Laut biru membentang terlihat dari Bukit Pemukuran, Sibetan.
Bukit ini menjadi salah satu titik bagus untuk menikmati jalan-jalan di Desa Sibetan, Kecamatan Bebandem, Kabupaten Karangasem, Bali. Sambil duduk di sini, kita bisa menikmati sejuk udara dan hijau pemandangan.
Pemandangan dari Bukit Pemukuran memberikan kejutan setelah jalan-jalan di kebun salak, daya tarik utama wisata di Sibetan. Lokasi ini menarik untuk dijadikan tujuan wisata jalan-jalan sambil belajar pertanian.
Di tiap perbatasan banjar di Desa Sibetan ada papan nama selamat datang di wisata agro wisata salak. Di kanan kiri jalan desa memang nyaris semua ditutupi rimbun pohon salak. Di sela-sela pohon salak yang tingginya sekitar 2 meter, ada pohon-pohon buah yang tinggi sebagai peneduh. Misalnya durian, rambutan, dan lainnya.
Jika ingin berjalan-jalan langsung ke salah satu kebun salak, minta izin dulu ke rumah warga terdekat yang bisa jadi pemilik kebun. Atau ingin lebih jelas dan banyak mendapat informasi, bisa mendatangi kelompok petani salak di tiap banjar. Lebih bagus lagi booking wisata kebun salak ke sejumlah agen travel yang menyediakan, salah satunya agen khusus wkowisata, Jaringan Ekowisata Desa atau Village Ecotourism Network di jed.or.id.
Lokasi ini sekitar 2 jam dari Denpasar atau 50 menit dari obyek wisata Candidasa. Terletak pada ketinggian 600 m dari permukaan air laut dengan kemiringan 0 – 80%, menjadikan Sibetan beriklim tropis lembab dengan temperatur antara 160C – 300C. Sebagian besar lahan di sini menjadi kebun salak, sementara sisanya untuk perumahan, pura, dan tempat umum lain.
Jero Dukuh
Orang Dukuh Sibetan percaya bahwa keberadaan mereka ‘diawali’ oleh Jero Dukuh Sakti yang dikenal dengan kebijaksanaan dan kesaktiannya sebagai seorang dukun. Beliau membangun pasraman atau rumah tinggal di Moding, Sibetan dan menanam pohon enau yang diberi nama ‘Jaka Moding’, di sebelah Barat pasramannya. Jero Dukuh bersama istrinya juga menanam berbagai jenis tanaman lain, yaitu buah, umbi, dan tanaman obat.
Salak satu pohon buah yang ditanam adalah salak yang kemudian dianggap sebagai pohon salak pertama di Dukuh, bahkan di Desa Sibetan.
Buah salak yang dihasilkan oleh desa ini sangat terkenal sebagai salak Bali yang memiliki citarasa tersendiri dan berbeda dari buah sejenis dari daerah lain di Indonesia. Oleh karena itulah maka desa ini dikembangkan sebagai obyek agrowisata tanaman salak.
Petani dan peneliti sementara mengidentifikasi ada 15 jenis varietas salak yang tumbuh di Desa Sibetan. Beberapa di antaranya merupakan produk unggul, seperti salak gula pasir yang rasanya sangat manis dan daging buah yang tebal. Lainnya ada salak nenas, cengkeh, dan lainnya sesuai aromanya.
Masa panen raya jatuh pada Desember–Maret tiap tahun. Saat salak melimpah sejumlah kelompok petani mengembangkan produk olahan buah salak menjadi wine, dodol, kripik, sirup, kue, manisan, dan lainnya.
Oleh-oleh
Perjalanan ke agro wisata salak di Karangasem akan makin lengkap jika berkunjung ke salah satu sentra pengolahan daging buah salak di Desa Selat. Mereka mengolah salak yang melimpah saat panen raya menjadi aneka jenis penganan yang enak.
Buah salak yang dibudidayakan secara organik di Desa Sibetan dan Selat ini beberapa tahun lalu saat panen raya terlihat banyak dibuang di depan-depan rumah petani. Di tengah hutan salak juga banyak onggokan salak membusuk.
Ketika itu, peralatan pengolah salak menjadi keripik atau wine belum bisa diakses petani karena mahal. Hanya ada sejumlah alat uji coba dari kampus atau pemerintah yang belum bisa produksi missal.
Kini, makin serius kelompok petani ingin mengolah salak agar lebih memberikan tambahan penghasilan. Misalnya Kelompok Adi Guna Harapan di Desa Selat. Berawal dari modal Rp 200 ribu pada sekitar 2007, sekitar 16 petani mulai membangun usaha pengolahan salak ini.
Awalnya mereka hanya memproduksi dodol dan manisan salak. Dua jenis produk yang tak memerlukan mesin penggorengan atau vacuum frying mahal halnya membuat keripik salak. Usaha ini dirintis I Wayan Pica, petani muda yang merasa kerap rugi saat panen.
“Pemasaran buah salak segar memang masih sulit sampai sekarang. Saat panen raya harganya malah jatuh. Saya memberanikan buat home industry ini,” kata Pica.
Agar bisa meminjam alat pengolah yang mahal, Pica mengajak sejumlah petani lain agar berkelompok membuat usaha Adi Guna Harapan.
Berkembanglah menjadi olahan keripik, pia, dan lainnya. Produk ini terus berkembang kualitas dan pengemasannya. Misalnya sebungkus pia kini dikemas dalam wadah plastic yang lebih tebal dan mudah dibuka. Rasa pia juga enak, garing, dengan isian fla salak yang manis agak asam.
Demikian juaga keripik salak, dibiarkan tetap berasa sedikit masam agar orisinil sebagai rasa khas salak Bali. Sementara yang makin banyak dijual dalam bentuk buah segar saat ini adalah jenis salak Gula Pasir yang manis.
Agar usaha berlanjut sepanjang tahun, Adi Guna Harapan juga mengolah buah tropis lain seperti nangka dan sirsak. Kapsitas mesin pengolah juga meningkat, dari 15 kilogram per hari menjadi 25 kg.
Mereka memanfaatkan banyaknya pasar oleh-oleh untuk memasarkan produk. Namun, harganya jadi lebih mahal, hampir dua kali lipat dibanderol pihak ketiga ini.
Sementara jika Anda membeli langsung ke Adi Guna Harapan, sebungkus pia salak bisa dibeli Rp 12 ribu. Ketika sudah di supermarket oleh-oleh menjadi lebih dari Rp 20 ribu. [b]