Pemilihan Umum Gubernur Bali 2024 (Pilgub Bali 2024) akan dilaksanakan pada 27 November 2024 untuk memilih Gubernur dan Wakil Gubernur Bali periode 2024-2029. Ada beberapa nama yang disebut-sebut media akan melaju sebagai calon gubernur dan wakil gubernur Bali.
Lembaga survei Archi Indonesia (Archi Research Strategic Consulting) merilis hasil survei menjelang Pilgub Bali 2024. Survei tersebut diambil dari 1.200 ribu responden.
Nama-nama dengan survei tertinggi diantaranya Gubernur Petahana Bali Wayan Koster, Bupati Badung Giri Prasta dan Anak Agung Manik Danendra.
Tak hanya ketiga nama itu, nama lainnya juga muncul sebagai calon Gubernur Bali 2024, yakni Tjokorda Oka atau Cok Ace (10%), Made Mudarta (9,7%), I Made Mahayastra (7,9%), Ida Bagus Rai Dharmawijaya Mantra (7,8%), Arya Wedakarna (7,2%), Gede Sumarjaya Linggih (4,2%), Gede Pasek Suardika (3,9%), dan sisanya tidak tahu. Melihat survei tersebut, sebagian besar adalah wajah lama yang kerap berseliweran di dunia politik.
Akademisi Ilmu Politik Universitas Udayana, I Made Anom Wiranata mengamati perkembangan sistem kepartaian di Bali saat ini. Menurutnya kepartaian di Bali terbagi atas partai bagi kepala daerah terpilih dan di luar kepala daerah terpilih. Partai yang berada di luar pemerintahan inilah menurut Anom seharusnya dapat mengkritik pemerintah yang berkuasa saat ini. “Saya tidak melihat sistem kepartaian itu, tidak mencerminkan sikap kritis dari partai di luar pemerintahan,” jelasnya pada Selasa (27/02).
Fenomena pemilihan kepala daerah di Bali, erat kaitannya dengan politik transaksional dan simbolik. Anom mencontohkan beberapa perbaikan bale banjar maupun pura pada beberapa daerah di Bali. Begitu pula di daerah lainnya, politik transaksional terjadi sebagai bentuk timbal balik telah mengamankan suara. Akar politik timbal balik ini telah subur sejak periode pemerintahan sebelumnya. Anom menjelaskan pada masa orde baru ada banyak janji kosong dengan bentuk pembalasan berupa transaksi tertentu. Kesepakatan ini terjadi antara partai yang melakukan dan diterima pihak desa. Tujuannya hanya satu mengamankan suara agar utuh.
Siklus politik transaksional ini menghasilkan demokrasi yang tak pernah utuh. Masyarakat mengikuti arus dan menomor duakan hati nuraninya. Dampak lainnya, terjadi di beberapa daerah yaitu beberapa partai telah mencengkram daerah kekuasaan suaranya. Anon melanjutkan, fenomena politik transaksional sangat berpengaruh di pedesaan. “Strategi politik transaksional sangat berpengaruh di pedesaan, kalau menang telak mudah dapat bargaining,” ungkapnya.
Berdasarkan perspektif ilmu sosiologi, akademisi Wahyu Budi Nugroho menyebutkan adanya pemahaman konsep pemberdayaan adalah salah satu indikator pemimpin ideal, melalui beberapa prinsip pemberdayaan. Sentralisasi ke desentralisasi, mengolah sumber dayanya sendiri, masyarakat jadi subjek. “Top down ke bottom up, dari perumusan masalah, perencanaan program, pemimpin yang bisa memberi ruang, isu dari masyarakat lokal,” ujarnya.
Wahyu juga menyebutkan soal uniformity ke variasi lokal. Menurutnya, setiap masyarakat punya kebutuhan berbeda, maka konsepnya tidak bisa diseragamkan. Pemimpin juga perlu memperhatikan sistem komando ke proses belajar, kelanjutan desentralisasi, tak tergantung teknokrat. Kreativitas calon kepala daerah juga diuji agar tidak hanya tergantung pada arahan pusat saja. “Mulai SBY tapi masih etalase, sekadar nama PNPM, masih top down,” ungkap Wayu. Calon pemimpin Bali harus mengarusutamakan kearifan lokal. Ini berkaitan dengan era post modern dengan fenomena produksi informasi lebih masif dibanding manufaktur/benda. Alhasil narasi masyarakat runtuh, budaya pun goyah. Pemimpin harus memastikan agar nilai-nilai budaya di setiap daerah tetap hidup.
Main-main dengan Simbol dan Gentong Babi
Istilah politik gentong babi ramai terdengar setelah disebutkan dalam film Dirty Vote. Menurut Susan Stoke (2007), politik gentong babi atau pig barrel politics adalah usaha calon petahana untuk mempertahankan kekuasaannya dengan membuat kebijakan-kebijakan yang populis, yang pada praktiknya adalah politik uang secara legal melalui kebijakan populis tersebut.
Budi Kurniawan dalam tulisannya bertajuk Politik Gentong Babi, contoh politik model ini dilakukan pada pemerintahan SBY jelang pemilu 2009. Tahun 2008, SBY menaikkan harga BBM yang berimbas pada penurunan popularitasnya. Jelang Pemilu 2009, presiden dua periode ini mengeluarkan kebijakan bantuan langsung tunai (BLT) sebagai kompensasi atas naiknya harga BBM. Padahal saat kebijakan BLT dikeluarkan, harga minyak dunia tengah turun.
Wahyu mengungkapkan kebijakan populisme yang disuarakan rentan terjadi politik uang. Meski begitu, Ia menegaskan demokrasi tidak bisa diganti transaksional. “Tidak semata modal ekonomi, masyarakat tidak berpengaruh pada bansos,” jelasnya. Ada beberapa modal bagi calon pemimpin yang dapat dipetakan. Modal tersebut menyangkut modal sosial, ekonomi, kultural dan simbolik.
Modal sosial berkaitan dengan jaringan; ekonomi berkaitan dengan dana kampanye; kultural berkaitan dengan mewakili budaya masyarakatnya, serta simbolik berkaitan dengan reputasi atau rekam jejak. Wahyu menganalisis, perpaduan modal simbolik dan modal sosial amat signifikan dalam memenangkan calon.
“Modal simbolik ini signifikan, ada caleg kaya tapi tidak lolos. Contoh keluarga Hary Tanoe dari Perindo semua anggota keluarganya modal ekonomi. Ada Komeng, modal sosial bagus, simbolik reputasi bagus,” ungkapnya. Apabila dari sisi politik menurut Anom ada beberapa indikator kepala daerah untuk masyarakat. Indikator itu seperti kepala daerah yang mampu menyelesaikan masalah. Anom mencontohkan dalam penanganan sampah, pilihan teknologi untuk menyelesaikannya amat banyak tetapi soal sampah tak kunjung selesai. “Butuh keberanian bagi pemimpin untuk mengelola sampah bukan memindahkan sampah,” jelasnya. Penyelesaian masalah harus dilengkapi dengan ide, riset dan anggaran yang sesuai.
Indikator lainnya, kepala daerah ideal, yaitu mampu membedakan antara kebutuhan dengan keinginan masyarakat. “Membedakan kebutuhan dan keinginan dan masalah prioritas itu perlu pemimpin yang memfasilitasi, jangan dengar tim pembisiknya saja,” tegas Anom. Seperti misalnya apakah masyarakat membutuhkan perbaikan wantilan atau peningkatan keterampilan kerja. Termasuk masalah sampah dapat ditangani atau menambah acara hiburan tiap tahunnya.
Tantangan demokrasi di Indonesia amat besar. Menurut anom perlu orang yang terdidik untuk mencapai demokrasi yang utuh, “kalau rakyatnya begitu itulah cerminan demokrasinya.” Apakah Bali memiliki sosok pemimpin sesuai indikator-indikator itu?