Maret ini, Bentara Budaya Bali menggelar program Sedulur Air.
Pameran Seni Lukis Tiga Generasi Padangtegal membuka rangkaian program sepanjang Maret 2017 itu. Pameran menghadirkan 46 karya rupa dari tiga generasi seniman di Padangtegal Ubud.
Melalui karya-karyanya, para seniman ini merespon tematik Air, baik secara simbolis, filosofis maupun cerminan kehidupan sehari-hari masyarakat. Gelar karya yang dikuratori oleh Ketut Budiana, I Made Subrata dan I Made Mastra ini akan berlangsung sampai 21 Maret 2017.
Air merupakan salah satu memori kultural Bali yang memiliki peranan penting dalam tataran keseharian masyarakat, juga secara simbolis dan filosofis. Sebagai sebuah budaya yang memuliakan air, Bali memandang toya dalam aneka perspektif penting: Air mengalir sebagai karunia yang menumbuhkan, menyuburkan sekaligus menyucikan seisi semesta.
Kehadirannya begitu dipuja dalam berbagai ritual keseharian maupun keagamaan— bahkan menjadi kebutuhan utama setiap upacara. Dalam tataran lain, air adalah representasi dari sang Dewata itu sendiri, termanifestasikan dalam keagungan Dewa Wisnu, yang memelihara seluruh alam semesta ini.
Penghormatan kita terhadap air, sang sedulur yang menghidupi manusia dan makhluk lainnya, diuji oleh arus perubahan yang membutuhkan sikap konkrit atas upaya-upaya pelestariannya. Hal inilah yang melatari keseluruhan rangkaian program Sedulur Air yang digelar di BBB.
Selain Pameran Seni Lukis Tiga Generasi Padangtegal, rangkaian program Sedulur Air mengetengahkan juga Pementasan “Seni Jantur Panji Udan” oleh Agus Bima Prayitna; Timbang Pandang “Air Dalam Kata dan Rupa”; Workshop “Komunitas Air Langit” bersama Romo V. Kirjito; serta dialog Bali Tempo Doeloe #16 “Air: Harmoni Bumi dan Diri” yang menayangkan pula dokumenter Bali 1928.
Turut memaknai “Sedulur Air”, akan dipertunjukkan Arja Siki bertajuk “Kampanye Calon Gubernur Air” oleh Cok Sawitri menggunakan visual art dan instalatif art oleh Adrian Tan, merujuk pada “Perayaan Perempuan dan Air”. Pementasan ini menampilkan juga tari “Sesapi Ngundang Ujan” buah cipta koreografer Ida Ayu Arya Satyani.
Melalui perspektif para perupa Tiga Generasi Padangtegal, yang merespon tematik “Sedulur Air” ini, kita diajak untuk meresapi kembali makna air dalam kehidupan masyarakat Bali. Mereka, para pelukis ini, tumbuh dari komunitas tradisi yang mempraktikkan laku keseniannya mula-mula sebagai undagi; masing-masing merespon filosofi Hindu dan mewujudkannya ke bentuk patung, relief maupun ukiran seperti yang digeluti oleh para pendahulunya.
Aspek teknis dan filsafati mengalir terwariskan dalam komunitas ini hingga sejauh tiga generasi, di mana tiap-tiap dari seniman mengetengahkan kosarupa yang khas dengan dirinya, tanpa kehilangan ciri lukis Padangtegal yang dari waktu ke waktu terbukti memperkaya khazanah seni lukis di Bali.
Para seniman tiga generasi tersebut antara lain, Dewa Ketut Ding (1924), Mangku Wayan Nomer (1932), Ida Bagus Rai (1933), I Wayan Tegun (1936), Ni Luh Siki (1940), I Ketut Rawiasa (1950), Ketut Budiana (1950), Nyoman Suradnya (1951), I Made Subrata (1952), Drs. I Made Subrata, M.Si (1952), I Wayan Sulendra (1954), I Made Parna (1955), Nyoman Wardana (1959), Ida Bagus Jembawan (1960), I Wayan Supartama (1962), Ketut Parmita (1963), I Wayan Wartama (1963), I Made Karsa (1964), Nyoman Cheeyork Anna (1966), I Nyoman Darmayasa (1969), I Wayan Mudara (1970), Putra Gunawan (1971), Kadek Suraja (1972), Dewa Gede Artawan (1972), I Nyoman Sudana (1976) dan Ida Bagus Putra Yadnya (1987).
Rangkaian Program
Serangkaian Pameran Seni Lukis Tiga Generasi Padangtegal dan program Sedulur Air diselenggarakan pula timbang pandang bersama para seniman yang terlibat pada Sabtu (11/3) pukul 19.00 WITA.
Akan berbicara perupa I Ketut Budiana dari Komunitas Seniman Padangtegal dan Romo V. Kirjito dari Komunitas Air Langit. Keduanya akan mengetengahkan perspektif dan pembacaan kreatifnya masing-masing atas tema Air ini.
Selain itu, akan tampil pula sebagai pembicara budayawan Wayan Westa, yang akan memaparkan pandangannya seputar peranan Air dalam konteks kultural Bali, berikut pemaknaannya secara simbolis maupun filosofis.
Selain itu, secara khusus, pada Sabtu (11/3) pukul 15.00 WITA dan Minggu (12/3) pukul 10.00 WITA di BBB digelar pula Workshop Bersama Komunitas Air Langit, sebuah komunitas budaya yang berupaya mengembangkan pemanfaatan air hujan atau air langit sebagai air minum sehat.
Pada workshop kali ini akan diulas mengenai proses pembuatan instalasi ionisasi Air Hujan di bawah arahan langsung Romo Kirjito, Agus Bima Prayitna, dr. Frederik Kosasih dan Edgar Nguwisa. Akan dipaparkan pula berbagai upaya dan kajian yang telah dilakukan komunitas ini guna mempelajari Air Hujan secara saintifik eksperimental.
Sejarah mencatat, ada banyak masyarakat yang hidup sehat dengan Air Hujan. Hal itu sudah berlangsung secara turun-temurun puluhan bahkan ratusan tahun. Sebut saja masyarakat di beberapa daerah di Pulau Kalimantan, Sumatra, dan Papua. Di sana air tanahnya bersifat payau, banyak mengandung logam berat, sehingga tidak aman dikonsumsi terus-menerus.
Demikian pula daerah perbukitan kapur Wonosari, Yogyakarta, sulit sekali mendapatkan air tanah. Air hujan pun dimanfaatkan sejak dulu kala oleh masyarakat lereng timur Merapi (ketinggian di atas 400 meter dari permukaan air laut), seperti Kecamatan Kemalang dan Jatinom, Kabupaten Klaten.
Meskipun hawanya dingin, sejuk, tanaman dan hutan hidup subur, namun tidak ada mata air. Menggali tanah hingga kedalaman 10 hingga 40 meter pun tidak menemukan air. Syukurlah Air Hujan tersedia berlimpah pada setiap musimnya.
Romo V. Kirjito, sejak beberapa terakhir telah melakukan riset dan kajian mengenai pengolahan air hujan sebagai air minum sehat. Berdasarkan penelitiannya, Air Hujan di Indonesia memiliki kandungan mineral terlarut (total dissolved solid/TDS) di bawah 20 miligram per liter (mg/l). Angka ini lebih rendah dari batas ketentuan WHO tentang kadar mineral dalam air tertinggi yang boleh dikonsumsi, yaitu 50mg/liter. Penelitian itu juga menyebutkan bahwa semakin rendah nilai TDS, maka air tersebut semakin murni.
Romo Kirjito kemudian mengembangkan teknologi sederhana untuk penampungan dan pengolahan air hujan menggunakan peralatan sehari-hari dengan biaya yang terbilang murah. Atas upayanya membangun kesadaran publik tentang manfaat Air Hujan ini, Romo Kirjito meraih penghargaan Maarif Award (2010) di bidang kepemimpinan lokal, lingkungan dan kemanusiaan dan penghargaan Kebudayaan Kementerian Pendidikan RI (2015) dalam bidang Penelitian Budaya Air Hujan secara sientifik. Di Bali sendiri, atas dorongannya, telah berdiri Komunitas Air Langit Bali yang secara guyub berupaya memasyarakatkan penemuan ini.
RANGKAIAN PROGRAM SEDULUR AIR
Pameran Seni Lukis Tiga Generasi Padangtegal
Pembukaan : Jumat, 10 Maret 2017, pukul 18.30 WITA
Pameran berlangsung : 11 – 21 Maret 2017, pukul 10.00 – 18.00 WITA
Workshop
BERSAMA KOMUNITAS AIR LANGIT
Sabtu, 11 Maret 2017, pukul 15.00 WITA
Minggu, 12 Maret 2017, pukul 10.00 WITA
Timbang Pandang
AIR DALAM KATA DAN RUPA
Sabtu, 11 Maret 2017, pukul 19.00 WITA
Narasumber : I Ketut Budiana, Romo Kirjito dan Wayan Westa
Bali Tempo Doeloe #16
AIR: HARMONI BUMI DAN DIRI
Tayang Dokumenter Bali 1928 & Timbang Pandang
Selasa, 14 Maret 2017, pukul 19.00 WITA
Narasumber : Marlowe M. Bandem (Koordinator Proyek Repatriasi Rekaman Bali 1928) dan Drs Deny Suhernawan Yusup, MSc. (Dosen Jurusan Biologi Universitas Udayana).
Pertunjukan
PERAYAAN PEREMPUAN DAN AIR
Sabtu, 18 Maret 2017, pukul 19.00 WITA
Menampilkan : Arja Siki “Kampanye Calon Gubernur Air” oleh Cok Sawitri, Visual art & instalatif art oleh Adrian Tan, dan Tari “Sesapi Ngundang Ujan” (koreografer Ida Ayu Arya Satyani)
Sinema Bentara #KHUSUSMISBAR
AIR DAN PESISIR
Pemutaran Film Fiksi & Dokumenter
Sabtu – Minggu, 25 – 26 Maret 2017, pukul 17.00 WITA