Teks dan Foto Kadek Lisa Ismiandewi
Sekarang saya membuat lubang di halaman belakang rumah.
Lubang ini saya gunakan untuk membuang sampah daun, rumput,sisa-sisa makanan, sayur dan buah yang sudah tak layak makan, dan sampah lain sisa memasak. Dan isi mayoritas lainnya lubang ini adalah sampah canang hari kemarin. Lumayanlah. Sejak ada lubang ini, saya mengamati jumlah sampah yang saya buang ke tempat sampah di depan rumah semakin berkurang.
Biasanya setiap pagi saya membuang satu plastik sampah yang isinya macam-macam. Mulai dari kulit bawang, botol plastik, daun-daun kering, canang, dll. All in one lah pokoknya. Semua masuk ke kantong plastik.
Lama-lama saya merasa bersalah dengan diri sendiri. Kenapa begitu banyak sampah yang saya buang setiap hari. Apa tidak ada sampah yang “bukan benar-benar sampah” dalam arti masih bisa dipergunakan. Dan saya sadar, bahwa ada sampah daun, canang, yang sebenarnya bisa “bersatu lagi” dengan tanah. Jadi untuk apa saya buang begitu saja?
Malas. Itulah jawaban yang saya temukan. Malas untuk memisahkan sampah. Saya yakin, ini adalah jawaban yang sama bagi kebanyakan orang ketika ditanya kenapa tidak memisahkan sampah di rumah tangga.
Padahal tidak perlu modal yang banyak. Cukup siapkan dua sampai tiga kantong terpisah. Bisa dari kantong plastik bekas belanja di supermarket atau karung bekas. Satu untuk sampah plastik,kaleng. Satu untuk kertas, dan satu lagi untuk sampah daun-daun dan sejenisnya. Bisa tambah satu kantong lagi untuk sampah residu dan limbah berbahaya (seperti baterai, pembalut).
Untuk lebih jelas mengenai pengelompokan-pengelompokan sampah ini, teman-teman bisa mencari informasi di organisasi yang intens menangani masalah sampah. Atau menyadur informasi dari internet. Sudah banyak kok. Tinggal kumpulkan niat dan laksanakan.
Tapi niat untuk memisahkan sampah itu memang saya akui susah. Apalagi sampah organik, kalau kita perhatikan rumah-rumah yang punya selokan di pinggir rumahnya, setiap pagi sampah daun di halaman atau sampah canang pasti dibuang di selokan. Sampah ini akan menyumbat aliran air dan kalau hujan pasti akan meluap.
Saya amati rumah-rumah di Bali, setiap hari di pagi atau sore mereka membuang sampah canang. Jumlahnya berkisar puluhan. Dari canang tangkih (yang berupa daun dan bunga) sampai canang ceper (yang terbuat dari janur dan bunga). Canang ceper memuat bunga dalam jumlah yang lebih besar, jadi sampah yang dihasilkan lebih banyak. Kalau misalnya setiap rumah punya lubang sampah untuk membuang sampah itu, saya yakin jumlah sampah yang dibuang ke TPA (Tempat Pembuangan Akhir) pasti banyak berkurang.
Jika di tinggal di perkotaan yang tidak punya lahan tanah kosong (karena semua sudah disemen) bisa membuat media lain (kotak kompos) untuk tempat sampah organik. Tidak harus mahal, kotak kompos ini bisa dibuat dari bahan-bahan sederhana yang ada di rumah.
Selain di rumah tangga, sampah canang di pura juga saya rasa belum terorganize dengan baik. Ambil saja contoh di salah satu Pura besar di Denpasar. Kalau hari raya Purnama dan hari raya lain dimana ada persembahyangan bersama, jumlah penggunaan canang pasti meningkat. Dan sampah canang bertumpuk begitu saja, biasanya tercampur dengan sampah lain, misalnya plastik. Bayangkan kalau diolah dengan benar. Sampah dari canang ini bisa menjadi bahan yang bagus untuk pupuk kompos.
Tapi kembali lagi pada kesadaran masyarakat. Kalaupun sudah disediakan tempat sampah terpisah, belum tentu juga dipisahkan. Pernah saya melihat di sebuah Pura di Buleleng menyediakan dua tempat sampah terpisah. Masing-masing bertuliskan sampah organik dan non organik. Tapi waktu saya lihat ke dalamnya, ups… masih tercampur semua. Kalau sudah begini, fasilitas yang disediakan akan terasa cuma-cuma kalau tidak ada pengetahuan dan kesadaran dari masyarakat.
Lalu siapa yang bertugas “memberi tahu” masyarakat? Tentunya Ini tidak hanya menjadi tugas pemerintah. Saya rasa semua masyarakat dan pemangku kepentingan harus berperan serta. Dari langkah kecil, membuat lubang sampah untuk sampah organik, saya rasa bisa memberikan kontribusi pengurangan sampah di TPA. Toh kita tidak akan rugi,karena sampah organik ini akan menjadi pupuk dan memberikan manfaat kembali untuk tanah. Tinggal mencari informasi untuk menambahkan bakteri starter, agar pembusukan sampah di lubang bisa dipercepat sehingga lubang tidak cepat penuh. Kontribusi kecil ini bisa membantu menyelamatkan lingkungan kita. [b]
good idea..
setuju bgt mbok kadek..