Pariwisata Bali sedang mengalami tantangan akibat erupsi.
Pulau ini menggantungkan ekonomi pada pariwisata. Sektor ini merupakan industri terbesar di Bali sekaligus komponen utama kemakmuran ekonomi hampir seluruh bagian masyarakat Bali.
Namun, sektor ini sangat terdampak setelah Gunung Agung mengalami erupsi.
Salah satunya karena penurunan kunjungan wisatawan, terutama wisatawan mancanegara. Kondisi ini akibat adanya larangan berkunjung, penutupan bandara internasional I Gusti Ngurah Rai, dan tentunya persepsi risiko yang timbul akibat erupsi Gunung Agung maupun informasi tentang itu.
Risiko dan pariwisata sangat terkait. Keputusan untuk melakukan perjalanan itu sendiri melibatkan risiko. Risiko bepergian ke tempat yang tidak dikenal, ketidakpastian kondisi masa depan, dan kemungkinan hasil negatif dari keputusan terkait perjalanan.
Tujuan mendasar industri pariwisata adalah memuaskan kebutuhan dan permintaan konsumen. Oleh karena itu para wisatawan memainkan peran penting dalam pemasaran dan keseluruhan rantai nilai pariwisata di Bali. Memahami persepsi risiko dari perspektif wisatawan yang akan ke Bali sangat berharga dan dapat mendukung strategi manajemen krisis untuk membantu mempertahankan kepercayaan wisatawan dan industri perjalanan, serta meminimalkan dampak risiko di Bali.
Fitur utama dari bencana alam erupsi Gunung Agung itu khas. Misalnya jumlah pengungsian yang besar, radius area terlarang, tempat-tempat wisata yang dilarang, keterpaparan media, durasi yang lama, dan kejutan psikologis yang besar. Hal ini membuat kompleksitas persepsi risiko dan pemahaman risiko dari wisatawan yang beragam.
Oleh karena itu, memahami persepsi risiko wisatawan terhadap status Bali dan status Gunung Agung sangat penting untuk pembentukan strategi pengelolaan krisis serta pemulihan pemasaran pariwisata.
Persepsi risiko didefinisikan sebagai penilaian kognitif yang mempengaruhi perilaku wisatawan. Dengan kata lain, persepsi risiko wisatawan dipengaruhi secara signifikan oleh kejadian saat membeli atau mengonsumsi produk wisata, atau persepsi tentang suatu tujuan wisata. Oleh karena itu, pemerintah dan pemangku kepentingan perlu untuk menguji dimensi persepsi risiko wisata Bali terhadap bencana Gunung Agung. Kemudian, penilaiannya bisa dimanfaatkan pada dua aspek.
Pertama, untuk memahami mekanisme psikologis wisatawan setelah mengetahui daya tarik wisata Bali yang mengalami bencana erupsi Gunung Agung dengan mengukur dimensi persepsi risiko wisatawan. Kedua, dapat menyediakan saran komprehensif dan konstruktif bagi pemerintah dan praktisi bisnis untuk meningkatkan kemauan wisatawan untuk bepergian dan memulihkan pasar pariwisata berdasarkan analisis persepsi risiko wisatawan.
Berdasarkan beberapa hasil penelitian, terdapat delapan faktor yang mengukur persepsi risiko wisatawan yaitu, risiko sosial, risiko kesehatan, risiko fasilitas, risiko kriminal, risiko etika, risiko psikologis, risiko keuangan dan risiko kepuasan. Risiko kepuasan dan risiko sosial menjadi faktor persepsi risiko yang paling penting terhadap bencana alam. Faktor-faktor ini yang perlu menjadi perhatian dalam menarik kembali wisatawan untuk berkunjung ke Bali. Dan salah satu strategi untuk memperbaiki persepsi risiko wisatawan adalah melalui teknik marketing persuasif.
Salah satu contoh marketing persuasif dilakukan Amerika Serikat ketika terjadi penurunan pariwisata setelah kejadian teroris 11 September. Travel Industry Association of America (TIA) memulai kampanye persuasif. Salah satu bagian dari kampanye ini adalah Presiden AS saat itu tampil dalam iklan-iklan yang mendorong warga Amerika Serikat untuk melanjutkan perjalanan di negara AS.
Perjalanan-perjalanan ini dikonstruksikan sebagai tugas patriotik dan rasa cinta tanah air warga negara. Iklan ini ditayangkan berminggu-minggu di AS. Tema patriotik mungkin cocok pada kondisi saat itu. Dan untuk Bali, perlu marketing dengan tema-tema khusus yang bisa jadi berbeda untuk wilayah tujuan. Tema marketing untuk wisatawan domestik berbeda dengan wisatawan asing. Tentu berbeda pula untuk setiap negara tujuan dan bisa menampilkan tokoh publik atau orang terkenal negara tersebut.
Selain itu, pemerintah dan pelaku industri pariwisata harus menjamin bahwa layanan-layanan jasa pariwisata yang mereka tawarkan tetap pada standar tinggi dan akan menambah pelayanan khusus terkait kebencanaan, khususnya terkait erupsi Gunung Agung jika terjadi perubahan situasi mendadak. Saat ini marketing yang dilakukan oleh pelaku industri pariwisata Bali tidak bisa hanya untuk mempromosikan jasa mereka saja, tetapi juga tentang posisi Gunung Agung di Bali dan layanan umum pemerintah terkait kesiapsiagaan pariwata Bali.
Teknik pemasaran, termasuk periklanan, hubungan masyarakat dan organisasi agen perjalanan perlu memberikan informasi yang akurat kepada wisatawan dan calon wisatawan. Hal ini untuk menghindari desas-desus dan memperbaiki kesalahan informasi dan persepsi yang dipegang wisatawan tentang Bali dan akan membantu pemulihan tujuan wisata Bali.
Pemerintah dan pelaku pariwisata tidak perlu menutupi informasi khususnya informasi ilmiah terkait Gunung Agung, apalagi meminta untuk menurunkan status Gunung Agung. Informasi ilmiah justru perlu dijadikan landasan untuk memberi kenyamanan bahwa pemerintah melakukan tindakan penanganan berdasarkan informasi ilmiah. Ketidakjelasan informasi dan promosi yang seperti memaksa turis datang tidak memberikan rasa nyaman pada wisatawan.
Beberapa hasil penelitian juga menunjukkan bahwa pengalaman perjalanan menjadi faktor yang berpengaruh pada keinginan untuk melakukan perjalanan. Pengalaman perjalanan masa lalu akan mengurangi persepsi risiko wisatawan. Pengalaman perjalanan sebelumnya dapat meningkatkan perasaan aman wisatawan.
Iklan dan promosi untuk saat ini perlu mengingatkan akan pengalaman-pengalaman terdahulu, khususnya untuk negara-negara yang menjadi penyumbang terbesar wisatawan asing ke Bali. Kemudian pelaku industri pariwisata dapat membangun aktivitas baru wisata terkait dengan erupsi Gunung Agung karena rasa ingin tahu mendorong peningkatan motivasi perjalanan.
Memahami dimensi persepsi risiko wisata adalah landasan dari perilaku turis dalam kondisi bencana alam. Hubungan antara persepsi risiko, citra Pulau Bali, keakraban dengan wilayah Bali dan niat wisatawan dapat mengungkapkan mekanisme psikologis para wisatawan saat ia melakukan perjalanan ke daerah bencana. Dan memahami persepsi risiko wisatawan sangat membantu untuk membangun kembali citra tujuan serta pemulihan pasar wisatawan. Lebih lanjut juga membantu mempertahankan kepercayaan wisatawan dan agen-industri perjalanan, dan untuk meminimalkan dampak krisis di Pulau Bali. [b]