Pertemanan mereka akan dibuktikan dalam pertunjukan yang mempertemukan seni rupa dan seni sastra.
Kolaborasi bertajuk “Erawan vs Penyair Sejati: Salvation of The Soul, Ritus Bunyi Kata Rupa” bakal digelar di Antida Sound Garden, Denpasar. Pertunjukan akan digelar pada Sabtu, 15 Maret 2014 mulai pukul 20.00 Wita sampai selesai.
Kolaborasi itu akan mempertautkan unsur-unsur seni rupa. Ini tecermin pada rancang bangun panggung serta kekuatan bunyi yang dihadirkan oleh musik ritus gaya Erawan dengan pembacaan puisi para penyair terpilih. Para penyair itu Umbu Landu Paranggi, Nyoman Wirata, Cok Sawitri, Oka Rusmini, Tan Lioe Ie, Mas Ruscitadewi, Wayan Jengki Sunarta, serta Warih Wisatsana.
Pada kesempatan pertunjukkan tersebut, akan dieksplorasi kemungkinan melahirkan sebentuk “teater ritus”. Ragam pertunjukkan ini intens dan mengedepankan ciri-ciri ritual, yakni keterjagaan, ritmis sekaligus juga terbuka ruang untuk meluapkan kespontanan.
Menurut Erawan, pertunjukkan ini berangkat dari ide sederhana, yakni bagaimana menghadirkan persahabatannya selama ini. Sejak tahun 1990-an mereka telah membangun pergaulan kreatif, saling mendorong kreativitas dan juga saling memberi semangat untuk berkarya.
“Semasa itu saya sudah mengenal mereka aktif di Sanggar Minum Kopi dengan kegiatan-kegiatan susastranya yang intens serta total,“ ujar Erawan, ditemui di studionya kawasan Sukawati, Gianyar.
Walau mengedepankan kespontanan, pertunjukkan kolaboratif ini juga berangkat dari satu rancang dasar yang telah didiskusikan sebelumnya oleh Erawan bersama para Penyair yang terlibat. Dengan demikian diharapkan potensi dan totalitas masing-masing dapat luluh menyatu membangun keutuhan secara keseluruhan serta menghasilkan sebentuk “ritus”, yang semoga mencerahkan serta turut mengharmonikan kembali kosmos, atau kehidupan sosial budaya dan politik di Bali maupun di Indonesia selama ini.
“Saya sudah lama berteman dengan mereka dan masing-masing adalah pekerja seni serius serta total. Dedikasi mereka pada kesenian tentulah akan menjadikan pertunjukkan ini dilingkupi satu energi kreatif yang penuh persahabatan,” ujar Erawan.
“Mereka orang-orang kritis dan memiliki kepekaan tinggi, maka pertunjukkan ini juga menjadi sebentuk respon pada dinamika yang terjadi belakangan ini,“ tambah Erawan, perupa yang kerap menggelar performing art dan sudah sedini awal kariernya kerap bekerja sama dan berkolaborasi dengan seniman aneka bidang, termasuk para Penyair.
Sementara Penyair Cok Sawitri mengungkapkan bahwa teater ritus ini adalah bagian dari proses pengamatannya pada kreativitas yang dilakukan Erawan selama ini. Berdasarkan itulah ia menyakini pertunjukkan yang bakal digelar merefleksikan satu ritus yang juga hidup di dalam tradisi Bali, yakni nemu gelang, yaitu bagaimana segala titik energi spiritual yang tak kasat mata dapat terwujudkan di dalam satu bentuk kebersamaan dan intensitas gerak yang padu.
“Dalam tradisi Bali ada yang disebut ngarejang di desa-desa tua, satu bentuk ritus di mana para penari rejang melakukan prosesi melingkar bergandengan namun tidak saling berhadapan. Proses menuju puncak ritmis itu melalui tahapan-tahapan berbagai bunyi-bunyian yang agung dan mistis namun tidak dihadirkan atau disajikan secara melodius. Elemen rupa, kata dan bunyi itu menyatu dalam satu capaian ritmis yang kuat, di mana unsur-unsur kosmos seperti langit, bumi, berikut anasir-anasir intinya saling berbaur menyatu dan memuncak pada Sang Diri,“ ujar Cok Sawitri.
Cok Sawitri juga mengibaratkan bahwa prosesi kolaborasi ini adalah sebuah upaya yang menghasilkan efek ruwatan yang dalam tahapannya mencerminkan apa yang terjadi pada kenyataan sekarang ini, yakni munculnya aneka kegaduhan dan keriuhan, baik di rumah, di jalan, di gedung parlemen maupun dalam kehidupan keseharian masyarat luas.
Prosesi nemu gelang ini, tambahnya, kaya akan spirit kebersamaan yang memang selama ini oleh Erawan dijaga dan dirawat dalam bentuk persahabatan dengan para Penyair.
Penyair Tan Lioe Ie, menyambut antusias pertunjukkan ini karena melahirkan kemungkinan tak terduga di dalam proses maupun moment pagelarannya. Kekuatan bunyi, rupa dan kata akan memperkaya dinamika yang akan terjadi. “Dalam kespontanan ini kami masing-masing memang dengan sendirinya harus mampu menakar dan mengukur agar tetap terjadi kepaduan yang utuh,“ tambahnya.
Bertindak sebagai penata musik dalam pertunjukkan ini adalah Nyoman Erawan, sementara penata suara dan cahaya dipercayakan kepada Anak Agung Anom dan tim Antida Sound Garden. [b]