Ketika matahari masih bersinar hangat, belasan perempuan Bali sedang berkumpul di gedung megah dengan ciri khas desain Bali yang sangat kental pada Senin (12/06). Satu persatu dari mereka silih berganti berbicara di depan kawan-kawannya, sembari menjelaskan project apa yang akan mereka tawarkan. Mereka tampak semangat seolah-olah sedang dalam sebuah perjuangan. Di bawah gedung megah DPRD Bali, perempuan-perempuan tersebut berkumpul dalam rangka membebaskan diri mereka dari belenggu patriarki Bali. “Sakapuan Community Empowerment”, begitu setidaknya banner yang terpampang di atas panggung megah tersebut.
Perempuan Bali dalam Data
Oka Rusmini, seorang penulis novel dari Bali kerap kali menyoroti budaya-budaya patriarki di Bali. Dalam novelnya yang berjudul Tarian Bumi, Oka menyoroti praktik-praktik kebudayaan Bali yang menempatkan perempuan pada posisi termarjinalkan. Ida Ayu Telaga Pidada adalah seorang tokoh dalam novel tersebut yang digambarkan berparas cantik dan pandai menari. Akan tetapi, ia justru kerap diobjektifikasi oleh para laki-laki di daerahnya. Bahkan, ketika menikahi seorang laki-laki yang berbeda kasta, ia diusir dari keluarganya dan mendapatkan perlakuan buruk di keluarga sang suami.
Berbagai penelitian juga telah menyoroti tentang budaya patriarki yang sangat kental di Bali. Dalam “Perempuan Bali dalam Pergulatan Gender (Kajian Budaya, Tradisi, dan Agama Hindu)” dijelaskan pula bahwa kendati pandangan Hindu sangat memuliakan perempuan, mulai dari hadirnya Dewi sebagai bentuk representasi perempuan, namun tradisi dan Hukum Adat Bali justru bertentangan dengan kesetaraan gender. Katakan saja dalam proses pengambilan keputusan di masyarakat, laki-laki Bali menjadi pihak yang diistimewakan karena dapat memutuskan sesuatu, sementara perempuan hanya bisa menerima keputusan tersebut. Bahkan, menyoal pewarisan di Bali, hanya anak laki-laki yang berhak mendapatkan warisan tersebut, sedang anak perempuan tidak memiliki hak atas warisan.
Posisi perempuan Bali yang tersubordinasi menjadikan posisinya dalam masyarakat sangatlah rentan. Perempuan yang diposisikan untuk dapat hanya mengikuti keputusan laki-laki akan berdampak pada image perempuan ideal harus selalu menurut pada laki-laki (Bali Post, 2022). Posisi perempuan Bali dapat dilihat dari data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak tahun 2021 yang menyebutkan bahwa 79,5 persen kasus KDRT diderita oleh perempuan. Tidak hanya itu, dalam konteks pendidikan di Bali didominasi oleh laki-laki.
Data dari Badan Pusat Statistik (2022) menunjukkan bahwa perempuan Bali mendominasi pendidikan Sekolah Dasar, namun pada tingkatan-tingkatan selanjutnya, jumlah perempuan Bali yang menamatkan pendidikannya selalu berada di bawah jumlah laki-laki. Bahkan, dari 16 peserta pendidikan SMA, hanya 6 perempuan yang dapat menamatkan sekolahnya–jika melihat perbandingan laki-laki dan perempuan dalam menamatkan Sekolah Menengah Atas (SMA) pada tahun 2022. Hal tersebut dimungkinkan untuk terjadi karena pada usia ideal mereka mengenyam pendidikan SMP, SMA/SMK, hingga Pendidikan Tinggi, perempuan Bali telah dibebani oleh tugas-tugas domestik.
“Perempuan Bali mempunyai peran ganda di dalam kehidupan kesehariannya, yaitu peran keluarga, peran ekonomi, dan peran adat keagamaan,” tulis Dian Lestari seorang perempuan yang bekerja di Badan Pusat Statistik Kabupaten Klungkung dalam kolom Opini Bali Post. Bahkan, secara total sejak tahun 2017 hingga 2022, jumlah perempuan Bali yang menamatkan pendidikan selalu berada di bawah laki-laki, walaupun kesempatan yang diberikan seharusnya adalah sama.
Sakapuan dan Cita-Cita Pemberdayaan Perempuan
“Banyak perempuan Bali itu living in the bubble, jadi kaya kehidupan mereka itu, sedikit banget pilihan-pilihannya,” begitu setidaknya Shinta (20), salah seorang pendiri Sakapuan Balimemulai percakapan kepada tim BaleBengong. Shinta adalah satu dari tiga perempuan hebat yang mengawali pembentukan Sakapuan Bali. Bagi Sakapuan, menghapus budaya patriarki tidaklah semudah membalik telapak tangan. Maka dari itu, Sakapuan ingin mengembangkan internal perempuan-perempuan Bali.
“Itu tuh kita menganggap, perempuan Bali tuh kaya dia mimpinya nggak tinggi-tinggi banget karena memang nggak didorong kaya gitu. Lingkungan kan menganggap perempuan Bali yang penting bisa mejejaitan trus patuh. Ya mereka ga punya mimpi yang tinggi, akhirnya nggak ada yang ngedorong mereka menjadi living their live to the fullest,” tambah perempuan yang kini berkuliah di Universitas Indonesia menjelaskan posisi Sakapuan dalam proses pengembangan perempuan Bali.
Selain Shinta, ada dua perempuan lainnya yang turut berkontribusi untuk mendirikan Sakapuan. Mereka adalah Ayu Kurniati dan Azmellya. Masing-masing dari mereka memiliki keresahannya sendiri terkait kondisi perempuan di Bali dan Sakapuan dilahirkan dalam rangka menjawab keresahan tersebut melalui berbagai program unggulan mereka, salah satunya Sakapuan Community Empowerment.
Sakapuan Community Empowerment adalah salah satu program unggulan Sakapuan dengan bentuk mentoring kepada peserta selama dua bulan dengan project sebagai tugas akhir mereka. Project yang mereka tawarkan dibatasi pada fenomena sosial yang terjadi di sekitar para peserta. Pada tahun lalu, ketika kelas daring masih marak, para peserta membuat safe place via zoom, yang nantinya akan mengumpulkan perempuan yang ingin bercerita keluh kesahnya secara anonim. Uniknya, peserta yang mendaftar ke acara ini cukup beragam, yaitu mulai rentang umur 16 hingga 20 tahun. Alasan mereka beragam, namun masih dalam satu kesatuan: posisi perempuan yang tersubordinasi.
“Mereka tuh, rentang usianya tuh 16-20 kan. Kalau aku liat, yang (umur) 16, 17, 18, sih se-simple kaya gimana mereka diperlakukan di keluarga. Jadi kaya ada penomorduaan atau under estimate. Mereka merasa di underestimate sama orang-orang,” ujar Shinta
“Kalau yang umur 20an itu, menurutku sih, udah mulai yang ngeliat bukan di lingkungan mereka doang, tapi kaya di luar itu juga” tuturnya.
Dalam Sakapuan Community Empowerment, para peserta nantinya akan diberikan materi-materi seputar pengembangan individu, seperti public speaking, personal branding, strategi komunikasi, membangun kebiasaan baik, hingga self-awareness.
“Intinya adalah, keresahan akan melihat gimana banyaknya tantangan, nih, bagi perempuan Bali, tapi kita ngeliat internal perempuannya nggak kuat, gitu lho. Jadi makanya stands kita di sini tuh, lebih fokus ke gimana kita nguatin internalnya, bukan kita ngubah budaya atau apa,” tutupnya.