Seorang teman erkesima melihat pemandangan yang belum pernah ia lihat sebelumnya.
“Itu punya siapa?” tanyanya menunjuk tumpukan hasil bumi yang berjejer di pinggir jalan sepanjang jalur Kintamani – Bangli. Ada nangka, labu siam, kelapa, sayur mayur, dan sebagainya.
“Punya orang,” jawab saya sekenanya.
Tentu saja saya tidak tahu itu punya siapa. Tapi jelas itu milik petani atau penduduk desa sekitar jalur, seperti Pengootan, Kayubihi, Bangklet, dan sekitarnya.
Biasanya mereka meletakkan hasil bumi itu di pinggir jalan agar memudahkan pengangkutan ke pasar induk (Pasar Badung) di Denpasar. “Loh? Petaninya ke mana?“ tanyanya lagi. “Manalah saya tahu. Pulang ke rumahnya barangkali,” sahut saya, mengingat memang hari sudah mulai malam.
Mendengar jawaban saya, teman itu sangat heran. “Lalu, hasil panen sebanyak itu siapa yang nungguin?”
”Ya, nggak ada,” kata saya.
“Nggak hilang, ya?” lanjutnya dengan wajah bertambah heran.
“Harusnya sih nggak! Kan orang tahu kalau hasil panen itu ada yang punya. Jadi orang lain tidak akan mengambil,” kata saya.
Lalu saya menunjuk pada ranting kecil yang ditancapkan mirip bendera di tiap tumpukan hasil panen itu. Selalu ada penanda kecil di atas setiap tumpukan itu. Jika bukan ranting, mungkin dedaunan dan sebagainya. “Itu namanya sawen,” kata saya.
Sawen di Bali digunakan sebagai pertanda atau isyarat tak tertulis. Maknya, suatu benda itu ada yang punya. Karena ada yang punya, jadi tidak boleh diambil.
Setiap orang yang lewat di daerah itu, jika melihat tanda sawen, harusnya menghormati tanda itu. Dia tidak boleh mengambil. Karena jika mengambil sesuatu yang ada pemiliknya tanpa izin, berarti itu mencuri. Dan, tentu saja, mencuri adalah perbuatan kriminal yang dilarang. Perubauatn ini tidak akan dilakukan orang di sekitar tempat itu.
Jadi, dengan sendirinya hasil panen yang memiliki tanda sawen itu tentunya tidak akan ada yang mengambil. Begitulah tradisi yang berlaku selama berpuluh-puluh atau bahkan mungkin ratusan tahun. Kenyataannya memang tak ada yang mengambil.
Kedengarannya memang dangkal dan tidak masuk akal. Masa, kok hanya sepotong ranting seperti itu saja sudah mampu menghindari terjadinya pencurian. Tapi memang iya. Demikianlah kebenarannya di Bali.
Faktanya bertahun-tahun sejak kecil saya selalu melihat hal sama. Petani meletakkan tumpukan hasil panennya di pinggir jalan hanya dengan tanda sawen. Tanpa sedikit pun pengawasan. Esok harinya, hasil panen siap diangkut dibawa ke pasar besar di Denpasar.
Dan terus terang. Saya belum pernah mendengar berita tentang pencurian atas hasil panen itu terjadi sama sekali. Pertama, tentu karena masyarakatnya memang tidak mau mencuri. Kedua, karena memang hasil panen itu telah ditandai dengan Sawen. Artinya mohon jangan diambil karena sudah ada yang memiliki.
Saya pikir letak keberhasilan keamanannya sebenarnya bukanlah pada ‘tanda’ sawen itu sendiri. Keberhasilannya, lebih pada norma-norma moral yang dianut penduduk desa sekitar di mana sawen diletakkan. Sawen dalam hal ini hanyalah sekedar alat bantu yang cukup sukses.
Kata sawen juga diaplikasikan bukan saja oleh para petani untuk menjagi hasil taninya, namun juga tetap relevan untuk hal-hal lain. Kadang kita melihat buruh di jalan juga meletakkan tanda sama di atas pasir untuk membangun rumah. Ya, artinya bahwa pasir itu ada pemiliknya. Jadi, mohon jangan diambil.
Atau bisa juga kita temukan sawen di pagar rumah, kebun, dan sebenarnya. Bahkan sering juga kita mendengar kalimat olok-olok bahwa seorang gadis A yang ayu nan jelita sudah ‘disawen’. Maksudnya sudah ada yang punya alias sudah punya pacar. Jadi, sebaiknya jangan diganggu.
Tentu saja dalam hal ini pertandanya bukan ranting atau dedaunan. Mungkin berupa cincin pertunangan. Masih banyak lagi penggunaan sawen ini bisa kita temukan dalam kehidupan sehari-hari.
Jadi, sawen memang merupakan salah satu pertanda kecil dalam kehidupan masyarakat Bali sehari-hari. Sawen berperan penting dalam membantu menata kondisi masyarakat yang aman. Bebas pencurian. Bebas gangguan. Sehingga, jika kita perhatikan dengan baik, Bali memang merupakan daerah yang relatif aman dan rendah kasus pencurian dibandingkan daerah lain.
Terus terang sejak meninggalkan Bali saya sudah nyaris lupa kata sawen ini. Hingga, saya melihat anak saya mengambil sebuah apel dari atas meja makan, menggigitnya sedikit lalu meletakkannya kembali di tempat buah. Saya perhatikan ia meninggalkan jejak giginya di buah apel.
“Itu punyaku. Sudah ada tanda giginya. Jadi jangan ditukar,” katanya sambil lewat di sebelah meja makan lalu lari bermain keluar rumah. Ia meninggalkan sawen pada buah apel itu, tanpa ia sadari.
Melihat ini, seketika saya teringat adik bungsu saya yang kelakuannya hampir sama dengan anak saya. Ketika kami masih kanak-kanak, adik bungsu saya pernah menggigit jambu biji yang masih menggelantung di pohonnya di halaman rumah kami. Dia meninggalkan jejak giginya di buah itu.
Ketika buah jambu itu membesar dan matang di pohonnya, kami semua tetap tahu itu adalah miliknya. Caranya dengan melihat jejak giginya yang tidak teratur pada buah jambu biji yang sekarang mulai membesar seiring dengan membesarnya ukuran buah itu. Tentu saja tak seorang pun dari kami kakak-kakaknya ada yang berani mengambil buah itu.
Itulah sawen. Penanda untuk mencegah orang lain mengambil milik kita. Mengingat kata sawen jadi membuat saya kangen kampung halaman. Betapa tentram dan damainya. Tenang dan aman tanpa kasus pencurian. [b]