Oleh Arief Budiman
Omong-omong soal kuliner Jogja bikin lidah selalu berselera. Makanya mindset dari Bali ketika akan berangkat ke Jogja selalu ”Never Ending Makan Enak”. Saking banyaknya variasi kulinernya, saya mengkhusus ke makanan yang semi ngemper dan restoran kecil aja yang jadi prioritas. Eksotik, suasana casual dan merakyat serta harga ”merdeka” adalah benchmarknya.
Suatu ketika saya ke Jogja untuk festival iklan Pinasthika, suatu hari selepas acara kita pergi ke arah yang belum saya kenali. Jalan kecil dengan sawah di kiri-kanan jalan, dan di kegelapan malam kita diajak Eko Bebek (konon di Jogja dia ini MC + pelawak ngetop) belusukan ke sebuah pasar desa yang kecil dan gelap di Klatak. Di tengah pasar dengan hanya penerangan pelita itu ternyata banyak orang tengah bersantap dengan santainya.
Apa yang disantap? Sate! Ya sate tapi raksasa. Kira-kira potongan daging kambingnya sebesar perkedel kentang yang biasanya kita temui, ditusukan bukan pada gagang bambu tapi jeruji sepeda. Dibakar lalu disajikan tanpa bumbu. Alamak lezatnya. Tiga sampe 4 tusuk saja sudah cukup (jika bisa dengan tegas menyetop). Minumnya teh poci diseruput di gelas yang tehnya ikut ketelen dikit2. Hmm. Malam yang sempurna ditambah dagelan khas Jogja ala Eko Bebek.
Karena lokasinya itulah makanya kemudian namanya menjadi ”Sate Klatak”. Yang kian hari penyuka-nya kian meluas. Yang lebih mengherankan lagi yang datang di tengah pasar itu bukan orang desa sana tapi dari Jogja sebangsanya budayawan, seniman dan beberapa tetamu dari Jakarta atau kota lain. Konon eksotika Sate Klatak ini yang bikin digemari selain emang daging kambingnya empuk.
Ke Jogja lagi lain hari untuk persiapan konser Adam Gyorgy di Prambanan. Kali ini petualangan kuliner di Jogja bakal tambah menggila karena sohib saya Iyal yang mantan chef belasan tahun itu kini menetap di Jogja. Bukan soal percaya pada pengalamannya menjadi ”chef” tapi Iyal penyuka makanan unik dan tepatnya kerap bereksperimen dengan makanan, baik yang akan disajikan maupun sekadar bersantap dengan teman2. Pengalamannya ini yang membuat Jogja akan semakin menggairahkan.
Baru turun dari pesawat di Adisutjipto langsung menjadi petualangan No. 1 adalah makan siang di Warung Endess. Lokasinya di dekat Restoran Gajah Wong yang legend itu di Jembatan Merah. Tempatnya agak di tikungan jalan di tanah yang luasnya mungkin hanya 3 atau 4 are.
Bangunannya sederhana atap genting dengan disangga tiang-tiang kayu yang dibiarkan ke tiga sisinya terbuka. Meja-mejanya sederhana dan makanan yang disajikan ala rumahan dengan menu oseng-oseng, goreng telur, tempe, tahu, sambal, sayur urap, sayur lodeh dan tidak lupa aneka krupuk. Jika mau, kita bisa minta sambal custom yang dibuat menurut selera kita.
Makannya nyantai juga ala di rumah, angin siang sesekali bertiup menerpa badan yang berkeringat karena menyantap makanan masih hangat dan pedas. Biu-tipul momen dah pokoknya. Apalagi ketika bayar, satu orang kira-kira dihargai cuman Rp 12.000,-. Sayang sekarang ini (7 Sept 2008) Endess berubah nama menjadi ”SIAP BAKAR” Ayam Betutu dan Iga Bakar.
Petualangan kuliner berikut adalah saat makan malam. Menurut info dari Iyal ada sesuatu yang baru di dekat Jimbaran Seafood. Namanya Sapi Bali. Spesialisnya iga bakar dikombinasi dengan kuah yang agak pedas (mirip kuah supnya MakBenk). Itu satu setel kalo kita pesan iga. Restoran (yang lebih tepat disebut warung) ini rame bukan main. Terkadang kalau gak reserve susah dapet tempat.
Kita bisa nyelonong dan dapet meja (bahkan bisa buka wine) karena ternyata si empunya adalah teman baik Iyal sesama mantan chef. Ada Yudi dari Singaraja yang pernah di Hard Rock Cafe dan satunya Budi Azan mantan chef di Hyatt. Dua orang ini pemilik sekaligus yang membidani Sapi Bali dengan modal yang sangat mencengangkan jumlahnya alias murah sekali.
Mereka menyewa rumah yang dipakai untuk dapur, toilet dan ruang istirahat. Untuk warungnya hanya atap genting dengan langit-langit terekspos dan dihiasi lampu kurungan ayam yang jika malam menjadikan suasana nan cozy. Lokasinya di jalan Damai dekat jalan Monjali dan Kaliurang.
Kembali ke iga bakar yang menjadi andalan Sapi Bali ini memang dibuat dengan formula yang khusus bermodal pengetahuan kuliner dan eksperimentasi sang pemilik. Ide ”Bali” yang tertuang pada bumbu dan kuah dan keeberadaannya di Jogja menjadikan perkawinan eksotika menambah hebatnya kharisma iga bakar ”Sapi Bali”.
Dulu masih bisa Rp 15.000,- satu porsi tapi sekarang jadi Rp 30.000,- Tetep gak rugi karena telah membuat pengalaman kuliner yang berkesan. ”Lalah” tapi menggiurkan. Saya tarohan dengan Iyal kalo di Bali pasti ini ngga laku, kecuali namanya diganti.
Jogja memang selalu menyimpan kenangan. Semua seakan match dalam suasana Jogja. Apa adanya… Lha kok bisa enak ya… (Jogjakarta September 2007)
Note: Tulisan ini dibuat setahun lalu. Setelah dicek kembali Warung Endess kini telah berganti nama menjadi ”SIAP BAKAR” Ayam Betutu dan Iga Bakar. Pemiliknya ya sama dengan pemilik Sapi Bali. Sapi Bali kini telah ekstensi menjadi lebih luas disebabkan ramenya pelanggan. Demikian nanti kalo ke Jogja lagi seri kuliner ini bersambung. [b]
beh di jogja jeg liu ngelah branding. kenken di bali? Bali, ending stories? ups, shanti…shanti..shanti..