Saat ini, Walhi Bali sedang meminta informasi dua proyek besar.
Pertama, informasi tentang reklamasi untuk perluasan Pelabuhan Benoa yang dilakukan oleh PT Pelindo III Cabang Benoa. Kedua, informasi soal rencana reklamasi di Teluk Benoa.
Sebagai organisasi lingkungan, Walhi Bali sudah mengajukan permohonan informasi publik kepada dua pihak yaitu PT Pelindo III Cabang Benoa. Namun, permohonan itu belum dikabulkan pihak termohon.
Maka Walhi Bali pun mengajukan surat keberatan yang juga tidak dibalas pihak PT Pelindo III Cabang Benoa.
Karena surat keberatan juga tidak dibalas oleh pihak PT Pelindo III Cabang III, Walhi Bali kemudian mengajukan Permohonan Penyelesaian Sengketa Informasi Publik ke Komisi Informasi Bali pada 10 Desember lalu.
Pada Selasa (15/1) lalu, sidang sengketa informasi antara Walhi Bali dan PT Pelindo III Cabang Benoa memasuki agenda mediasi. Namun, mediasi itu gagal.
Penyebab kegagalan mediasi tersebut karena pihak Pelindo yang diwakili R. Suryo Khasabu bersama timnya meminta agar Walhi Bali melengkapi permintaan informasi publik kepada PT. Pelindo III dengan Mengisi Formulir Informasi, menjelaskan tujuan penggunaan informasi secara tertulis dan melampirkan identitas.
Kuasa Hukum Walhi Bali, I Wayan Adi Sumiarta menegaskan bahwa permohonan informasi publik yang dilakukan Walhi Bali kepada Pelindo telah melalui prosedur sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP). Sehingga dalam proses mediasi tersebut, pihaknya menolak untuk mengulang permohonan informasi dengan mengikuti prosedur yang diinginkan oleh pihak Pelindo.
“Jika punya iktikad baik untuk membuka informasi pubik yang kami minta, menurut Pasal 22 ayat (7) UU KIP, seharusnya pihak Pelindo III melakukan pemberitahuan tertulis kepada Walhi Bali dalam rentang waktu 10 (sepuluh) hari kerja sejak surat permohonan informasinya diterima,” ujar Adi Sumiarta.
Dalam proses mediasi, pihak Pelindo III juga meminta agar Walhi Bali mengisi formulir permintaan informasi publik. Setelah pengisian formulir tersebut, di internal Pelindo III akan menguji layak atau tidaknya permohonan informasi yang dilakukan oleh Walhi Bali.
Adi Sumiarta menegaskan bahwa tindakan dalam mediasi yang dilakukan oleh Pelindo III Cabang Benoa tersebut menggambarkan bahwa adanya upaya untuk mempersulit Walhi Bali dalam mengakses informasi.
Permohonan informasi publik ini sudah sejak 29 September 2018. Jika diminta untuk mengisi lembar konfirmasi dan menunggu uji kelayakan yang mereka lakukan, maka sesungguhnya memang tidak ada iktikad untuk memenuhi permohonan informasi tetapi yang dilakukan adalah mengulur-ulur waktu.
“Menurut kami, dengan apa yang terjadi dalam mediasi di Komisi Informasi, Pelindo III Cabang Benoa memang sengaja memperlambat dan mempersulit akses Walhi Bali mendapatkan informasi. Kami menolak untuk mengisi formulir itu karena akan memperpanjang proses kami untuk mendapatkan informasi publik yang kami minta”, ujarnya.
Direktur Walhi Bali I Made Juli Untung Pratama menilai Pelindo III Cabang Benoa terkesan mengulur waktu dan ada yang ditutup-tutupi. Caranya dengan cara mempersoalkan mekanisme dalam meminta informasi publik termasuk permintaan mengisi formulir.
Informasi publik yang diajukan Walhi Bali kepada Pelindo III Cabang Benoa adalah terkait aktivitas reklamasi di sekitar pelabuhan yang sampai saat ini berlangsung.
“Mempersoalkan hal-hal tidak substansial dengan membangun mekanisme sendiri atas permintaaan informasi publik menunjukan Pelindo tidak menghormati hukum. Mereka tidak menghormati hak masyarakat dalam pengambilan keputusan lingkungan hidup termasuk untuk tahu tentang setiap proyek yang berkenaan dengan dampak lingkungan hidup,” ujarnya.
Dalam mediasi itu kuasa hukum PT Pelindo III Cabang Benoa selalu meragukan status Walhi Bali sebagai badan publik. Setelah Walhi Bali menunjukkan Lampiran I Peraturan Komisi Informasi nomor 1 tahun 2010 yang telah jelas menempatkan Walhi sebagai badan publik, kuasa hukum Peindo III Cabang Benoa berkilah dengan mengatakan yang ada dalam di lampiran peraturan tersebut hanya contoh.
“Walhi Bali telah berkali-kali mengajukan gugatan sengketa informasi publik. Dan gugatan tersebut selalu dimenangkan oleh Walhi Bali. Itu sudah membuktikan bahwa Walhi Bali merupakan badan publik,” tegas Untung.
Menurut Walhi Bali, informasi publik yang diminta adalah informasi terbuka dan memang dibuka untuk rakyat dan lembaga pemebela lingkungan hidup seperti Walhi. Pihaknya justru mempertanyakan sikap Pelindo III Cabang Benoa yang tidak mau membuka informasi tersebut.
“Ada apa ini? Mengapa Pelindo tidak berani membuka data yang bersifat publik?” tanyanya.
Koster Mengada-ada
Selain meminta informasi terkait reklamasi, Walhi Bali saat ini juga telah meminta informasi publik kepada Gubernur Bali Wayan Koster terkait surat yang dikirim ke Presiden Indonesia. Namun, Koster menolak permohonan tersebut.
Koster menolak memberikan surat tersebut dengan berbagai alasan. Menanggapi surat jawaban Gubernur Bali tersebut Untung sangat menyayangkan sikap dari Gubernur Bali Wayan Koster.
Berdasarkan berita di media isi surat Gubernur Bali kepada Presiden Joko Widodo menyatakan bahwa pada intinya Gubernur Bali Wayan Koster memohon kepada Presiden Joko Widodo untuk merevisi Perpres 51/2014 Khususnya yang berkaitan dengan Teluk Benoa agar ditetapkan sebagai kawasan konservasi.
Untung berpendapat bahwa Sikap Gubernur Bali yang tidak mau memberikan salinan surat tersebut adalah tindakan yang merugikan Gubernur Bali sendiri. Ia menilai bahwa tindakan tersebut adalah tindakan kontradiktif atas apa yang telah diucapkannya dengan apa yang telah dilakukanny.
Di satu sisi Gubernur Bali meminta rakyat Bali percaya pada Gubernur Bali karena ia menegaskan dirinya menolak reklamasi dan berkirim surat ke Presiden. Namun, di sisi lain, Koster enggan untuk membuka isi suratnya ke Publik.
Untung Pratama menegaskan Gubernur Bali wajib membuka isi surat terkait kasus reklamasi Teluk Benoa yang dikirimkan kepada Presiden Joko Widodo. “Sudah seharusnya Gubernur Bali membuka salinan atau isi surat yang ia kirimkan ke Presiden Joko Widodo. Bukan malah menutupnya rapat-rapat dan seakan-akan sangat rahasia,” tegasnya.
Lebih lanjut Untung Pratama menjelaskan, dalam surat jawaban Gubernur Bali tersebut, ada beberapa poin yang menjadi alasan Gubernur Bali tidak mau membuka isi surat tersebut. Salah satunya ialah situasi yang saat ini menjelang pelaksanaan pemilihan Presiden dan pemilihan Legislatif secara serentak di seluruh Indonesia.
Di samping itu turunan dari poin tersebut mengatakan bahwa informasi yang diminta Walhi Bali terkait dengan isi surat Gubernur kepada Presiden Jokowi menurut Gubernur Bali akan berpengaruh terhadap proses negosiasi lebih lanjut.
Untung Pratama Berpandangan bahwa jawaban Gubernur Bali tersebut semata-mata hanya untuk kepentingan hajatan lima tahunan semata dan tidak diprioritaskan untuk membatalkan Perpres 51 tahun 2014. Surat yang dikirimkan Gubernur Bali kepada Presiden Joko Widodo menimbulkan prasangka dan dapat diduga sebagai alat negosiasi untuk meredam kekritisan rakyat terhadap kasus reklamasi Teluk Benoa.
“Tentu saja surat yang dikirimkan Gubernur Bali kepada Presiden Joko Widodo terkait kasus reklamasi Teluk Benoa, khusunya permintaan revisi Peraturan Presiden Nomor 51 Tahun 2014, menimbulkan prasangka dan dapat diduga sebagai alat negosiasi kepentingan Pemilihan Presiden. Atau, semata-mata untuk meredam kekritisan rakyat terhadap kasus reklamasi Teluk Benoa dan menjaga kepentingan kelompok tertentu,” ujarnya.
Tim Hukum Walhi Bali I Wayan Adi Sumiarta menganggap bahwa alasan hukum yang dijadikan dasar untuk menolak surat permohonan Walhi Bali mengada-ada. “Sikap Gubernur Bali yang menolak memberikan salinan surat yang diminta Walhi Bali dengan menggunakan dalil-dalil hukum adalah alasan yang mengada-ada. Saya melihat ada upaya untuk menghambat Walhi Bali serta publik untuk mengetahui isi surat yang dikirimkanya kepada Presiden Joko Widodo terkait kasus reklamasi Teluk Benoa,” tegasnya.
Lebih jauh, Adi Sumiarta menegaskan Walhi Bali segera mengajukan keberatan atas jawaban surat dari Gubernur Bali terkait permintaan salinan surat tersebut. Atas surat jawaban dari Gubernur Bali tersebut, sesuai dengan UU KIP, Walhi Bali memiliki waktu 30 hari kerja untuk mengajukan keberatan secara tertulis.
“Dalam beberapa hari ini Walhi Bali, segera akan mengirimkan surat keberatan kepada Gubernur Bali, sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik,” tegasnya. [b]