Oleh Anton Muhajir
Komunitas seniman dan korban lumpur panas di Sidoarjo Jawa Timur memamerkan karya mereka di Denpasar. Prosentase untuk korban lumpur terlalu kecil.
Mengitari luberan lumpur panas di Sidoarjo, ribuan pemedek (umat Hindu) yang sembahyang terlihat khidmat melakukan sembahyang. Lukisan berjudul Ritual Agung di atas kanvas 110 x 90 cm persegi tersebut berusaha mengungkapkan pesan bahwa masalah luberan lumpur panas di Sidoarjo, biasa dikenal sebagai lumpur Lapindo, adalah masalah bersama.
“Saya melihat betapa semua orang peduli masalah ini tanpa tersekat identitas,” kata Jansen Jassien, pembuat lukisan bercorak kelabu tersebut.
Lukisan perupa kelahiran Gresik, Jawa Timur, 33 tahun lalu itu merupakan salah satu dari 40 karya yang dipamerkan di Sector Bar Sanur pada 29 – 31 Juli lalu. Pameran tersebut merupakan salah satu upaya untuk mengingatkan bahwa di antara keterpurukan para korban lumpur panas Lapindo, masih ada harapan untuk bangkit. Hal tersebut sebagaimana dikatakan Mohammad Nasrullah, sekretaris panitia.
Maka, tema pameran itu pun agak jargonistik, “Berawal dari Lumpur Sidoarjo, Bangkitlah Semangatmu, Damailah Negeriku.” Bagi saya, ini tema yang agak panjang dan aneh. Biasanya sih tema pameran di Bali atau di tempat lain cenderung singkat dan memiliki pesan kuat. Tapi ini agak panjang dan, ya itu tadi, jargon banget.
Tapi yowislah. Daripada membicarakan tema jargon, kita lihat saja apa makna pameran ini.
Menurut Nasrullah, pameran tiga hari itu berawal dari obrolan kecil komunitas seniman di Pasar Seni Sidoarjo. “Kami ingin menyampaikan bahwa masalah lumpur Lapindo tidak mematikan kreativitas warga. Kalau seni saja masih bisa berjalan, maka aktivitas lain pasti juga lancar,” kata Arul, panggilan akrabnya. 28 pelukis, termasuk lima orang yang jadi korban langsung lumpur panas yang keluar tiada henti sejak Mei 2006 lalu itu pun sepakat membuat pameran lukisan.
Gayung bersambut. Ketika ide itu ditawarkan ke sponsor, ternyata Bank Indonesia merespon positif dengan bersedia memberikan biaya pameran di tiga kota: Surabaya (8–13 Juni 2007), Jakarta (2–4 Juli 2007), dan Denpasar (29-31 Juli 2007).
Pameran di Denpasar adalah pameran terakhir dari keseluruhan pameran di tiga kota tersebut. Karena itu Denpasar hanya mendapat “sisa-sisa”. Sebab tujuan pameran itu pun untuk menjual lukisan. Makanya pada pembukaan pameran di Sector Bar pun dilangsungkan jual beli lukisan secara terbuka alias lelang.
Bagi saya, ini sih memang terlihat agak norak. Apalagi si cewek penawar lukisan agak memaksa-maksa undangan di sana untuk membeli lukisan yang dipamerkan. Harganya memang murah. Ada yang hanya Rp 2 juta. Tentu saja “hanya” jika dibandingkan dengan harga lukisan lain yang ada sampai Rp 77 juta pada pameran yang sama.
Pelukis yang karyanya laris manis selama pameran di Surabaya, Jakarta, dan Denpasar adalah Ellys Susanti, 30 tahun. Ibu tiga anak yang sedang mengandung lima bulan ini karyanya dibeli banyak pejabat seperti Gubernur Bank Indonesia dan Wakil Walikota Surabaya. Dari 15 karya yang dibuatnya, tinggal dua karya yang dipamerkan di Denpasar.
Ellys sendiri adalah korban lumpur Lapindo. Dua rumahnya di Perumtas Tanggulangin Sidoarjo terendam lumpur. Dia sempat sakit akibat bencana tersebut. Dia kena infeksi paru-paru. Wanita kelahiran Samarinda ini pun pernah mengalami hipertensi sampai 170. “Selama lima bulan saya bolak-balik ke rumah sakit,” kata Ellys.
Ketika mengungsi di Pasar Seni Sidoarjo dan melihat banyak seninam di sana, dia kemudian meneruskan hobi yang pernah dilakoninya, melukis. “Saya jadi bisa melupakan masalah setelah melukis. Saya jadi lebih tegar,” katanya.
“Bagi saya, melukis jadi obat penawar kesedihan,” ujar Ellyis yang kini berencana membuat pameran tunggal.
Karya-karya Ellys sendiri bercorak beragam. Ada realis dengan gambar-gambar lumpur panas yang mengepulkan asap dan ada pula berupa kaligrafi huruf Arab. Dua lukisan gado-gado itu menambah beragamnya tema lukisan. Sebagian besar malah lukisan yang bertema tidak nyambung dengan bencana lumpur panas di Sidoarjo. Tidak ada misalnya potret pengungsi lumpur di kanvas. Atau apalah selain lumpur panas mengepulkan asap yang terlalu verbal untuk sebuah pengingat.
Jadilah pameran yang bermaksud mengingatkan akan bencana itu, atau setidaknya makna di balik bencana, malah meninggalkan bencana itu sendiri. Tidak ada empati yang saya temukan setelah melihat lukisan-lukisan itu.
Parahnya lagi, meski menggunakan korban lumpur Lapindo sebagai salah satu alasan pameran, namun sumbangan ke pengungsi pun termasuk kecil. Itu pun tidak jelas. Jansen misalnya mengaku harus menyumbang 30 persen dari tiap lukisan yang terjual. Sedangkan Arul menyebut angka 20 persen. Ellys malah menyebut hanya 10 persen. Katakanlah memang 30 persen untuk para korban lumpur Lapindo. Ah, angka itu pun terlalu kecil untuk mereka yang namanya digunakan untuk alasan pameran ini. [b]