Selasa, 10 Mei 2016 malam ‘Sang Burung’ akhirnya sampai di Bali.
Sebelumnya ‘Sang Burung’ telah berpetualang di Yogyakarta (28 April), Jakarta (30 April), Surabaya (4 Mei), dan Bandung (7 Mei) dalam rangkaian Printemps Français (Festival Musim Semi Prancis) 2016.
Pukul 19.00 WITA, kurang lebih 105 penonton baik warga negara Indonesia maupun asing, duduk di halaman kebun Indraloka, Garuda Wisnu Kencana di Jimbaran. Beberapa berbincang-bincang dengan kawannya, sementara anak-anak mereka berlarian di halaman yang cukup luas tersebut. Ada pula yang duduk sambil memainkan telepon genggam.
Tiga puluh menit kemudian, MC, sekaligus penanggungjawab kegiatan budaya Alliance Français (AF) Bali membuka acara malam itu.
Sebelum acara dimulai, direktur AF Bali, Amandine Grisard ditemani Ayu Diah Cempaka, penanggung jawab komunikasi AF Bali sebagai penerjemah memberikan sambutan untuk mengawali pertunjukan malam itu. Dalam sambutannya ia menyampaikan bahwa salah satu misi Printemps Français adalah menghadirkan pertunjukan seni kolaborasi dua negara : Prancis dan Indonesia.
“Kami juga ingin mempertemukan para seniman dan karya-karyanya dengan publik lokal,” katanya.
Selanjutnya, tibalah saat-saat yang ditunggu yakni pertunjukan L’Oiseau atau Sang Burung. Halaman area Indraloka tiba-tiba gelap seketika. Tak ada cahaya sama sekali, juga tak ada suara. Suasana dibiarkan hening selama beberapa detik, membiarkan penonton menebak-nebak apa yang akan terjadi beberapa sat lagi.
Langkah kaki beberapa orang terdengar datang dari arah Barat sambil menjunjung benda putih yang cukup besar. Tak berapa lama, terdengar suara teriakan burung. Sang Burung memasuki area pertunjukan.
Sang Burung yang dipertunjukkan malam itu dibuat dari kain berwarna putih yang membentuk pola burung sedang terbang. Di bagian sisinya diikatkan balon-balon helium berdiameter kurang lebih satu meter.
Burung ini diterbangkan oleh empat orang. Pada tubuhnya diproyeksikan gambar-gambar yang telah didesain sebelumnya oleh para grafis yang terlibat dalam proyek ini.
Dalam proyek ‘Sang Burung’, Les Rémouleurs yang beranggotakan Gallia Vallet, Olivier Vallet dan Anne Bitran berkolaborasi dengan seniman Indonesia yaitu Bob dari komunitas Marjinal Kolektif (Jakarta), Heri Dono, Rangga Jadoel dan Sugeng Utomo (Yogyakarta), Gepeng Dewantoro dan Wayang Motekar (Bandung).
Pertunjukan wayang layang tersebut akan diiringi musik etnis kontemporer dari Senyawa (Rully Shabara dan Wukir Suryadi); band asal Yogyakarta yang pernah tampil di Melbourne International Jazz Festival 2011.
Les Remouleurs bersama tim seni Indonesia melakukan program kerja bareng (residensi) di Yogyakarta bersama IFI Yogyakarta pada 3-15 Maret 2016. “Sejak Oktober, kami bertemu banyak seniman antara lain Komunitas Marjinal dan Wayang Motekar dan beruntung bisa bekerja sama dengan seniman hebat Indonesia seperti Heri Dono, Bob dan Gepeng yang membuat sketsa bersama Gallia, untuk diproyeksikan ke wayang layang. Sementara Wayang Motekar bersama Olivier Vallet dan seniman lain akan membantu sisi teknis dan produksi di lapangan,” jelas Anne Bitran, direktur artistik Les Rémouleurs.
Yang membuat pertunjukan ini istimewa adalah musik yang khusus diciptakan grup musik Senyawa untuk mengiringi ‘Sang Burung’ terbang di angkasa. Anne menambahkan unsur lain yang tak boleh dilupakan dari ‘Sang Burung’ adalah musik. “Kami beruntung bisa bekerja sama dengan Senyawa, musisi handal dengan sentuhan anggun di tiap instrumen yang mereka mainkan,” katanya.
Senyawa pernah bermain dalam berbagai festival musik di kota-kota di Prancis, antara lain Marseille, Paris dan Toulouse dalam rangkaian Tur Eropa 2014. Salah satu anggota Senyawa, Wukir Suryadi, pernah berkolaborasi dengan musisi Prancis Mathieu Canaguier yang kini bassist band Aluk Todolo.
“Awalnya kami ingin membuat ilustrasi dengan ‘memusikkan’ atau ‘membunyikan’ visual wayang layang. Selama proses residensi, komposisi yang kami buat ternyata mencapai durasi 45 menit. Akhirnya kita buat jadi sebuah soundtrack yang tak hanya mengiringi tetapi melebur dengan ‘Sang Burung’. Di sini kami menunjukkan bahwa kedudukan musik dan pertunjukan adalah erat dan setara serta saling mengisi,” ujar Wukir, mewakili band Senyawa.
Suasana malam itu di GWK terasa sangat mistis. Paduan antara sang burung, gambar-gambar yang diproyeksikan ke tubuhnya, juga musik yang magis dari Senyawa berhasil membawa penonton mengikuti dinamika kehidupan Sang Burung yang mengikuti jaman yang berubah, mulai dari suasana yang tenang, riuh, sedih hingga haru.
Pukul 9 malam, sang burung diturunkan dari langit. Penonton bertepuk tangan dan bergegas menghampiri Sang Burung, dan memerhatikannya dari jarak yang lebih dekat. [b]
Teks oleh Ayu Diah Cempaka, penanggung jawab Komunikasi Alliance française Bali. Foto oleh Wayan Susada Arimbawa – Alliance française Bali.