Dua tahun lalu, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) lahir.
Sesuai Undang-Undang (UU) nomor 24 tahun 2011, badan ini menjadi satu pintu yang menangani penyelenggaraan jaminan nasional baik ketenagakerjaan maupun kesehatan.
BPJS ini tidak hanya menangani jaminan kesehatan untuk kalangan masyarakat umum, tetapi termasuk untuk penyelenggaraan jaminan kesehatan ketenagakerjaan. Dalam pelaksanaannya BPJS bertransformasi menjadi dua yaitu BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan.
Kedua tugas ini menjadi tantangan tersendiri bagi BPJS yang masih terbilang muda, baru dua tahun beroperasi.
Saat ini BPJS masih memfokuskan diri untuk melayani pendaftaran peserta jalur mandiri dan sosialisasi kepada badan usaha. Menurut Peraturan Presiden (Perpres) nomor 111 tahun 2013, tiap badan usaha harus mendaftarkan karyawannya paling lambat pada Juni 2015.
Di sisi lain BPJS dituntut memberikan pelayanan yang baik sebagai satu-satunya Jaminan Kesehatan. Sebagaimana diatur dalam Perpres no 12/2013, Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) akan diberlakukan untuk seluruh warga Negara Indonesia pada 2019 nanti.
Penyelenggaraan JKN sendiri telah menimbulkan pro dan kontra. Peserta tidak merasa lebih diuntungkan oleh JKN sementara di sisi lain pelayan kesehatan merasa tidak mendapatkan kapitasi cukup besar dalam melayani peserta JKN. Selain itu juga masih ada pembandingan antara JKN saat ini dengan JKN terdahulu yaitu Asuransi Kesehatan (Askes).
JKN yang diberlakukan saat ini mencakup semua pelayanan kesehatan yaitu fasilitas rawat inap, pelayanan medis dan pelayanan obat. Layanan tersebut disesuaikan dengan standar Sistem Indonesia Case Based Groups (INA CGBs). Hal ini yang dianggap tidak menguntungkan layanan kesehatan maupun pemberi jasa.
Bedanya dengan Askes, dulu semua obat dulu ditanggung sama ASKES. Sekarang hanya yang di dalam daftar. Jika dulu layanan maupun obat bisa fleksibel, sekarang harus sesuai standar tersebut.
Kondisi ini menjadi masalah baru dan merugikan peserta karena tidak mendapatkan manfaat maksimal dari adanya program JKN. Pada akhirnya ada rumah sakit yang membatasi kelas untuk peserta JKN dengan alasan kamar lain dijual kepada pasien non-pengguna JKN. Beberapa masalah itu pun menimbulkan ketidakpuasan para peserta.
Pada September-Oktober 2015 lalu, Sloka Institute melakukan survei kepuasan layanan JKN. Beradasarkan survei itu, jenis-jenis keluhan yang pernah dilakukan yaitu masalah terkait layanan informasi. Dari 46 jawaban yang diberikan, 16 (34%) di antaranya adalah mengenai kesulitan memahami informasi yang diberikan, 15 (32,6%) menyebut informasi kurang sesuai dengan fakta di lapangan, 6 (13%) menyebut tidak ada petugas yang bertanggungjawab, 3 (6,5%) menyebut petugas tidak mampu menjelaskan dengan baik, dan 6 (13%) menyatakan petugas kurang terbuka.
Keluhan-keluhan tersebut seharusnya langsung disampaikan pada masing-masing tempat pelayanan, tetapi kenyataannya keluhan masih disampaikan langsung ke penyelenggara JKN yaitu BPJS Kesehatan.
Selain keluhan berdasarkan hasil survei Sloka Institute, ada pula jenis-jenis keluhan lain. Menurut petugas BPJS Kesehatan Kantor Divisi Regional BPJS Kesehatan Bali Nusra, keluhan yang sering diajukan langsung ke BPJS antara lain antrean lama pada pelayanan kesehatan, antrean sudah habis, masalah iuran sewaktu naik kelas ketika rawat inap, karena RS biasanya menaikkan bukan hanya kamar tetapi juga jasa pelayanan dan obat.
Keluhan lain terkait aktivasi JKN yang berhubungan dengan kesadaran membayar iuran atau kapan sebaiknya mendaftarkan peserta untuk anak-anak yang baru masuk dalam KK dan perlu segera menggunakan JKN. Sedangkan hal lain yaitu sistem rujukan tidak berjalan serta pasien tidak ke Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) dulu tetapi langsung ke rumah sakit.
Pengawasan
Menurut aturan, seluruh pelayanan oleh BPJS seharusnya diawasi oleh Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN). Kenyataannya, di lapangan, dewan ini tidak bisa serta merta langsung menegur atau memberi sanksi pada tempat-tempat pelayanan kesehatan yang tidak memberikan pelayanan sesuai dengan ketentuan BPJS.
DJSN menyerahkan kembali pada Kementerian Kesehatan sebagai lembaga kesehatan utama di Indonesia. Adapun di daerah diserahkan pada Dinas Kesehatan provinsi untuk pemberian sanksi. Dalam proses ini, peserta JKN tidak mendapatkan respon cepat atas keluhan-keluhan mereka.
Selain penagwasan oleh DJSN, ada pula pengawasan untuk rumah sakit oleh Badan Pengawas Rumah Sakit (BPRS). Tapi BPRS juga tidak bisa memberikan sanksi langsung pada rumah sakit yang tidak memberikan pelayanan yang baik, melainkan melaporkan ke Menteri Kesehatan (Menkes). Menkes lalu memberikan rekomendasi pada daerah.
Untuk itulah, publik harus terlibat dalam pengawasan layanan JKN.
Hal-hal yang bisa dilakukan oleh publik sebagai pengguna maupun peserta antara lain melakukan aktivitas pengawasan aktif, misalnya survei dan observasi lapangan, dan pasif seperti komplain, keluhan, dan pengaduan melalui SMS, telepon, surat ataupun pos pengaduan.
Namun, tentu hal ini sifatnya satu arah. Ada kemungkinan hanya diterima oleh pemberi layanan kesehatan karena secara prosedur demikian. Berbeda kondisinya jika peserta/ pengguna JKN melakukan pengawasan dan dapat diakses oleh peserta JKN lainnya.
Dari sistem pengawasan seperti ini banyak hal yang perlu diperhatikan. Di antaranya pemahaman peserta secara menyeluruh terkait program JKN termasuk prosedur dan hak-hak serta kewajiban mereka. Tidak semua publik sebenarnya paham dengan hak-hak mereka dan bagaimana cara memenuhi kewajiban mereka. Perlu pilihan media yang dapat diakses oleh semua kalangan peserta JKN. Bila perlu media dapat memberikan spesifikasi jenis peserta JKN mana yang banyak mendapatkan keluhan (peserta non PBI atau PBI).
Selain itu cara pengawasan/ penyampaian keluhan bentuknya seperti apa. Apakah cukup dengan pemberian review terkait kepuasan atau ketidakpuasan layanan atau ada spesifikasi sub tipe jenis keluhan agar bisa menjadi evaluasi dalam kurun waktu tertentu bagi para penyedia layanan yang menerima peserta JKN.
Materi yang terkandung dalam keluhan tersebut berisi tentang layanan JKN yaitu kelas yang akan diterima, layanan ketersediaan obat, pelayanan medis yang sesuai dan semua proses untuk mengakses ketiga layanan tersebut. Terakhir, provider bisa memberikan respon, meskipun tidak berupa balasan dari media tertentu tapi publik mengetahui bahwa provider memiliki sistem evaluasi dan secara terbuka memberikan pelaporan pada publik per kurun waktu tertentu.
Pengawasan yang dilakukan oleh publik tersebut, harus disertai dengan pengetahuan peserta/ pengguna terkait Standar Operasional Prosedur (SOP) pelayanan masing-masing pelayanan kesehatan dan Standar Pelayanan (SP) sebagaimana dimanatkan oleh UU No. 25 th 2009 tentang pelayanan publik. Hal ini kemungkinan akan menjadi permasalahan baru lagi, karena standar pelayanan masing-masing pemberi layanan berbeda-beda.
Permasalahan lain terkait siapa yang akan memoderasi apabila keluhan terkait kebiasaan yang bersifat subjektif atau bahasa yang digunakan kasar.
Untuk itulah maka perlu adanya kesepakatan bersama para pihak untuk melibatkan publik dalam pengawasan layanan JKN tersebut. [b]