Sebanyak 64 persen responden menjawab tidak setuju terhadap reklamasi Teluk Benoa. Hanya 9 persen responden yang setuju dan 27 persen yang tidak memberikan tanggapan mereka.
Isu rencana reklamasi Teluk Benoa masih bergulir panas. Pro dan kontra masih mewarnai opini publik.
Sebagai akademisi, Kadek Dwita Apriani S.Sos, MIP mengambil peran. Peneliti yang juga Dosen FISIP Unud ini melakukan penelitian kuantitatif dengan metode multistage random sampling kepada 430 orang responden di Kabupaten Badung.
“Riset ini untuk menghadirkan cermin bagi kita semua terhadap bagaimana respon publik terkait reklamasi,” ujarnya saat acara diskusi publik Selasa kemarin.
Diskusi publik bertajuk Telisik Publik terhadap Rencana Reklamasi Teluk Benoa turut menghadirkan para akademisi lain yaitu Made Anom Wiranata, S.IP, MA dan Prof. Dr. A.A Ngurah Anom Kumbara, M.S.
Survei publik terkait isu reklamasi Teluk Benoa dilakukan Dwita dan timnya pada September 2014 lalu. Dengan menggunakan studi kuantitatif, mereka mengukur seberapa banyak yang pernah mendengar dan mengetahui soal rencana reklamasi Teluk Benoa.
“Karena menggunakan metode kuantitatif tidak ditanyakan alasan responden setuju ataupun tidak dengan reklamasi. Berbeda jika menggunakan metode kualitatif,” jelasnya.
Hasil Survei
Responden survei tersebar secara proporsional di 35 desa/kelurahan di Kabupaten Badung. Hasilnya, sebanyak 79 persen responden pernah mendengar isu reklamasi. Sementara 17 persen tidak pernah mendengar isu reklamasi dan 4 persen tidak menjawab.
Sumber utama terkait informasi sosial dan politik termasuk isu reklamasi, publik mengaku televisi sebagai sumber informasi yang paling besar. Ditunjukkan dengan prosentase 76,3 persen responden mengaku memperoleh informasi melalui televisi. Sedangkan obrolan dengan komunitas, koran, media online, sosial media, spanduk atau baliho, radio dan ceramah tokoh-tokoh politik menjadi sumber informasi lainnya.
Masalah reklamasi Teluk Benoa sepertinya belum menjadi masalah utama responden di Kabupaten Badung. Mahalnya harga kebutuhan pokok menjadi masalah utama yang dirasakan oleh 18,6 persen responden. Sementara posisi kedua masalah adalah sulitnya mencari lapangan pekerjaan (14,9 persen) dan ketimpangan Badung Utara dan Selatan (11,9 persen).
Ketika ditanya soal tanggapan terhadap isu reklamasi Teluk Benoa, 64 persen responden menjawab tidak setuju terhadap reklamasi Teluk Benoa. Hanya 9 persen responden yang setuju dan 27 persen yang tidak memberikan tanggapan mereka.
Demokrasi
Menurut Anom Wiranata, pro dan kontra merupakan hal yang biasa dalam demokrasi. “Yang menjadi soal kemudian bagaimana demokrasi menyelesaikan polemik pro dan kontra,” ungkapnya.
Anom memaparkan dua jenis model demokrasi yaitu model elitis dan model demokrasi deliberatif.
Isu rencana reklamasi semakin menyedot perhatian publik ketika Perpres No. 45 Tahun 2011 tentang Daerah Tanjung Benoa yang menjadi Kawasan Konservasi kemudian diubah oleh pembuat kebijakan dalam Perpres No. 51 Tahun 2014 yang menjadikan payung hukum Daerah Tanjung Benoa sah untuk direklamasi.
Menurut Anom, dalam model elitis, kebijakan dibuat oleh para pembuat kebijakan. Model ini membuat konsep partisipasi publik untuk stempel legitimasi. Bagaimana kemudian hak masyarakat dalam kontrol publik dan kesetaraan dalam public reasoning.
“Publik mengeluarkan akal sehat bukan akal yang dipaksakan,” jelas Anom Wiranata.
Dalam model demokrasi deliberatif, Anom menjelaskan bukan berarti semua orang sepakat. Melainkan ada argumen dari masyarakat sebagai bentuk partisipasi publik dalam demokrasi.
Partisipasi masyarakat dalam konteks membangun dari desa pernah dituliskan oleh David Korten. Korten menuliskan pemikiran pembangunan yang berpusat kepada rakyat yang merupakan perintis awal. Dan membongkar developmentalisme dan sentralisme di tahun 1970an, sekaligus mempromosikan cara pandang baru yang berpihak kepada masyarakat lokal.
Pilihan pendekatan pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi menurut Korten dalam bukunya yang berjudul Community Management, bukan saja telah mengakibatkan berbagai bentuk ketimpangan sosial tetapi juga secara sistematis telah mematikan inisiatif masyarakat lokal untuk memecahkan masalah-masalan yang mereka hadapi.
Menurut Prof. Dr. A.A Ngurah Anom Kumbara, M.S yang juga hadir sebagai pembicara, terdapat perbedaan paradigma pembangunan dari kelompok organis dan kelompok intelektual. Pembangunan di Bali saat ini tak mengarah pada kaum marjinal. Seharusnya pembangunan yang berpihak dan melibatkan semua masyarakat.
“Pengembangan pariwisata Bali yang berkualitas. Dulu pariwisata budaya dan sekarang budaya pariwisata,” paparnya.
Menarik
Studi dilakukan di Kabupaten Badung karena rencana lokasi reklamasi adalah di Teluk Benoa. Selain itu pusat pariwisata Bali selama ini seakan didesak berada di Badung Selatan. Ketika tahun 1978, kawasan BTDC Nusa Dua dibangun sebagai pusat dari pariwisata Bali. Rencana reklamasi pun akan dilakukan di Badung bagian selatan.
Pembangunan pariwisata kian menjadi rima berulang seperti 36 tahun jika reklamasi dilaksanakan. Tentu saja mengesankan pembangunan pariwisata yang tidak berimbang dan condong di wilayah selatan Bali yang sudah semakin masif akan pembangunan.
Penelitian Kadek Dwita pun menemukan fakta menarik. Daya kritis pemuda Bali meningkat. Dibuktikan dengan 76,6 persen responden tidak setuju terhadap reklamasi walaupun lapangan kerja juga menjadi masalah utama di Kabupaten Badung. Lapangan kerja baru yang digadang akan tersedia dengan adanya reklamasi tidak lantas membuat pilihan responden dalam memandang perlunya reklamasi Teluk Benoa.
Menurut Prof. Anom, salah satu alternatif yang dapat dilakukan adalah pengembangan wilayah timur dan utara Pulau Bali. Selain itu menurutnya dalam persoalan argumentasi, tidak ada kebenaran yang mutlak.
“Yang ada hanya rasionalisasi,” ujarnya.
Kadek Dwita pun tidak menampik jika ada studi tandingan terhadap penelitian yang dilakukannya. Sah saja jika dengan cara yang sama. Namun harus jujur dipaparkan siapa responden, metodologi dan hasilnya. Selain itu peneliti harus bebas nilai.
“Tugas kami sebagai akademisi adalah ibarat pendeta yang memberi pencerahan,” tegasnya.
“Kenapa harus takut jika benar. Penelitian ini sebagai cermin untuk kita semua agar wcana publik tetap hidup,” tegasnya. [b]