimana proses sebuah karya tercipta.
Ketika Bali Bienalle yang sempat menghebohkan dunia seni rupa di Bali dengan kemunculannya yang tiba-tiba mati, menghilang dan tidak digelar lagi bahkan hingga kini, Bali yang Binal malah memberikan sensasi kenikmatan dalam proses berkarya bagi para penggiatnya khususnya Komunitas Pojoks.
Hingga akhirnya Bali yang Binal #3 pun diselenggarakan pada pertengahan 2009.
Pengalaman dan ketertarikan individu akan mempengaruhi arah sebuah komunitas. Hal ini terlihat pada Bali yang Binal #3. Pada era itu Beberapa individu di Komunitas pojok sedang tergila-gila pada seni publik seperti mural wheatpaste, stensil dan seterusnya.
Selain itu, maraknya baliho-baliho selama kampanye yang sangat tidak terkontrol dan monoton memicu untuk menggeser pergelaran Bali yang Binal #3 ke lokasi lebih dekat pada publik. Dengan begitu dia bisa menjadi suguhan alternatif visual bagi publik yang selama ini telah dijejali oleh baliho kampanye peserta Pemilu.
Ruang publik yang dipilih adalah Alun-alun (lLapangan Puputan) Kota Denpasar. Wajah taman kota pun menjadi penuh baliho-baliho karya Komunitas Pojoks serta beberapa tukang gambar dari dalam dan luar Bali.
Setiap peristiwa akan memberikan sensasi yang menyusun pengalaman yang nantinya membentuk kesadaran.
Setiap peristiwa akan memberikan sensasi yang menyusun pengalaman yang nantinya membentuk kesadaran. Alasan tersebut membuat Bali yang Binal #4 hadir kembali pada 2011. Kenikmatan berkarya diruang publik kembali membuat penyelenggaraan dilakukan di Lapangan Puputan (alun-alaun) Kota Denpasar.
Karya-karya Baliho menghiasi alun-alun Kota Denpasar, tidak cukup dengan itu beberapa mural dibuat di tembok-tembok seputaran Kota Denpasar.
Jelang penyelenggaraan Bali yang Binal #5, sebuah pertanyaan muncul, di manakah sebenarnya ruang publik? Pertanyaan yang didasari atas bagaimana ruang publik ternyata terikat pada birokrasi pemerintahan. Hal itu membuat pencarian ruang publik baru, dan yang dipilih adalah Jl. Merdeka Denpasar.
Bali yang Binal #5 pun berlangsung di tahun 2013. Baliho-baliho dari berbagai tukang gambar partisipan dipamerkan di sepanjang Jl. Merdeka Denpasar. Tak ketinggalan, mural di tembok-tembok seputaran kota Denpasar pun masih terus dilakukan pada helatan Bali yang Binal #5.
Waktu bergerak sangat cepat. Tanpa disadari kini kalender telah bertuliskan 2015. Artinya perhelatan Bali yang Binal #6 akan digelar.
Pada pergelaran keenam, Bali yang Binal masih pada percaya bahwa (ke)seni(an) adalah milik publik. Publik berhak untuk melihat bagaimana sebuah karya (ke)seni(an) itu diciptakan, serta bagaimana dialog antara tukang gambar dan publik di sekitar tempat dibuatnya karya bisa saling membangun.
Maka dipilihlah 30 tembok seputaran Kota Denpasar sebagai media yang bisa digunakan untuk mengakomodasi karya partisipan.
Selain itu, kenikmatan ”pergesekan” yang kemudian menjadi dialog dan sempat dirasakan dalam Studio Work pada Bali yang Binal #2 ingin dihidupkan kembali dengan menyediakan media di satu tempat yang mampu mengakomodasi tukang gambar yang terlibat dalam Bali yang Binal kali ini untuk berproses penciptaan karya bersama.
Bali yang Binal telah hadir 12 tahun. Menghiasi tidak hanya pengalaman tukang gambar yang terlibat, tetapi juga mengisi ingatan publik.
Sampai berjumpa di pertengahan tahun ini. [b]