Banyak bantuan mengalir di balik pandemi COVID-19.
Di tingkat pusat, pemerintah melakukan realokasi anggaran untuk penanganan Corona Virus Desease 2019 (Covid-19). Di antaranya untuk belanja sektor kesehatan dan pemberian Jaring Pengaman Sosial (JPS) kepada warga yang rentan terkena risiko sosial dan dampak Covid-19.
Pada 31 Maret 2020, Presiden Jokowi mengumumkan dari Rp 405,1 triliun APBN, sebanyak Rp 75 triliun (18,5 persen) disebut untuk belanja alat kesehatan dan Rp 110 triliun (27 persen) untuk JPS. Anggaran ini belum termasuk realokasi anggaran daerah, dana desa yang berasal dari APBN, dan anggaran tiap kementerian/ lembaga yang juga memberikan JPS kepada warga.
Belanja alat kesehatan dan JPS pada dasarnya mendesak dibutuhkan, mengingat fasilitas kesehatan tak sepenuhnya siap menangani pasien COVID-19. Dampak wabah juga secara cepat memukul sisi sosial ekonomi warga. Sejumlah sektor ekonomi lumpuh, terjadi pemutusan hubungan kerja, dan tak sedikit masyarakat yang berkurang atau bahkan kehilangan sumber penghasilan.
Meski mendesak dibutuhkan dan dilakukan di tengah keadaan darurat, distribusi JPS dan belanja alat kesehatan semestinya tak mengabaikan prinsip transparansi dan akuntabilitas serta memerlukan pengawasan. Hal itu karena rentannya anggaran disalahgunakan atau bahkan dikorupsi. Terlebih lagi di kondisi darurat, pengadaan terkait Covid-19 dilakukan lebih “fleksibel” sebagaimana diatur dalam Peraturan LKPP No. 13 tahun 2018 dan Instruksi Presiden No. 4 tahun 2020.
Kerentanan korupsi JPS dan belanja alat kesehatan juga merujuk pada data korupsi berkaitan dua sektor tersebut selama ini. Sepanjang 2010-2019, terdapat sedikitnya 281 kasus korupsi di sektor kesehatan dan 44 persen di antaranya terkait pengadaan alat kesehatan (ICW, 2020). Hasil kajian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengenai bantuan sosial pada 2011 dan hasil pemeriksaan BPK selama ini, terakhir penyaluran bantuan sosial 2018 hingga semester III 2019, menunjukkan rentannya bantuan sosial disalurkan tidak tepat sasaran hingga memboroskan keuangan negara (BPK, 2020).
Saat ini, dugaan penyimpangan penyaluran JPS dan belanja alat kesehatan di tengah pandemi Covid-19 telah bermunculan. Mulai dari alat tes COVID-19 yang diadakan pemerintah mempunyai tingkat akurasi rendah dan terjadi pemahalan harga dan JPS yang disalurkan tidak tepat sasaran, dikorupsi, hingga dipolitisasi.
Di sisi lain, pemerintah belum sepenuhnya transparan dalam mengelola JPS dan belanja alat kesehatan. Misalnya mengenai harga beli dan jumlah alat uji yang telah didistribusikan, harga beli dan pemasok Alat Material Kesehatan (AMK), dan harga beli serta jumlah bahan baku obat dan tablet obat yang telah didistribusikan.
Melihat tingginya potensi penyalahgunaan belanja alat kesehatan dan distribusi JPS, ICW bersama jaringan antikorupsi di 13 daerah akan membuka posko pengaduan warga. Langkah ini juga dimaksudkan untuk menghimpun dan mengidentifikasi lebih dalam mengenai implementasi kebijakan pemerintah untuk menangani COVID-19 dan mendorong transparansi serta akuntabilitasnya.
Pantau dan Laporkan
Bali termasuk salah satu wilayah pemantauan itu di mana ICW bekerja sama dengan BaleBengong, alumni Sekolah Anti Korupsi (SAKTI) Bali, dan LBH Bali. Pemilihan daerah-daerah ini didasarkan pada pertimbangan penyebaran COVID-19, kerentanan penyaluran JPS, dan ketersediaan mitra ICW di daerah, mengingat penerimaan pengaduan memerlukan pengelolaan dan tindak lanjut yang jelas.
Aduan yang akan kami terima meliputi tiga hal.
Pertama, dugaan korupsi dan monopoli pengadaan alat uji, AMK, dan obat.
Kedua, informasi mengenai alat uji, AMK, dan obat dari pemerintah yang berkualitas buruk.
Ketiga, penyalahgunaan bansos seperti politisasi dan tidak tepat sasaran (khususnya mengenai exclusion error, di mana terdapat warga yang dinilai tidak layak menerima JPS atau tidak rentan terkena resiko sosial namun menerima JPS).
Contoh lain penyelahgunaan bansos ini adalah pemotongan dan pungli, pemberian fiktif, dan pemberian double (satu penerima manfaat menerima lebih dari 1 jenis JPS dalam periode waktu yang sama. Mobilisasi dan pemberian tidak sesuai ketentuan, misal seharusnya berbentuk uang, tetapi diberikan dalam bentuk sembako merupakan contoh lain dari poin ketiga ini.
Pengaduan dari warga akan kami analisis untuk kemudian diteruskan kepada instansi terkait, seperti pemerintah daerah, Dinas Sosial, Ombudsman, Kementerian Sosial, aparat penegak hukum, dan lainnya sesuai dengan kewenangan masing-masing. Sedangkan update dan rekapitulasi laporan akan dipublikasikan secara periodik melalui www.antikorupsi.org.
Secara nasional, aduan diterima melalui email pantaucovid19@antikorupsi.org. Untuk di Bali, laporan bisa dilakukan melalui media sosial @BaleBengong (Twitter & Instagram), WhatsApp (+6281935183697), mengisi form berikut s.id/covidbali atau dengan mendatangi Kantor LBH Bali pada Senin-Rabu pukul 10.00 – 15.00 WITA. [b]