OlehI Gusti Agung Made Wirautama
Pagi itu masih dingin, matahari baru saja muncul beberapa bagian ketika Ajik saya akan berangkat ke singaraja naik motor bersama Ibu. Sebelum berangkat Ajik mengingatkan Kakak untuk membayar iuran di banjar dan salah satunya iuran kebersihan. Ajik pun mengingatkan hal itu dengan berbicara sambil mengeluh.
“Jaman sekarang susah, masak untuk membersihkan balai banjar saja kita harus mengeluarkan uang”.
Saya yang masih belum sempat cuci muka ikut nimbrung dan berkomentar.
“Ya jelas saja kita harus bayar, sekarang sudah ada petugas khusus yang nyapu setiap pagi di balai banjar, memangnya orang itu mau kerja tanpa dibayar?”.
Ajik pun tak mau kalah dan berusaha menunjukkan bukti kesuksesannya di masa lalu ketika masih menjadi Kelian Adat di banjar.
“Jaman Ajik jadi Kelian, tidak ada bayaran seperti ini, bahkan iuran wajib pun jarang sekali, ah pengurus Banjar sekarang memang nggak becus.”
Saya merasa pembicaraan ini layaknya statement politik para politikus, di mana Ajik merasa dirinya lebih baik dibanding Prajuru Banjar (pengurus) sekarang. Daripada pagi-pagi sudah ribut dan memperdebatkan sesuatu yang rasanya tidak bisa diganggu gugat lagi, saya berusaha mengakhiri pembicaraan ini.
“Ya sudah, kalau gitu besok-besok kalau ada kegiatan gotong-royong ikut donk bersih-bersih sampai di balai banjar, jangan cuma di depan rumah atau depan gang aja, jadi kita tidak perlu bayar ‘pembantu’ untuk membersihkan ‘rumah’ kita”.
Ajik pun sepertinya malas untuk melanjutkan pembicaraan ketika matahari sudah mulai meninggi dan Ajik segera berangkat ke Singaraja.
Kadang kita hanya bisa menyalahkan keadaan dan orang lain dalam menghadapi permasalahan yang semakin banyak di masyarakat. Kita sering mengeluh ketika jalanan rusak, lampu traffic light mati sementara kita juga malas bayar pajak. Kita sering demo atau setidaknya ikut menghujat ketika seorang pejabat diberitakan tersangkut kasus korupsi, tapi ketika anak kita tidak kita diterima di sekolah negeri kita malah susah payah untuk mencari ‘koneksi’ serta bersedia membayar sumbangan berapa pun asalkan anak kita bisa bersekolah di negeri.
Lalu semua ini salah siapa?
*manggut2*
salah siapa dong bli?
gotong royong di banjar saya juga cuma perlu waktu 15 menit. 30 orang bisa cuma nyapu 10 meter aja. trus tanda tangan absen, pulang. untung sing ken aiuran kebersihan lagi. tak mau aku
*manggut2 juga*
“Ya sudah, kalau gitu besok-besok kalau ada kegiatan gotong-royong ikut donk bersih-bersih sampai di balai banjar, jangan cuma di depan rumah atau depan gang aja, jadi kita tidak perlu bayar ‘pembantu’ untuk membersihkan ‘rumah’ kita”
Ajik kan nak lingsir, rasanya gpp kalo sampe depan gang aja. Yang muda donk yang harus sampai di bale banjar. :p
ini curhat yah?
@anima : salah kita, hehe
@luhde : kalau bersih2 di balai banjar sih gampang, tapi kalau bersih2 di seluruh wilayah banjar? hehe
@didi : manggut2 kenapa tuh bli?
@pushandaka : hehe, sebenarnya ajik ga pernah gotong royong kok, selalu saya atau kakak yang menggantikan, sebenarnya yang saya kasi tau itu bukan ajik tapi menyindir diri sendiri dan tetangga 😀
@saylow : curhat seorang warga banjar, hahaha