Selama tiga hari, 1.145 layang-layang menghiasi langit Padanggalak, Denpasar.
Ribuan layang-layang itu beradu sekaligus berbagi kegembiraan selama Festival Layang-Layang Bali 2011 pada Jumat sampai Minggu lalu. Tahun ini, Festival yang sudah berlangsung sejak 1978 ini, memasuki tahun ke-33. Lokasi penyelenggaraannya pun masih sama, di sisi barat Pantai Padanggalak, di sisi timur pantai Denpasar. Kegiatan ini diadakan oleh Persatuan Layang-Layang Indonesia (Pelangi) Bali.
Festival kali ini sama dengan tahun sebelumnya, tanpa peserta dari internasional. Mereka tidak bisa mengikuti karena keterbatasan biaya karena di setiap festival, panitia harus menanggung akomodasi pelayang dari luar negeri.
Menurut Si Nyoman Adnyana, Ketua II Bidang Perlombaan, tahun ini Pelangi Bali akan memberikan sebuah penghargaan bagi beberapa undangi, sebutan bagi tukang layangan, yang dianggap sebagai pionir dan tetap konsisten menurunkan serta melestarikan tradisi serta berbagi ilmu dalam teknik membuat dan menerbangan layangan.
Si Nyoman Adnyana juga menambahkan Layangan Bali Tahun 2010 mendapat penghargaan The Best Tradisional Kites di festival layang internasional di Perancis. Secara turun temurun, layangan memang jadi bagian dari kehidupan masyarakat Bali. Tiap layangan juga punya filosofi tersendiri.
Layangan Bali dikenal dengan 3 jenis tradisional. Pertama, bebean, yaitu layangan yang menyimbulkan ikan sebagai sumber kemakmuran. Kedua, pecukan. Layangan ini dikenal unik karena hanya 2 sisi. Perlu keahlian khusus dalam membuat dan menerbangkannya. Layangan jenis juga melambangkan sisi baik dan buruk ataupun siang dan malam yang dikenal dalam konsep Rwa Bhineda.
Jenis ketiga adalah janggan. Dia melambangkan naga yang panjang ekornya mencapai 200 meter bahkan lebih. Jenis ini merupakan simbol Naga Basuki dan Bedawang Nala yang menjaga keseimbangan jagat semesta.
Di samping layangan tradisional tersebut, Bali juga mempunyai layangan kreasi. Layangan ini merupakan bentuk kreasi dan kreativitas dari para rare angon, sebutan pelayang, dan undanginya menciptakan kreasi. Hal ini membuktikan bahwa masyarakat Bali akan terus berkreasi dengan filosofi budaya dan agamanya.
Festival Layangan Tradisional Bali tahun ini juga tidak melombakan Sunari dan Pinjekan (baling-baling). Hal ini karena sudah mulai berkurangnya jumlah peserta lomba.
Sebagi catatan, berikut jumlah total peserta layangan yang akan turut dalam festival layangan tahun ini. Untuk kategori anak-anak pada 29 Juli 2011 adalah Bebean 18, Janggan 6, Pecukan 2. Total 26. Pada 30 Juli 2011 Bebean 21, Janggan 8, Pecukan 18. Total 47. Pada 31 Juli 2011 Bebean 61, Janggan 26, Pecukan 21. Total 108.
Adapun untuk Kategori Dewasa pada 29 Juli 2011 Bebean 199, Janggan 16, Pecukan 84, Kreasi 7. Total 306. Pada 30 Juli 2011 Bebean 170, Janggan 22, Pecukan 90, Kreasi 17. Total 299. Dan, pada 31 Juli 2011 Bebean 205, Janggan 41, Pecukan 88, Kreasi 49. Total 359. Jadi, total seluruh layangan yang dipertandingkan selama tiga hari tersebut adalah 1.145.
Bongkar pasang
Seperti tahun-tahun sebelumnya, Festival Layang-layang adalah tempat di mana para undagi, rare angon, penonton, dan siapa pun untuk berbagi kegembiraan. Ini tak hanya soal perlombaan tapi juga bersenang-senang.
Satu kelompok (sekeha) layangan akan penuh antusias membawa layangan dari banjarnya menuju Padanggalak. Mereka menaikkan layangan ke truk atau pick up dengan puluhan motor mengiringinya sepanjang jalan. Sebagian besar membawa layangan ini dengan terbit dan tidak berlebihan. Namun, ada pula peserta yang bagi sebagian orang malah mengganggu keterbitan di jalan.
Menyinggung adanya beberapa keluhan masyarakat tentang beberapa peserta yang terkesan arogan dalam membawa layangan ke arena pertandingan, Nyoman Adnyana mengatakan panitia sudah sering mengimbau kepada seluruh peserta untuk tetap tertib demi kepentingan bersama. Namu, kembali lagi, sikap arogan itulah hanya oknum tanpa bermaksud untuk menyinggung perasaan pengguna jalan lainnya.
Sebagai antisipasi agar tidak mengganggu pengguna jalan lain, sebagian undagi mulai membuat layangan dengan sistem knock down (bongkar pasang). Jadi lebih efisisen dan tidak begitu membuat jalan macet. Ya, kalo main layangan dan bawa layangan bikin macet sama aja kalau suporter bola toh juga bikin macet juga.
Mari kembali ke diri sendiri. Kita harus instropeksi diri untuk semangat menyama braya. [b]
Tulisan diolah dari blog Chris Budhi.
melihat foto”nya di halaman FB, keren banget layang”nya. saya malah gag sempat main ke lokasi secara langsung. Tapi ngomong”arogansi para rare angon yang melintas di jalan raya, tak hanya yang di Dewi Sartika saja, dua rombongan yang melintas di jalan Gatot Subroto Barat hari Minggu pagi juga masih sama kelakuannya. tapi yah, cuma bisa memaklumi saja. Wong pas waktu muda, tabiat saya juga sama kok. 🙂
Betul bli pande.. darah muda yang cenderung begitu, tapi kalo sudah undagi, pengelingsir hadir mengawal mereka pasti itu bisa di mimalkan.
karena tiga hari kemarin tak bisa ke sana, maka tulisan ini bisa mengobati meski tetap lebih baik lagi kalo bisa menikmati langsung di padang galak. btw, tulisannya ciamik. mantab.
nah, soal perilaku anak2 yg arogan itu, beberapa kali aku ketemu hal serupa. untungnya kemarin pas ke blahbatuh malah ketemu sekeha layangan yg sopan banget pas di jalan. tak ada trek2an. tidak juga buru2. santai sekali. jadi senang melihatnya. menurutku harusnya begitu semua sekeha layangan.
layang2nya sih bagus2..tapi klo yg bawa arogan2 gtu, jadi males…
kmren smpat liat sekehe layangan bawa layangan knockdown di seputaran hayam wuruk, tapi tabiatnya masih greenggrengtintintin.. -____-
Sudah 33 kali diadakan festival layang-layang, semenjak tahun 1978, atas prakarsa mantan Gubernur Bali dan sekaligus seorang Budayawan, yaitu Bapak I.B Mantra. Seorang Gubernur, yang sangat memahami tradisi dan Budaya Bali.
33 tahun sudah umur festival ini, namun animo dan antusiasme masyarakat Bali, tidak pernah surut untuk meramaikan festival ini. Ini menunjukkan bahwa masyarakat Bali, sangat mencitai dan menghormati tradisi dan budaya yang bernafaskan agama Hindu, yang diwarisi oleh para leluhur. Tradisi dan budaya ini akan tetap ada, selama masyarakat Bali tetap/masih beragama Hindu.
Bermain layang-layang, berarti belajar sambil bermain, diantaranya: berlajar bekerja dalam tim untuk mencapai tujuan, belajar beradaptasi, belajar mengendalikan emosi, menghilangkan sifat egoisme, mengasah kreativitas.
Memang, pada saat-saat tertentu, para pengguna jalan raya, merasa terganggu oleh ulah rombongan yang membawa layangannya ke arena, apakah untuk dicoba/dijajal, dilombakan.
Beberapa oknum dalam rombongan tersebut, sering memperlihatkan arogansinya, seperti menggeber knalpot motor keras-keras, mengacung-acungkan bendera, melanggar lalu lintas, berlaku tidak sopan di jalan raya. Oknum ini, sejatinya adalah orang-orang yang bukan pencinta layangan, tidak bisa membuat layangan, bahkan tidak pernah menaikan layangan. Mereka hanya memanfaatkan momen tersebut untuk acting, ugal-ugalan, seakan-akan mereka orang paling berani dalam rombongan itu. Oknum inilah yang sangat merugikan dan merusak image para pencita layangan.
Jika anda memang pecinta layangan, berlakulah sopan, simpatik saat membawa layangan ke arena, sehingga akan memunculkan rasa hormat, dan simpati dari masyarakat.