Pertanian selalu identik dengan usia produktif petani yang secara rata-ata sudah menginjak usia non produktif. Hal ini jadi persoalan yang bisa mempengaruhi kualitas maupun kuantitas produksi suatu pertanian. Inilah salah satu pembahasan dalam Klub Menulis: Kopi di BaleBengong bersama Candikuning Farm dan EduCaffeine.id, pada 2 Oktober 2023.
Secara teknis dan non teknis, petani di usia non produktif akan memakai pola kebiasaan dan pengalaman dari apa yang telah dia lakukan selama puluhan tahun dalam pertaniannya. Wacana soal jumlah petani tua yang semakin bertambah dan petani muda yang pertumbuhan jumlahnya cenderung lambat mengakibatkan hal ini terus diperbincangkan.
Bagaimana dengan petani muda? Tentu hal ini bisa jadi harapan bagi keberlanjutan. Dengan usia produktif yang panjang, keilmuan, dan akses informasi terbaru jadi modal pertanian keberlanjutan. Lalu petani di usia senja yang non produktif bisa melanjutkan apa yang sudah dia tanam pada petani muda yang produktif.
Banyak sekali tantangan tentang generasi dan regenerasi di agro industri di Indonesia ini. Jika disebut beberapa mungkin kita punya tantangan dimulai dari kemauan dari generasi penerus petani tersebut mengambil peluang melanjutkan. Lalu tentang petani yang terdidik dan lulusan fakultas pertanian yang Sebagian kebingungan setelah mereka lulus, dan beberapa tersebut berakhir di meja kantor.
Mungkin itu hanya dua, dan tentu masih banyak lagi tentang tantangan regenerasi, tapi ditulisan ini tidak akan membahas lebih banyak lagi tentang itu.
Di ekosistem industri kopi di hulu persoalan regenerasi juga jadi tantangan. Di beberapa daerah yang saya dengar seperti Toraja, Sulawesi, Gayo, Aceh, dan Kintamani, Bali jadi beberapa daerah di mana regenerasi petani jadi perhatian penting. Kesempatan meneruskan keberlanjutan di hulu industri kopi sangatlah terbuka luas, mulai dari mereka yang mengerjakan diperkebunannya sampai mereka mengerjakan kopi di pasca panen kopi.
Di proses regenerasi ini saya tidak menepikan peran petani tua, dan menyepelekan munculny bibit petani muda. Tapi dua sosok ini bisa jadi dua elemen keberlanjutan dalam sistem regenerasi pertanian secara luas, dan secara khusus di kopi.
Saya mempunyai pengibaratan untuk dua sosok ini. Ibaratkan petani tua sebagai akar dari kopi, dimana dia jadi pondasi penting bagi kebun kopi, dengan pengalaman dan kearifannya di kebun.
Tangan yang ditempa dari pengalaman merawat tanaman kopi jadi bagian penting selanjutnya diwariskan ke tangan petani muda. Secara fakta pohon kopi dengan akar yang kuat jadi tanaman penting untuk menjaga tanah dan konservasi, seperti yang dilakukan oleh klasik beans.
Lalu petani muda ialah bunga kopi yang akan mekar dan tumbuh menjadi buah cherry kopi. Petani muda di kopi ini jadi harapan bagaimana sifat pembelajar, dan akses keterbaharuan informasi tentang pengembangan kebun kopi jadi lebih baik. Bukan cuma tentang menanam saja yang sudah dilakukan petani tua tetapi juga bisa mengembangkan bagaimana memproses kopi jadi memiliki nilai yang lebih tinggi.
Saya cukup banyak bertemu petani dan pengolah kopi dengan usia muda, di rentang usia 23-35 tahun. Mereka banyak bercerita dengan semangat bagaimana mereka bangga bisa merawat sampai mengolah hasil tanaman kopi yang mereka punya dari apa yang telah diwariskan dari generasi sebelum mereka.
Mereka pembelajar yang pandai, tak hanya menjual buah cherry kopi merah, mereka sekarang mengolah sendiri untuk meningkatkan nilai jual kopi yang mereka punya. Tak lupa mereka juga bercerita bagaimana generasi sebelum mereka tetap ada bersama mereka sebagai pendamping mereka merawat tanaman kopi.
Akar dan bunga kopi jadi hal yang penting bagi tanaman kopi. Akar kopi adalah bagian terkuat dari tanaman kopi, lalu bunga kopi adalah bagian penting lainnya yang nantinya akan menghasilkan buah kopi. Begitupun petani tua dan petani muda yang bersama-sama saling bekerja sama merawat, dan membawa keterbaharuan dalam keberlanjutan kopi di hulu.