Untunglah Teluk Benoa masih diselamatakan dari rencana reklamasi.
Sektor pariwisata memang terguncang akibat pandemi Covid 19 di Bali. Namun, agar dapur tetap ngebul, banyak warga di Bali Selatan kini turun ke Teluk Benoa untuk mencari laukpauk. Beragam jenis mereka bisa ia dapatkan, seperti udang, kepiting, kerang bahkan sampai rumput laut. Tentu saat mencarinya harus di air yang surut.
Jika air tinggi, maka memancing dan menjaring ikan yang dilakukan warga. Tak hanya warga di seputaran Teluk Benoa, tetapi juga warga dari Denpasar dan bahkan Gianyar datang untuk memancing.
Untuk mencari udang, kepiting, kerang dan rumput laut, warga di seputaran Teluk Benoa turun biasanya menjelang malam atau dini hari untuk mencari udang dan kepiting dan sore atau pun siang mencari kerang maupun rumput laut.
Aktivitas ini memang dari dulu sering dilakukan. Namun, sejak pandemi ini merebak, jumlah warga semakin banyak yang turun ke Teluk Benoa untuk sekadar mencari lauk pauk.
Made Arsa, 51 tahun, warga Tanjung Benoa menggunakan lampu senter yang ditaruh di atas kepala. Lampu senter itu di taruh di helm yang sudah di modifikasi.
Selain lampu senter, ia juga membawa sebuah cedok atau semacam gayung berjaring di tangan kanannya. Di tangan kirinya membawa tumbak.
Kala itu pukul 18.30 WITA. Menurut pria yang dulunya bekerja sebagai tukang tato di penangkaran penyu, waktu menjelang petang adalah waktu saat air sudah surut di Teluk Benoa. Waktu yang tepat untuk mencari rejeki di Teluk Benoa.
“Sekarang airnya surut. Entar jam 2 malam air juga surut. Ini waktu yang pas untuk cari udang. Tapi kalau ketemu kepiting, ya di ambil juga,” katanya akhir Mei lalu.
Tak hanya Made Arsa, puluhan warga lainnya yang ada di sekitaran Teluk Benoa juga ikut turun. Bahkan ada warga yang dari Denpasar ikut juga turun untuk mencari udang. Alat “perangnya” sama. Senter dan Cedok.
“Biasanya turun ke Teluk Benoa dua jam saja. Biar air nggak keburu tinggi. Dua jam saya biasanya dapat satu kilo lebih udang,” ujarnya.
Hal yang sama juga dilakukan oleh Made Tiastini, 46 tahun. Ibu rumah tangga yang biasanya bekerja sebagai pemandu di penangkaran penyu di Tanjung Benoa juga ikut mencari lauk pauk di Teluk Benoa.
Berbeda dengan Made Arsa, Tiastini hanya mencari udang di pinggir. Sedangkan Made Arsa menurut pengakuannya mencari udang sampai di dekat dengan Tol Bali Mandara.
“Saya nyari di pinggir saja. Lumayan banyak. Ukurannya memang tak terlalu besar, tapi masih layak di konsumsi. Udang yang saya dapatkan rata-rata sebesar jempol anak umur lima tahun,” ujarnya lantas tertawa.
Meski mencari udang di pinggir, wanita asal Ubung, Denpasar dan menikah ke Tanjung Benoa ini bisa dapat setengah kilo dalam kurun waktu dua jam saja.
Kegiatan ini pun dilakukan hampir setiap hari. Biasanya, udang yang didapatkan dimasak dengan beragam jenis hidangan. Seperti kerupuk, bahan daging untuk sayur.
“Kadang dicampur dengan mie kuah. Enak dong. Kini tiap hari bisa makan udang,” ujarnya dengan lugu.
Yang juga menarik, Tiastini memilih untuk tidak menjual udang yang ia dapatkan. Padahal harga udang cukup mahal. Bisa mencapai Rp 60 ribu per kilo di pasar.
“Ndak saya jual. Buat konsumsi saja. Kalau dapat banyak, saya taruh di kulkas. Tapi kalau ada saudara atau temen yang ingin udang, saya berikan gratis,” jelasnya.
Berkah
Tentu Teluk Benoa membawa berkah bagi warga pesisir. Terlebih di tengah pandemi Covid 19 seperti ini. Padahal, jika melihat beberapa tahun belakangan, proyek besar nyaris menghancurkan Teluk Benoa.
Ya, proyek milik Tomy Winata dengan perusahaanya bernama PT Tirta Wahana Bali Internasional (TWBI) itu ingin mereklamasi Teluk Benoa untuk kepentingan investasi. Tak main-main, setengah dari luas Teluk Benoa nyaris di Uruk.
Langkahnya berhasil terhenti hingga kini. Sebab ada perlawanan masyarakat Bali yang diinisiasi oleh Forum Rakyat Bali Tolak Reklamasi Teluk Benoa (ForBALI). Gerakan ini terus membesar dan membesar.
Namun, langkah ForBALI tentu memiliki hambatan. Bahkan begitu pelik dalam persoalan ini. Namun perjuangan tetaplah perjuangan. Tak hanya berbekal kata, aksi turun ke jalan pun nyaris setiap Minggu pernah dilakukan.
Namun sejak pandemi ini, aksi tentu tidak dapat dilakukan. Namun, gelora untuk menolak rencana reklamasi Teluk Benoa masih tetap terdengar melalui media sosial.
Yang juga patut diingat, Teluk Benoa semoat beberapa kali menjadi saksi perjuangan rakyat Bali ini. Baik aksi di laut maupun dilakukan dengan Niskala atau dengan menghaturkan sesajen untuk meminta restu terhadap perjuangan rakyat.
Gerakan untuk penyelamatan Teluk Benoa juga dilakukan oleh sejumlah Desa Adat di Bali. Sikap demi sikap terus dinyatakan dalam sebuah keputusan adat. Bahkan Parisada Hindu Sharma Indonesia (PHDI) berdasar hasil penelitian Tim Mahasiswa UNHI bersama ForBALI, menetapkan Teluk Benoa sebagai kawasan suci.
Kini Bali, Indonesia bahkan dunia diserang oleh virus bernama Covid 19. Virus yang pertama kali ditemukan di Wuhan, China itu. Perekonomian warga seret, tetapi Teluk Benoa mampu memberikan alternatif lain.
Menanggapi hal ini, Koordinator ForBALI, Wayan Gendo Suardana pun melihat, kondisi ini harus diakui bahwa pendemi dapat menjadi refleksi besar bagi industri pariwisata Bali.
Apalagi saat sebelum pandemi seluruh tumpuan ekonomi Bali ada di sektor pariwisata, sehingga sektor yang lain seolah diabaikan.
“Pertanian dipandang sebelah mata, perikanan termasuk nelayan menjadi profesi kelas dua bahkan demi destinasi wisata baru kerap mereka disingkirikan,” ujarnya. Demikian juga, perairan termasuk Teluk Benoa yang sempat diremehkan baik fungsi lingkungannya maupun fungsi ekonominya.
Oleh sebagai kelompok masyarakyat perairan Teluk Benoa dianggap remeh dibanding dengan mimpi besar investasi menjadikannya daratan untuk destinasi wisata baru yang high class.
“Syukurnya Teluk Benoa masih diselamatakan dari rencana reklamasi seluas 838 ha (awalnya). Bayangkan kalau tidak dilawan dan bayangkan jika sejak akhir 2013 direklamasi lalu dibangun akomodasi wisata. Selanjutnya hanya tersisa lorong-loronh air di antara pulau-pulau buatan. Entah apa nasib masyarakat pesisir saat pandemi ini?,” sebutnya.
Menurut Gendo, mungkin saat ini akan banyak masyarakat yang akan bersyukur Teluk Benoa tidak jadi direklamasi dan masyarakat yang berjuang saat ini merasakan buah perjuangan mereka, bahwa di saat pandemi, Teluk Benoa menolong mereka.
“Semoga ke depan rakyat bali makin kuat kesadarannya bahwa saat terjadi bencana batu pasir dan lahan reklamasi tidak bisa dimakan,”sebutnya.
Selain itu, Gendo juga berharap para penguasa di Bali segera mengambil langkah konkrit untuk menyelamatkan Teluk Benoa dari ancaman ini.
“Semoga penguasa juga sadar bahwa Teluk Benoa sangat berfungsi dalam situasi krisis sehingga ke depannya tidak buta nafsu untuk mengurug Teluk Benoa,” pungkasnya. [b]