Lima tahun silam, perempuan Bali mendapatkan angin segar.
Pada 15 Oktober 2010 Majelis Utama Desa Pekraman (MUDP) menyatakan sejumlah hal terkait kedudukan perempuan dalam perkawinan dan pewarisan menurut adat Bali.
Misalnya suami istri dan saudara laki-laki mempunyai kedudukan sama untuk jamin anak dan cucunya agar memelihara termasuk kekayaan imaterial seperti pura. Laki-laki dan perempuan memiliki hak sama terhadap hak guna kaya.
Selama dalam perkawinan, suami dan istrinya mempunyai kedudukan yang sama terhadap harta guna kaya atau gono-gini.
Lima tahun kemudian, angin segar itu ternyata belum membawa banyak perubahan. Karena itulah MUDP diminta mendorong desa-desa pekraman di Bali untuk segera memasukkan hasil putusan Pesamuhan Agung (rapat besar) MDP Bali pada 2010 ke aturan adat.
Putusan MUDP pada 2010 dinilai sangat progresif sebagai jalan untuk kesetaraan dan keadilan bagi perempuan Bali dalam hak dan kewajiban adatnya.
Karena itulah sejumlah lembaga seperti Bali Sruti dan Lembaga Bantuan Hukum Anak dan Perempuan (LBH APIK) mendesak agar MUDP memulai upaya internalisasi putusan yang sampai kini tak jelas implementasinya tersebut.
AA Sudiana, nayaka atau staf ahli MUDP Bali mengatakan memang ada pimpinan desa adat yang mungkin belum sreg dengan putusan ini namun secara resmi sudah menjadi kesepakatan bersama. Ini putusan yang responsif terhadap hak asasi manusia dan kesetaraan gender.
“Tapi, kenyataannya masih ada subordinasi dalam konstruksi budaya. Menganggap perempuan pengekor,” katanya.
Ia mengingatkan Kitab Manawa Dharmasastra menyebutkan sangat jelas perempuan sangat dimuliakan dan dihormati. “Di mana wanita dihormati, di sanalah para dewa merasa senang, tak dihormati tak ada upacara suci apa pun yang berpahala,” kutipnya.
Salah satu kesadaran yang belum sepenuhnya muncul di pengurus desa pekraman adalah adat yang difungsikan tak responsif gender. Keturunan kapurusa (patrilineal) dikonstruksi sebagai laki-laki padahal maknanya tentang kewajiban. Konsekuensinya, hanya laki-laki yang dianggap bisa bertanggungjawab secara adat dan agama.
“Padahal bisa saja status kapurusa ini perempuan kalau statusnya sentana rajeg,” jelasnya.
Artinya perempuan juga berhak bertanggungjawab dalam hubungan dengan tempat suci (parahyangan), menyama braya (pawongan), dan palemahan atau pengelolaan warisan. Kecuali perempuan ninggal kedaton penuh atau menikah dan berganti agama.
Menurutnya tak sedikit kearifan lokal yang bisa menjadi pertimbangan untuk distribusi waris secara adil ini. Misalnya paras paros atau kebersamaan dalam hak dan kewajiban, prinsip asih, asah, asuh dan sesana manut linggih atau hak sesuai kedudukan yang dimiliki.
Keputusan MUDP
Keputusan MUDP yang lain pada 2010 silam adalah bahwa anak kandung dan angkat baik laki-laki atau perempuan yang belum kawin memiliki kedudukan sama terhadap gunaya orang tuanya. Berhak atas harta gunaya setelah dikurangi sepertiga sebagai duwe tengah atau harta bersama.
Yang belum bisa diimplementasikan secara formal di antaranya anak yang berstatus kapurusa berhak 1 bagian waris dan yang berstatus predana berhak setengah bagian. Anak yang ninggal kedaton penuh tak berhak atas harta warisan namun dapat diberikan bekal atau gunakaya oleh orangtuanya.
Kemudian putusan soal status perkawinan juga memberikan jalan tengah. Di antaranya upacara patiwangi (karena turun kasta/nyerod) tak boleh lagi dilaksanakan karena merugikan perempuan. Jika kedua mempelai ingin punya status kapurusa dan predana yang sama bisa melaksanakan dengan status pada gelahang dengan dasar kesepakatan bersama. Ini biasanya terjadi jika tak bisa nyentana.
Desa Kekeran, Tabanan adalah salah satu desa yang sangat terbuka dengan model pada gelahang seperti ini.
Keputusan dalam perceraian juga diterima dengan gembira. Misalnya bila bercerai bisa kembali ke rumah dengan status mulih daa/teruna (remaja) dan dapat melakukan swadarma dan haknya seperti biasa.
“Untuk sementara perlu ada surat pernyataan pewarisan agar tak masalah di notaris,” sebut Sudiana dalam kondisi saat ini jika belum tersurat dalam awig-awig desa.
Ia berharap keputusan MUDP ini perlu masuk ke awig dan perarem agar hukum adat progresif. Untuk itu perlu sosialisasi mendorong desa adat membangun kesadaran untuk pembagian waris secara adil.
Majelis adat menurutnya bisa jadi subjek hukum sehingga bisa otonom, self regulation bisa mengatur dirinya sendiri.
Riniti Rahayu, Ketua Bali Sruti, mengingatkan putusan ini sudah berusia 5 tahun. “Keputusan MUDP adalah angin segar, jangan jadi angin sepoi lalu tertidur atau angin ribut dan perempuan tetap tak dapat apa,” ingatnya.
Sejumlah masalah yang banyak muncul saat ini, salah satunya harta gono gini dianggap harta pusaka. “Saat pembagian hak gunakaya orang tua, menghadap notaris saya ditolak karena kawin ke luar (keluar keluarga besar),” keluhnya tentang pengalaman sendiri.
Ia ingin laki-laki yang menjadi motor sosialisasi atau perubahan mindset ini melalui MUDP.
Ni Nengah Budawati, direktur LBH APIK Bali menerima sejumlah kasus terkait perkawinan dan perceraian ini. Misalnya ditolaknya pengasuhan anak pada ibu jika bercerai. Kemudian tak mendapat pembagian harta gunakaya selama perkawinan.
“Saya seperti tak berhak atas harta karena selama perkawinan hasilnya “sampah” (kebutuhan makan) dan suami menghasilkan mutiara (harta tak bergerak),” paparnya mengutip testimoni kliennya.
Budawati juga rajin menuangkan keluh kesahnya ini dalam bentuk sastra seperti cerpen. Ia sendiri punya tiga anak perempuan. Ia tak ingin anak-anaknya atau ia sendiri mengalami peristiwa seperti dalam cerpen Nista yang diadaptasi dari kisah nyata di Bali.
“Ada yang konspirasi menyebut nenek tua ini leak, agar waris tak jatuh pada ketiga anak perempuannya. Nenek ini diminta bersumpah. Kalau tak meninggal saat sumpah maka dikembalikan nama baiknya. Dan sebaliknya. Kemudian nenek ini meninggal setelah sumpah. Salah seorang keponakan saat mabuk mengaku meracuni yang dibubuhkan dalam tirta. Dia akhirnya dihukum dan dipenjara, tapi warisan sudah jatuh ke dia,” Budawati berkisah.
Nyoman Sumardika dari Ikatan Notaris Indonesia menyebut pembagian waris masih menggunakan surat Dirjen Agraria 2009 yang spiritnya pola pembagian waris menggunakan klasifikasi penggolongan penduduk. Statusnya bumi putera, tionghoa, dan asing. Bumi putera tergantung putusan ahli waris. Namun awig dan perarem belum mengikuti putusan MUDP.
“Pewarisan bisa beralih dan dialihkan. Ngurus akte turun waris sebenarnya di pertanahan tapi warga ingin praktis, menggunakan jasa notaris,” paparnya. [b]
Comments 1