Oleh Sugi Lanus
Saya tidak percaya ritual. Saya tidak merasa perlu ikut ritual.
Saya merasa tak perlu lagi mengikuti persembahyangan bersama. Tapi nyatanya, saya masih mengikuti ritual.
Kalau saya tidak ikut persembahyangan bersama dan ritual keagamaan, saya merasa tidak enak pada orang-orang sekitar.
Cerita sahabat tersebut banyak persamaannya dengan pengakuan beberapa sahabat atau kenalan lainnya. Pulau Bali, tempat saya dilahirkan ini, adalah pulau beribu ritual. Pertanyaannya: Kenapa sahabat-sahabat saya tidak menggugat ritual? Kenapa belum ada teman yang saya dengar berani memboikot ritual-ritual itu?
Dalam suku-suku atau kelompok masyarakat yang mempraktikkan ritual, menolak ritual atau memboikot ritual adalah sama dengan mencederai agama dan komunitas. Kekuatan ritual terletak pada kolektivitasnya. Pada kolektivitas ini pula ritual melekat dan sulit ditolak oleh individu yang tak lagi merasa memerlukannya.
Emile Durkheim, sosiolog kontemporer agama, mengatakan bahwa kepercayaan dan ritual adalah dua komponen yang paling penting dari agama. Durkheim menyatakan bahwa setiap agama terdiri dari konsepsi intelektual dan praktik ritual, keyakinan dan ritual (1954, hal. 121).
Durkheim menjelaskan bahwa dalam ritual keagamaan, anggota komunitas datang untuk berjumpa dan mengenali kekuatan komunal mereka, menciptakan suasana khusus, yang ia sebut sebagai “collective effervescence” (buih kolektif).
Kekuatan gelembung kolektif sangat penting dalam produksi solidaritas sosial.
Sahabat saya di atas telah mengikuti ritual bukan karena percaya, tapi karena solidaritas “tidak enak dengan orang-orang sekitar”. Ia mengikuti ritual sebagai wujud pengorbanannya pada komunitas. Di sini kita melihat bagaimana ritual secara sosial bermakna sebagai demonstrasi solidaritas sosial karena melampaui keyakinan pribadi individu-individu yang tidak lagi percaya pada ritual tersebut.
Untuk menjadi bermakna sosial, ritual tidak harus memiliki arti simbolik atau filsafat dan seterusnya, tidak harus diyakini sepenuhnya oleh mereka yang menjalankannya. Yang pertama-tama membuat sebuah ritual besar bisa dilangsungkan, bukan terletak pada kekuatan magis atau makna-makna filosofis yang diungkapkan dalam kehadiran sebuah ritual, tapi terletak pada solidaritas individu-individu yang mendukungnya.
Terlepas dari apakah mereka percaya pada ritual yang mereka selenggarakan, sepanjang mereka memiliki solidaritas, memiliki dan mengetahui tatacara, urutan, sarana, dan segala kebutuhan sebuah ritual, maka sebuah ritual bisa diselenggarakan.
Pelaku-pelaku ritual tidak perlu berbagi keyakinan umum untuk membuat sebuah ritual berhasil. Sebuah ritual dijalankan bukan terlebih dahulu harus dipahami maknanya secara aklamasi oleh semua anggota, tapi cukup dengan sebuah kesepakatan untuk menjalankan secara bersama prosesinya maka ritual bisa terselenggara.
Dengan demikian, efek yang dihasilkan bukan sebuah integrasi keyakinan, namun sebuah integrasi sosial. Ritual lebih nyata menghasilkan kohesi dan ekstasi sosial sebagai berkah dari kemampuan sebuah kelompok dalam menghasilkan sebuah karya bersama dibandingkan pengalaman magis bersama yang merata.
Barangkali bukan hanya sahabat di atas tadi yang ragu akan magis sebuah ritual? Jangan-jangan para pemimpin ritual-ritual itu pun ragu? Sekalipun demikian, ritual tetap punya posisi penting diselenggarakan dalam kehidupan penganut agama atau keyakinan tertentu.
Durkheim berpendapat bahwa:
“Tidak akan ada masyarakat yang tidak merasakan keperluan mempertahankan dan menegaskan kembali secara rutin di internal mereka sentimen kolektif dan ide-ide kolektif yang membuat kesatuan dan kepribadian mereka. Sekarang pembentukan kembali moral tidak dapat dicapai kecuali dengan sarana reuni, majelis dan pertemuan di mana individu, bersatu erat satu sama lain, menegaskan kembali kesamaan sentimen bersama mereka (…).” (1954, hlm. 474-475)
Ritual menjadi sarana reuni, majelis dan pertemuan di mana individu, bersatu erat satu sama lain, menegaskan kembali kesamaan sentimen bersama mereka. Jika sebuah ritual mampu menghasilkan ekstasi bersama, maka ritual tersebut bisa menjadi sarana untuk dalam perumusan dan penegasan kembali keyakinan pemeluknya. Ritual seperti ini menjadi ruang untuk perumusan (kembali) keyakinan kolektif. Ritual menjadi afirmasi sebuah keyakinan.
Dalam kasus sahabat di atas, sekalipun ia tidak percaya, kesertaannya yang setengah terpaksa adalah bagian dari sebuah ritual. Kekuatan gelembung kolektif sebuah ritual menghayutkannya dalam proses reproduksi solidaritas sosial.
Kerinduan pada Yang Kudus
“Ritual ini sudah dijalankan secara turun-temurun. Jika saya tidak melakukannya, saya merasa ada sesuatu yang tak lengkap. Dengan bergabung dalam melaksanakan ritual saya merasa tenang. Ini sebuah campuran perasaan wajib melanjutkan sebuah tradisi dan kerinduan akan pengalaman magis itu.”
Pengakuan sahabat satu ini sungguh berbeda dengan teman di atas tadi. Ia melihat ritual sebagai tempat menumpahkan kerinduannya pada Yang Kudus.
Max Weber dan murid-muridnya cenderung menekankan gagasan bahwa anggota kelompok agama berbagi kebutuhan manusia akan keyakinan metafisik: yaitu untuk mendapat makna interpretasi dari realitas.
Pengakuan teman yang mengatakan bahwa ia “merasa ada sesuatu yang tak lengkap” jika ia tidak terlibat dalam ritual mengkin terkait dengan kebutuhan bawah sadarnya untuk memberi makna pada kehidupan secara batiniah. Ritual muncul karena manusia butuh makna dan interpretasi batiniah atas apa yang dilihat dan dialaminya dalam kehidupannya.
Dari pandangan Weberian ini muncul analisis bahwa para orang suci, rsi, nabi, filsuf, dan cendekiawan membuat pedoman dalam interpretasi yang dapat diadopsi pengikutnya. Para pengikut yang mumpuni atau para pemimpin suku atau para pemangku, mensistematisasi dan mengkonsolidasikan sebuah kredo dan wawasan, dan menginterpretasinya ke dalam sebuah ritual keagamaan, sehingga para pemeluk kepercayaan berkesempatan terlibat dalam pemaknaan yang teaterikal tersebut. Dari sinilah ritual salah satunya berawal.
Dalam pandangan Weberian, para penganut kepercayaan atau agama menggunakan simbol-simbol dalam ritual keagamaan untuk “menstabilkan” makna bersama realitas (sinnhafte Deutung der Wirklichkeit). Weber mencatat bahwa ritual dikendalikan, ritual merupakan prosedur/aturan yang berorientasi pada keuntungan yang diraih dalam aktivitas yang ditujukan pada kekudusan.
Keyakinan terhadap ritual dapat menghasilkan hasil yang praktis dan bisa diamati, dalam penilaian Weber, membantu penganutnya sukses dalam menjalani kehidupan.
Melalui ritual – dengan perasaan bahwa ada makna yang stabil tersebut – penganut agama atau kepercayaan merasa “ditenangkan” dalam menghadapi ketidaktentuan hidup, mereka merasa punya jalan atau formula dalam hal bagaimana mereka harus bersikap dan bertindak dalam ketidakpastian hidup, godaan, kemalangan, ketimpangan, sakit, rasa bersalah, dan kematian (Weber 1958; 1963; 1980).
Sahabat yang menjadikan ritual sebagai tempat menumpahkan kerinduannya pada Yang Kudus itu, senantiasa ceria dan bergembira dalam menjalani ritual yang mungkin bagi orang lain adalah sebuah beban. Ia rela membayar mahal sebuah ritual. Ia rela berinvestasi waktu untuk keterlibatannya dalam sebuah prosesi panjang dan melelahkan dalam sebuah ritual. Ritual baginya memang terlihat sebagai beban, namun ia melihat dan menyadari, bahwa di dalam ritual terkandung “janji” dan “kekuatan” yang justru akan membebaskan berbagai beban mental yang sering menjadi sandungan hidupnya.
Setiap ritual, pada umumnya, bukan hanya mengandung “babak dan cerita”, namun melekat di dalamnya masa silam dan terikat dalam sebuah “rantai silsilah” umat manusia. Karena ia mengandung “rantai silsilah” umat manusia, maka ia meminta kita melanjutkannya sebagai tradisi. Ia pun masuk dalam kalender ritual yang dicatat dalam kalender suku atau agama tertentu.
Karena mengandung “babak dan cerita”, setiap ritual adalah “pementasan”. Sebagai pementasan, setiap ritual narasinya secara berulang dipentaskan oleh para leluhur dan orang-orang sebelum kita dilahirkan. Hanya ritual bayar kaul yang tidak dipentaskan berulang, kecuali memang dikehendaki atau terjadi kesalahan sehingga menuntut pengulangan ritual.
Ritual yang bersifat kaul, atau ritual yang “sporadic”, tidak masuk dalam kalender sebuah suku atau agama tertentu, sekalipun penyelengaraannya mempertimbangkan baik-buruk hari berdasar pertimbangan kalender tertentu.
Karena ritual peka dalam menimbang unsur estetika, ia tumbuh menjadi semacam teater kaya warna dan memancing bertumbuhnya simbol-simbol atau pralambang. Bagi pemeluk keyakinan atau agama, jika sebuah ritual dijalani sebagai pementasan atau teater, ritual menjelma menjadi kesempatan untuk menumpahkan luapan perasaan estetik. Ritual menjadi ruang pemanggungan dan akan memancing pemeluknya untuk mengeluarkan kecerdasan estetik dan kecerdasan visualisasi mereka.
Gabungan keyakinan mitis, gaib dan kesadaran teater ini berpotensi melahirkan kejutan-kejutan visual dan teaterikal dalam sebuah ritual.
Kehadiran unsur estetik dan teaterikal dalam sebuah ritual membuka kesempatan bagi kita keluar dari hidup yang monoton. Bagi mereka yang peka akan unsur estetik dan teaterikal sebuah ritual, apalagi ia meyakini ritual sebuah perjalanan spiritual, sebuah ritual akan mengantarkannya pada katarsis dan loncatan kemeriahan di dalam diri yang sulit ditemukan di luar prosesi ritual. [b]
Catatan
Tulisan ini merupakan pengantar Pameran Foto: RITUAL. Pameran ini diikuti empat fotografer muda Bali yaitu Anggara Mahendra, Jeje Prima Wardani, Johannes P. Christo dan Syafiudin Vifick. Pameran diadakan di Danes Art Veranda Denpasar pada 19-25 Agustus 2014. Tulisan diedit judul dan isinya untuk keperluan di blog ini.
Artikel yang sangat keren, Bli
Tulisan cakep, Sugi. Saya setuju ritual dimaknai sebagai demonstrasi solidaritas sosial, setidaknya bagi yang mengogahinya. Perkara kualitas relasi tiap individu menuju Yang Kudus, itu soal lain, mustahil ditakar melalui standar, seberapa khusyuk misalnya sebuah prosesi ritual berlangsung. Ritual mungkin hanya semacam variasi jalan menuju apa yang kita semua tuju. Salam.