Budaya Bali akan mengalami perubahan sangat cepat, secepat perubahan alat-alat komunikasi yang semakin berteknologi tinggi dan semakin mempersempit jarak bumi.
Logika teknologis berdasarkan rasionalitas akan mendominasi manusia Bali sehingga segala hal yang bertentangan dengan rasionalitas akan melenyap. Banyak ritual adat keagamaan di Bali akan mengalami penyederhanaan baik secara organisasi penyelenggaraannya maupun prosesinya. Tidak ada lagi ngayah di Bale Banjar, pura atau di desa adat karena semuanya akan dilakukan oleh event organizer (EO) profesional yang merupakan divisi bisnis dari organisasi adat baik Banjar maupun Desa Pekraman.
Kapan hal ini akan terjadi? Jawabannya adalah ketika tiba masa di mana generasi digital akan menjadi pemegang kuasa wacana publik di tanah Bali.
Siapa generasi digital itu? Mereka adalah yang lahir dan dibesarkan dalam masa revolusi teknologi komunikasi. Generasi Digital adalah mereka yang dibesarkan dengan segala kemudahan teknologi komunikasi terutama internet, handphone atau smartphone. Generasi Digital adalah generasi yang tunduk secara hegemonik pada rasionalitas teknologis yang berubah dengan cara-cara revolusioner. Generasi Digital adalah mereka yang kehidupan sosiokulturalnya sangat teknologis deterministik dan rasionalitasnya sangat instrumental.
Lebih murah
Masih jauhkah masa itu? Sepertinya tidak lama lagi. Saya memperkirakan kisaran 10 hingga 15 tahun lagi. Atau bahkan bisa jauh lebih cepat tergantung seberapa cepat alih atas kuasa wacana beralih dari generasi analog ke generasi digital.
Pemikiran atau gagasan tentang pengaruh teknologi atas pola pikir dan prilaku manusia sebenarnya sudah ada sejak lama. Martin Heideger adalah tokoh filsafat yang berpikiran teknologis deterministik. Lalu ada Herbert Marcuse yang terkenal dengan tesis “One Dimensional Man”.
Pengaruh teknologi dalam mengubah lansekap berpikir manusia bisa dilihat dari revolusi industri di Eropa. Kehidupan agraris berubah menjadi kehidupan yang modern. Para sosiolog menjadikan Revolusi Industri ini sebagai titik perubahan perkembangan masyarakat di dunia. Namun, sejak Revolusi Industri melanda, perkembangan teknologis lebih banyak kepada alat-alat produksi atau transportasi, itupun dalam tahap perkembangan yang bisa dikatakan cukup lambat.
Demikian pula dengan perkembangan teknologi komunikasi. Untuk menjadi mesin faks yang bisa dimanfaatkan secara luas oleh publik, diperlukan pengembangan hampir lebih dari 150 tahun sejak pertama kali ditemukan oleh Alexander Bain.
Tetapi dalam kurun waktu beberapa tahun belakangan perkembangan teknologi komunikasi internet, telepon seluler atau smartphone berlangsung luar biasa cepatnya. Belum sempat menikmati sebuah smartphone yang baru, sudah muncul varian lain yang lebih canggih dan yang paling penting lebih murah.
Cara berkomunikasi kita bagi para akademisi di bidang komunikasi dianggap ikut membentuk cara berprilaku dan berpikir kita. Dengan handphone atau smartphone pola pikir kita menjadi impulsif, random atau tidak berurutan. Kita bisa menyetir sambil menelpon, makan sambil BBM nan.
Dan dengan alat komunikasi mobile ini pula pikiran menjadi terpola untuk serba cepat dan serba instan tidak dengan cara-cara yang wajar melainkan dengan cara yang lebih cepat. Ketergantungan kita terhadap teknologi pun menjadi semakin besar. Teknologi sudah bukan lagi menjadi sarana melainkan tujuan. Inilah yang disebut oleh Jurgen Habermas sebagai rasionalitas instrumental.
Generasi Analog
Kalau sampai hari ini budaya Bali masih kuat dan perubahannya sangat lamban, itu tidak lepas dari masih kuatnya agen atau aktor yang berusaha terus menjaga tradisi Bali yang tidak mengadopsi rasionalitas. Para agen/aktor ini masih mendominasi kehidupan di masyarakat Bali. Mereka-mereka inilah yang kini masih memegang kuasa atas wacana publik di tanah Bali. Mereka berasal dari kelompok kelas menengah yang mapan secara ekonomi dan intelektual.
Mereka ada di birokrasi, menjadi leader (pemimpin) di organisasi formal dan non formal sampai unit terkecil masyarakat yakni keluarga. Usia kelompok ini 45 tahun ke atas. Mereka adalah orang-orang yang tidak banyak tersentuh dengan sistem teknologi digital karena itu kita sebut mereka generasi analog. Kalaupun memanfaatkan teknologi digital, itu setelah pikiran mereka lebih lama berada di zaman non digital/analog.
Meminjam gagasan dari teori Two Step Flow Communication, maka kita akan diberi perspektif bahwa komunikasi di masyarakat sebenarnya sangat tergantung dari apa yang disebut Opinion Leader atau mereka yang menguasai wacana. Sementara wacana (dikursus) publik dalam kajian budaya (cultural studies) dipandang sebagai bagian yang penting dalam pembentukan (konstruksi) budaya.
Jadi, ketika generasi yang berkuasa atas wacana adalah generasi yang tidak dibangun dalam rasionalitas instrumental ketat dan cepat, maka budayanya juga sulit melakukan revolusi menuju rasionalisasi.
Nah, ketika nantinya generasi-generasi digital yang rasionalitasnya teknologis dan instrumental berkuasa atas wacana, ketika mereka sudah berada di posisi opinion leader, maka saat itulah revolusi kebudayaan akan terjadi. Demikian pula dengan kebudayaan Bali, semua akan berubah cepat. Kekakuan, ketidakelastisan, dan sifat budaya yang tidak mendukung rasionalitas akan tergerus habis dengan sangat cepat (revolusioner).
Pola pikir yang tunduk secara teknologis berarti akan menjadikan manusia-manusia Bali manusia satu dimensi, di mana efektifvitas dan efisiensi menjadi hal utama. Yang tidak efesien, yang tidak efektif hanya akan ditinggalkan.
Kalaupun budaya itu masih dipakai karena bagian dari romantisme emosional dan spiritual, maka akan ada penyesuaian-penyesuaian. Di sinilah prinsip ekonomis akan muncul.
Dalam konteks budaya Bali yang berkelindan dengan agama Hindu, yang mungkin terjadi adalah pembentukan kelompok profesional penyelenggara ritual agama ataupun adat. Inilah yang akan menjadi semacam event organizer (EO), para professional yang akan membuat semua perlengkapan upacara, mulai dari persiapan sampai dengan pelaksanaan.
Siapa mereka?? Mereka adalah warga dari Banjar atau warga desa adat yang pekerjaannya memang menjadi penyelenggara ritual. Mereka tidak ngayah, tetapi mereka dibayar atas pekerjaan mereka tersebut. Jika mereka bisa mengerjakan semua ritual adat/agama dengan lebih murah dan efektif, maka EO ini akan menjadi pilihan yang logis. Jadi krama Banjar dan Desa Adat tak perlu lagi ngayah. [b]
jadi nanti akan ada paruman online, komunikasi antar warga lewat milis di yahoo atau google. hasil paruman dilaksanakan oleh kontraktor.
yg tak pikirken gimana kalo mau ngaben? apa pakai upacara ngaben online ?
hehehehehe
aha. great! menggerakkan ekonomi wilayah setempat!?
seperti dagang banten saat ini ya?
semoga skalian membinasakan fanatisme kasta.. \m/
@Mas Yos : Implementasinya tidak sesimple itu. Teknologi itu merubah cara berpikir/ paradigma berpikir manusia. Perubahannya tidak semata-mata bersifat teknis, melainkan lebih pada perspektif/cara pandang atas sebuah realitas. Misal dalam konteks paruman kemungkinan besar bisa seperti yang mas yos sampaikan. Tetapi kalau ngaben, mungkin tidak bisa online, karena disitu ada proses yang menyangkut persoalan material. Nah, nanti umat hindu di Bali akan mengadopsi cara-cara umat lain yang menggunakan jasa pemakaman atau kremasi jenazah yang selama ini sudah berjalan. Saya pikir itu kini gejala kearah sana sudah mulai nampak embrionya dari pembuatan krematorium yang dilakukan oleh soroh pasek (MGPSSR). Ini sudah masuk kepada rasionalitas instrumentalis, dimana proses sudah tidak lagi dipandang penting melainkan hasil lah yang penting. Yang penting jeazah bisa diupacarai, dikremasi dan di puput oleh pendeta yang diakui mewakili simbol-simbol keagamaan. Keguyuban akan diberi pemaknaan yang berbeda tidak lagi dalam konteks ngayah (hadir secara fisik), melainkan dimaknai dalam wujud yang lain yang bisa digantikan melalui pemberian materi (uang).
Jadi logika teknologis itu merubah cara-cara berpikir dan selanjutnya adalah cara-cara kita bertindak.
agaknya perubahan itu akan datang secara alamiah. seiring bergantinya generasi dg pola pikir baru. di banjar saya sudah banyak warga yg membeli banten saat melangsungkan karya/piodalan besar di merajan/sanggah.so, warga lain menerima dgn baik.menganggap itu hal yg lumrah. yg diambil adalah spiritnya, bukan kulit luarnya.oke, mereka tetap ngayah, tapi tdk perlu berlama-lama. mengingat kesibukan lainnya saat ini sdh padat banget. dulu mereka bisa saja menjalankan yadnya secara full, krn pola hidup homoge, yakni agraris. ritme mengolah waktunya msh sama. tapi sekarang, hidup begitu heterogen.sulit mencari waktu luang yg sama. so, harus disesuaikan dong adat dan budaya. kalau tak mau punah tergerus jaman.pilihan ada di tangan generasi saat ini.
Sukma, bila tiba saat berkuasanya generasi digital, perubahannya nanti tak lagi alamiah, tapi sangat cepat dan terjadi konstruksi2 baru yg berubah dalam hitungan waktu yg cepat. Mengapa bisa cepat??? Karena Rasionalitas instrumental dalam kultur teknologi yg berubah sangat cepat, mendorong manusia berpikir acak dan cepat. Ditangan Generasi Digital, Adat dan budaya Bali Bukan lagi ber-evolusi tapi ber-revolusi.
masalahnya: bali jadi terkenal dan sekarang bisa makmur karena apa? Kalau kita kehilangan faktor itu, masihkan kita unik?
budaya bukan sekedar masalah ribet atau sederhana, itu masalah identitas. boleh sederhana, selama tak kehilangan identitas
Aristokra…Siapa yang menganggap keunikan itu sesuatu yang penting untuk dipertahankan?? Dan bentuk keunikan itu sendiri mungkin juga akan berubah-ubah. Jika sekarang apa yang ada di Bali dianggap unik, mungkin suatu saat nanti ia akan menjadi tidak unik lagi.
Lalu..tak ada identitas yang memiliki kebenaran yang esensi… semua identitas adalah hasil konstruksi, dan karena itulah identitas bisa berubah-ubah tergantung pada mereka yang menggunakan atau menjadi pengusung identitas itu sendiri.
Iya Bli Nyoman……….. ketika suatu budaya sudah tidak relevan lagi untuk dijalankan atau dipertahankan dengan sendirinya akan “ber-revolusi” dan itulah keunikan “budaya” BALI…………
Suksma artikelnya Bli Winata,
Membuat saya merenung sejenak meski hanya 1-5 menit saja. Hal yang langka di era digital ini. 🙂
Iya dech,,,,,,,,,, saya setuju dengan kemajuan teknologi apalagi Bali yang notabene daerah tujuan wisata dunia segala bentuk perubahan sangat cepat sekali untuk diadopsi, Namun sebagai masyarakat hindu yang mempunyai landasan keyakinan hendaknya perubahan jangan membuat kita takabur tetap berpegang pada landasan agama, dan jangan sampai menghilangkan identitas dan jati diri sebagai manusia Bali okeeey
Perubahan memang tak bisa dipungkiri tapi rekayasa perubahan yg perlu di cermati dan di di gali agar apa yg membuat kita hari ini besar tidak tercampakkan oleh perubahan itu sendiri.semua kembali pada kesadaran. Gimana caranya..? Berhentilah berangan angan yg melebihi batas pikiran dan relung hati…
be nyak wayah asane, pakman…?