Pada 15-19 Agustus ini komunitas pariwisata Sanur merayakan festival. Tujuannya untuk membangkitkan potensi wisata Sanur. Beragam aktivitas olahraga dan hiburan akan dihelat sepanjang hari selama Sanur Village Festival tersebut.
Mumpung sedang ada festival, mari mengingat kembali tentang Sanur. Bukan sebagai tempat wisata tapi sebagai sebuah desa.
Tradisionalitas Sanur dengan ikon jukung atau perahu nelayan serta tradisi setempat dipadu dengan ikon medernitas seperti musik jazz, dan makanan dari sejumlah negara yang disajikan oleh sejumlah chef hotel di Sanur. Tak heran bazzar makanan menjadi tempat yang paling ramai dikunjungi turis. Hmm, yummy…
Menikmati Sanur, untuk sebagian kalangan lebih memuaskan dari pada di Kuta. Pantai, hiburan malam, jasa kecantikan, dan hospitality-nya lebih beragam. Kita bisa memilih menyukai pantai dan tempat hiburan yang pikuk atau sunyi.
Pagi hari di Kuta, turis atau penghuninya masih terlelap. Sementara di sanur, pagi hari adalah momen yang menyenangkan. Sepanjang jalan Danau Tamblingan sampai Pantai Mertasari, para pelancong terlihat jalan kaki sambil terlihat sesekali ngobrol dengan masyarakat sekitar.
Trotoar jalan tak disesaki pedagang, jadi cukup lapang dan nyaman untuk jalan-jalan. Biasanya suasana pagi terlihat lebih meriah di sepanjang pantai di Desa Sanur. Matahari pagi menghangatkan tubuh yang disapu angin laut. Sebagian pelancong memilih joging atau duduk memandang matahari yang menyembul di horison.
Sejumlah ruas pantai dinamai berbeda. Misalnya yang paling ramai adalah Pantai Sanur, lokasinya sekitar Bali Beach Hotel. Ada Sanur Sindhu, di dekat Hotel Inna Sindhu, Pantai Suwung, Pantai Matahari Terbit, Pantai Padanggalak, dan Pantai Mertasari. Pantai Sanur, paling banyak digunakan untuk mandi karena gelombangnya kecil, dan arus lautnya cenderung stabil. Masyarakat bahkan banyak memilih mandi sampai sejauh 500 meter dari bibir pantai karena airnya masih sepinggang,
Soal ceteknya air, dipengaruhi oleh reklamasi pantai yang setahun terakhir ini dilakukan oleh pemerintah dengan bantuan dana internasional. Pasir dari palung laut dikeruk untuk menambah ruas pantai yang mengikis akibat abrasi. Selain itu dibuatkan ceruk-ceruk penghalang ombak sehingga arus laut tenang.
Pantai sanur kini memang terlihat cantik. Pengunjung pun makin nyaman karena ruas pantai lebar, pasirnya putih, dan semakin banyak sarana rekreasi untuk keluarga. Sejumlah nelayan setempat ada yang menyewakan kano dan ban pelampung. Sebuah kano disewakan rata-rata Rp 5000, dan ban pelampung aneka bentuk Rp 3000-5000.
Terlebih dibangun beberapa bale bengong yang menjorok ke laut. Bale bengong adalah, sebuah bangunan tradisional Bali yang kerap dijadikan tempat ngobrol atau bercengkrama. Dari bale bengong, horison terasa depan mata.
Keramaian Pantai sanur kini, berbeda dengan masa lalunya. Ketika tahun 1970-1980an, sepanjang pantai dipenuhi perahu-perahu nelayan. Tangkapan ikan di daerah ini sangat terkenal. Ikan-ikan laut kemudian dijual ke Kota Denpasar atau hotel dan tempat hiburan setempat.
Masih ada sisa-sisa masa lalu yang dapat dinikmati. Jejak tradisional dan eksotika Sanur terekam di sejumlah lukisan karya seniman dalam dan luar negeri yang memilih mukim di Desa Sanur. Salah satunya Museum Le Mayeur. Museum ini terletak di tepi Pantai Sanur. Museum yang sederhana dan ramah ini menyimpan beragam lukisan corak realis.Selain itu tak sedikit penulis asing yang mendokumentasikan Sanur dalam buku budaya atau panduan wisata. Misalnya Leonard Lueras, mantan wartawan Amerika Serikat yang membangun rumah di di sebuah gang kecil di Sanur. Leonard mengenang Sanur tempo doeloe dalam bukunya berjudul Sanur.
Bagi Leonard, Sanur telah memenuhi benaknya akan Bali. Keunikan budaya, tradisi, pruralisme, keindahan pantai, sampai magisme. Salah satu keunikan Sanur yang kerap menjadi bahan penelitian adalah ilmu magis atau pengleakan. Ini juga yang menjadi kemisteriusan Sanur.
Jika punya banyak waktu bersantai di Sanur, silakan mencoba jalan atau gang-gang kecil Sanur. Banyak gang yang terlihat tak berpenghuni karena penuh semak atau pepohonan rimbun. Kita akan dikejutkan dengan bangunan di baliknya yang banyak menyerupai vila. Arsitekturnya beragam dari berbagai negara, sesuai dengan penghuninya yang kebanyakan ekspatriat.
Nah bagaimana dengan kulinernya? Soal ini, Sanur juga lebih variatif dibanding Kuta. Barangkali di Kuta lebih glamour dalam penyajian dan cita rasa, tapi Sanur beruntung dengan banyaknya warung yang menjual makanan lokal.
Di ruas jalan Pantai Sindhu dan Mertasari terdapat sejumlah penjual makanan kaki lima khas lokal yang murah dan enak. Misalnya di Jalan Pantai Sindhu, ada nasi bali dengan lauk sapi, sepiring rata-rata Rp 5000. Ada juga nasi ayam, dengan harga yang sama. Meski kaki lima, kedua tempat makan ini seolah menjadi maskot kuliner lokal di Sanur. Sejumlah hotel akan merekomendasikan tamunya untuk mengunjungi dua warung ini jika mereka menanyakan makanan lokal. [b]