Oleh Luh De Suriyani
Kesadaran untuk melaporkan kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) makin tinggi di Bali. Ditandai dengan makin banyaknya permintaan visum fisik di RS Sanglah Denpasar. Untuk itu, sebuah pos konseling dan hotline dibuka bagi korban tindak kekerasan.
“Kita tak ingin menjadi tempat permintaan visum forensik saja oleh korban tindak kekerasan tapi bisa menangani korban dari segi psikis dan sosialnya,” ujar dokter I Gusti Rai Tirta, Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Seluruh Indonesia (PDSKJI) Cabang Denpasar yang bekerja sama dengan Staf Medis Fungsional (SMF) Psikiatri membuka pos konseling ini di RS Sanglah.
Setiap orang yang membutuhkan konseling atau pemeriksaan mengenai KDRT bisa datang ke Bagian SMF Psikiatri RS Sanglah atau telephone (0361) 228824 pada jam 08.00-13.00 Wita. Bisa juga lewat email di psychiatry_denpasar@yahoo.com
“Selain visum fisik, RS Sanglah akan memberikan visum psikiatri untuk menangani korban KDRT. Ini penting untuk menganalisa kondisi kejiwaan korban dan bagaimana latar belakang kejiwaan pelakunya,” tambah Rai Tirta pada wartawan di RS Sanglah Kamis kemarin.
Pembukaan os konseling ini dilakukan karena makin tingginya permintaan visum korban KDRT yakni 48 kasus di tahun 2008. “Sebelumnya kasus KDRT tidak mungkin dilaporkan oleh korban ketika minta visum. Pasti sebagian besar mengaku karena jatuh atau kecelakaan. Perempuan cenderung menutupi tindakan kekerasan yang dialaminya dalam keluarga,” tutur dokter Lely Setyawati, psikiater dari SMF Fakultas Kedokteran Universitas Udayana RS Sanglah ini.
Selain itu, menurut Lely sebagian besar koban KDRT tidak mau melakukan konsultasi psikis atau visum psikiatri karena tidak didukung keluarganya. “Hanya sebagian dari 48 kasus itu yang bisa dirujuk ke SMF Psikiatri. Keluarga menganggap kekerasan bukan masalah kejiwaan,” tambahnya.
Berdasarkan survei kesehatan mental terkahir di Bali pada 1995, Rai Tirta menyebutkan sebanyak empat persen atau 120 ribu orang penduduk Bali mengalami gangguan kejiwaan. Gangguan jiwa ini meliputi banyak dimensi seperti depresi, bunuh diri, ketakutan, penjudi patologis, dan lainnya.
Sementara 2 dari 1000 orang atau sekitar 7000 orang di antaranya adalah pengidap gangguan jiwa psikotik berat dan kronis atau schizopherenia.
“Data ini pasti lebih besar sekarang. Bahkan makin kronis karena kebanyakan kasus kejiwaan di Bali menjadi kasus bunuh diri,” ujar Rai.
Pelaku KDRT pun termasuk penderita gangguan kejiwaan, seperti sejumlah kasus yang masuk ke RS Sanglah. Terakhir, ada dua kasus tindakan kekerasan berat yang kini ditangani.
Pertama, bocah perempuan 9 tahun, inisial AN yang diperkosa pamannya. Hasil visum oleh polisi dianggap tidak cukup sebagai bukti untuk menahan pelaku, dan kini korban mengalami trauma berat.
Lalu kasus keracunan obat pada KN, ibu rumah tangga 45 tahun. Setelah rawat inap, baru diketahui suami sengaja meracun istrinya dengan obat dan memaksanya keluar dari RS Sanglah. Kasus ini akhirnya dilaporkan ke polisi. Sementara KN masih menjalani rawat jalan dan terapi mental.
“Dua kasus ini membuktikan bahwa visum fisik tidak bisa memberikan cukup bukti untuk proses hukumnya. Karena itu kami terus meminta polisi untuk menggunakan alat bukti visum psikiatri juga,” ujar dokter Lely. [b]