Musim panen hampir tiba di Desa Jatiluwih, Tabanan.
Padi-padi di desa masuk Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan ini mulai menguning. Sebagian padi lokal tersebut sudah rebah ke tanah pertanda siap dipanen.
Turis-turis pun makin banyak berdatangan ke kawasan yang sudah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Dunia (WBD) oleh Unesco sejak 2012 lalu ini. Saat ini, menurut data Pengelola Daya Tarik Wisata Jatiluwih, sekitar 300 turis asing mengunjungi Jatiluwih tiap hari.
Padahal, sebelum ditetapkan sebagai WBD, jumlah kunjungan hanya separuh dari itu. Keindahan dana ketenaran Jatiluwih sebagai ikon subak Bali membuat makin banyak turis berkunjung menikmati 303 hektar sawah di sini.
Namun, di balik pesona dan popularitas kawasan Jatiluwih, petani lokal justru menghadapi tantangan berat: makin banyaknya saluran irigasi yang rusak.
Salah satunya terjadi di lahan milik Ketut Wiarta di Tempek Kedamian, Banjar Jatiluwih Kangin. Saluran irigasi di sini ambrol.
Menurut Wiarta, jebolnya saluran irigasi terjadi pada Februari lalu. Akibat hujan deras, tanah yang dilewati saluran itu pun ambrol. Saluran irigasi di atas tanah biasa itu pun terputus.
Sebelumnya, saluran tersebut hanya berupa selokan tanah biasa. Bukan dari saluran dengan bahan pipa atau batu bata.
Akibat putusnya saluran irigasi itu, air tak lagi mengalir lancar ke sekitar 0,5 hektar sawah milik Wiarta. Dia pun tak bisa menanam padi lagi seperti yang dilakukan petani lain.
Kini, tidak ada lagi padi di sawah Wiarta. Di lahan tersebut hanya ada rumput ilalang, pohon pisang, dan pohon jambu. “Tidak ada air lagi. Kami tidak bisa menanam padi,” kata Wiarta Sabtu pekan lalu.
Sore itu Wiarta baru selesai ngarit, menyabit rumput untuk pakan sapi. Sambil membawa arit, dia menunjuk saluran irigasi yang rusak itu. “Tidak tahu kapan akan diperbaiki. Padahal kami sudah melapor ke pemerintah,” katanya.
Menurut Wiarta, tidak hanya sawah miliknya yang jadi korban rusaknya saluran irigasi tersebut. Jika saluran irigasi tersebut tidak segera diperbaiki, maka sawah lain pun segera kering seperti miliknya.
“Bisa sampai 30-an hektar sawah akan kering,” tambahnya.
Tua
Pekaseh Jatiluwih I Nyoman Sutama melengkapi kekhawatiran Wiarta. Menurut Sutama, ada dua subak yang akan kering akibat rusaknya saluran irigasi tersebut yaitu Subak Kedamian dan Subak Besi Kalung. Subak Kedamian memiliki luas 56 hektar dengan 60 petani anggota sedangkan Subak Besi Kalung meliputi lahan seluas 48 hektar dengan 55 anggota.
Desa Jatiluwih memiliki enam subak kecil atau tempekan yang dikoordinir satu Subak Gede Jatiluwih. Selain Subak Kedamian dan Besi Kalung, subak lain adalah Subak Jatiluwih, Subak Kesambi, Subak Gunung Sari, dan Subak Umakayu.
Total luas Subak Gede Jatiluwih ini 303 hektar dengan 355 petani anggota.
Untuk mengairi 303 hektar lahan sawah di Jatiluwih, petani mengandalkan sumber air dari beberapa sungai seperti Yeh Ho, Yeh Baat, Munduk Abangan dan Yeh Pusut. Air dari sungai ini dibagi melalui saluran subak sepanjang 40 km.
Namun, dari saluran sepanjang itu, menurut Sutama, hanya sekitar 30 persen dalam kondisi baik. “Sebagian besar saluran subak sudah rusak,” katanya.
Menurut Sutama, rusaknya saluran subak tersebut karena umur yang sudah tua. Sebagian besar saluran subak dibuat pada 1968-1969. “Termasuk terowongan di bawah desa juga sudah rusak,” katanya.
Selain umur saluran yang sudah tua, petani juga menghadapi masalah semakin mengecilnya debit air di saluran mereka. Hal ini terjadi, menurut Sutama, karena sebagian besar sumber air pun kini berkurang. Alih fungsi lahan di bagian hulu menjadi penyebabnya.
“Sebelum penetapan sebagai Warisan Budaya Dunia pun sudah seperti itu,” kata Sutama. Kondisi ini, dia melanjutkan, bisa mewakili kondisi subak di Bali secara keseluruhan. “Subak di daerah lain mungkin lebih parah,” tambahnya.
Pembagian
Sutama menuturkan sejauh ini penetapan Subak Jatiluwih sebagai WBD oleh Unesco belum berdampak secara langsung terhadap perbaikan saluran subak. Namun, dia mengatakan, secara ekonomi memang subak sekarang memiliki pendapatan.
Sejak Maret lalu, Pemkab Tabanan membuat Badan Pengelola Daya Tarik Wisata (DTW) Jatiluwih. Badan ini kemudian membentuk Manajemen Operasional DTW Jatiluwih. Salah satu tugas manajemen operasional ini adalah mengatur retribusi di Jatiluwih dan pembagiannya.
Menurut perjanjian kerja sama antara Pemkab Tabanan dengan Desa Jatiluwih, Desa Pekraman Jatiluwih, dan Gunung Sari serta Subak Jatiluwih pembagian hasil retribusi. Pembagian hasil restribusi tersebut 45 persen untuk Pemkab Tabanan dan 55 persen untuk pihak desa dan subak.
Dari 55 persen untuk desa dan subak itu dibagi lagi yaitu Desa Dinas Jatiluwih 25 persen, Desa Pekraman Jatiluwih 30 persen, Desa Pekraman Gunung Sari 20 persen, Subak Jatiluwih 21 persen, Subak Abian Jatiluwih 2 persen, dan Subak Abian Gunung Sari 2 persen. Subak Abian adalah subak untuk daerah kering atau tegalan.
Kepala Divisi Umum dan Kepegawaian Manajemen DTW Jatiluwih Driana Rika Rona mengatakan pembagian hasil retribusi tersebut merupakan upaya Pemkab untuk mendukung keberadaan subak di Jatiluwih. “Bantuan juga diberikan untuk petani yang akan melaksanakan upacara terkait subak. Misalnya kebutuhan Rp 500 ribu, kami dukung Rp 200 ribu,” kata perempuan yang sehari-hari bekerja di kantor Pemkab Tabanan ini.
Sumbangan terhadap subak memang diberikan. Namun, subak tak cuma butuh uang. Mereka perlu perhatian lebih, seperti perawatan dan perbaikan saluran. Jika saluran subak tidak segera diperbaiki, keindahan Jatiluwih mungkin berganti dengan kekeringan. [b]