Oleh Anton Muhajir
Petani kopi di Kintamani, Bangli menggunakan sanksi adat untuk petani yang melanggar kesepakatan kelompok. Dengan cara itu kualitas kopi Arabica yang mereka hasilkan akan tetap terjaga kualitasnya sehingga layak masuk pasar internasional. Demikian dikatakan petani di Subak Sukamaju, Desa Landih, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli.
Nengah Kempel, petani anggota Subak Abian ditemui ketika sedang membersihkan pohon-pohon kopi di sekitar 50 are lahan miliknya beberapa waktu lalu. Selain kopi, Kempel juga menanam sayur, kakao, dan beternak sapi.
Kopi kintamani punya satu musim panen tiap tahun antara bulan Juni sampai Oktober. November sampai Mei adalah musim bagi petani kopi untuk memelihara pohon dan memupuk. Kempel, seperti sekitar 150 anggota subak lainnya, menggunakan pupuk organik di kebun mereka. “Kami tidak boleh pakai pupuk kimia seperti TSP dan Urea. Kalau pakai, kami bisa kena sanksi adat,” kata Kempel.
I Wayan Jamin, Kelian Subak Sukamaju mengatakan sanksi adat untuk anggota subak yang melanggar itu mulai diberlakukan sejak tahun 2005 lalu. Menurut Jamin, yang juga Kepala Desa setempat, aturan itu muncul untuk meningkatkan kualitas kopi kintamani. Sebab, katanya, penggunaan pupuk kimia justru merusak kualitas.
“Kalau pakai pupuk kimia buah kopi yang dipanen jadi cepat rusak. Sekarang panen, besok sudah rusak. Tapi kalau pakai pupuk organik lebih baik. Meski sudah tiga hari dipanen, buahnya masih bagus,” kata Jamin.
Kualitas ini perlu dijaga, lanjutnya, karena ada permintaan dari perusahaan yang bekerja sama dengan subak abian setempat. PT Indokom, salah satu eksportir produk pertanian yang berbasis di Lampung dan Surabaya, secara konsisten membeli produk kopi petani setempat sejak lima tahun lalu. Namun perusahaan tersebut hanya mau membeli produk kopi organik. “Jadi kami harus menjaga agar kopi kami tidak tercemar bahan-bahan kimia,” kata Jamin.
Tidak hanya untuk pemeliharaan tanaman, petani setempat juga memperhatikan waktu panen kopi. Sebelum ada kerjasama, petani setempat sudah memanen kopinya meski masih berwarna hijau. Tapi sekarang kalau sudah merah baru dipanen. “Sebab itu mempengaruhi kualitas kopi juga,” kata Jamin.
Menurut Jamin, kalau ada anggota subak yang memanen kopi sebelum berwarna merah, maka petani tersebut akan mendapatkan sanksi adat. Bentuk sanksi yang diberikan itu tergantung tingkat kesalahan. Kalau kesalahan kecil seperti memetik saat masih hijau, maka petani itu akan harus membayar ke desa adat sebesar Rp 1000 kali jumlah anggota. Dengan 150 anggota desa adat, yang juga anggota subak abian, maka petani yang melanggar harus membayar Rp 150.000.
“Kalau sampai tiga kali melakukan kesalahan ya tidak akan diajak di subak atau bahkan dikucilkan secara adat (kasepekang). Akibatnya tidak boleh ikut sembahyang. Sampai mati pun tidak boleh,” kata Jamin.
Petani sendiri tidak mempermasalahkan adanya sanksi adat tersebut. “Kan ini sudah hasil kesepakatan bersama,” kata Kempel. Selain itu, lanjutnya, kesepakatan itu dibuat untuk kepentingan bersama.
Subak Abian Sukamaju sendiri sudah lama berdiri. Namun sejak 2005 lalu, kelompok ini makin aktif setelah bekerja sama dengan PT Indokom dalam hal pemasaran. Adanya kerja sama dengan swasta ini, bagi Kempel maupun Jamin memang sangat membantu petani setempat.
Sebelum ada kerja sama dengan swasta untuk pemasaran, petani setempat mengaku harus menjual kopi dengan harga tidak pasti ke tengkulak. “Tapi setelah ada kerja sama, kami bisa mendapat harga lebih stabil,” kata Kempel.
“Kami juga mendapat pembinaan melalui petugas penyuluh lapangan tentang bagaimana cara petik yang baik,” lanjutnya. Salah satu hal yang berubah adalah soal umur kopi yang dipanen. Kalau sebelumnya petani memanen ketika kopi masih hijau, sekarang memanen ketika sudah berwarna merah –berarti lebih tua.
Asnawi Shaleh dari PT Indokom mengatakan bahwa perusahaannya memang lebih ingin meningkatkan kualitas kopi kintamani sesuai permintaan pasar. Karena itu mereka juga memberi jaminan harga.
“Kalau harga di pasar lebih tinggi, kami akan sesuaikan dengan harga pasar. Tapi kalau harga di pasar lebih rendah, kami beli dengan harga sesuai jaminan,” katanya.
Menurut Asnawi, perusahaannya tertarik dengan kopi kintamani karena dia masuk Specialty Coffee, kopi spesial yang mendapat harga mahal di pasar. Selain kopi kintamani (Bali) kopi lain yang masuk Specialty Coffe adalah kopi toraja (Sulawesi Selatan), kopi lintong (Sumatera Utara), kopi gayo (Aceh), kopi ijen (Jawa), dan kopi flores (Nusa Tenggara Timur). Kopi-kopi tersebut diekspor ke Eropa, AS, dan Jepang dalam bentuk kopi kering.
Kempel mengaku kopinya dibeli dengan harga Rp 5.500 per kg untuk gelondong merah. Padahal di pasar harganya sekitar Rp 5000. Dengan luas lahan sekitar 50 are, Kempel mengaku bisa mendapat sekitar Rp 25 juta per satu musim panen (sekitar lima bulan).
Selain membantu dalam hal pemasaran, PT Indokom juga membantu peningkatan harga kopi dengan memberikan mesin pengolahan. Sejak dua tahun lalu, Subak Abian Sukamaju sudah punya unit prosessing sendiri.
“Jadi kami bisa mengolah kopi dengan merk kami sendiri,” kata Jamin. Kopi dengan merk B36 itu dijual dalam tiga tingkat kualitas: kualitas ekspor seharga Rp 180.000 per kg, kualitas swalayan Rp 50.000 per kg, dan kualitas lokal Rp 35.000 per kg. [b]
Comments 1