Teks Darma Putra, Foto Bali Daily Foto
Dikabarkan, masa tinggal (length of stay) wisatawan di Kabupaten Badung tahun 2009 menurun dibandingkan tahun sebelumnya (Bali Post, 13/1/2010, hlm 2). Walaupun tidak ada data yang disodorkan, pernyataan Kepala Dinas Pariwisata Badung I Made Subawa ini mudah diterima karena demikianlah kecenderungan umum di Bali, mungkin juga di Indonesia.
Gambaran umum masa tinggal wisatawan di Bali adalah merosot dari rata-rata dua minggu pada tahun 1990-an ke belakang menjadi rata-rata seminggu belakangan ini. Makin pendek wisatawan tinggal di Bali berarti makin sedikit pajak hotel dan restoran yang bisa disedot pemerintah.
Memang, persoalannya tidak selinier itu karena yang menentukan pendapatan itu adalah tingkat hunian hotel, artinya kalau hotel tetap penuh, pajak tetap tinggi.
Subawa dengan diplomatis memaknai secara umum bahwa (menurunnya) masa tinggal wisatawan mencerminkan (menurunnya) kualitas destinasi wisata. Dengan mengatakan masa tinggal wisatawan di Badung kian pendek, dia tidak langsung menyebutkan bahwa kualitas destinasi wisata di Badung menurun tetapi tetapi arahnya bisa ditebak.
Tidak bisa dibantah bahwa di Badung muncul banyak hotel dan vila mewah yang menawarkan kenyamanan buat wisatawan, tetapi juga kasat mata bahwa kemacetan lalu-lintas, keamanan, kebersihan di objek wisata, pelayanan yang tidak stabil, ikut menurunkan kualitas kenyamanan destinasi wisata Badung dan Bali secara umum. Banyak wisatawan yang enggan ke Bali karena sudah terlalu ramai dan macet.
Sebetulnya, selain faktor infrastruktur Bali yang kedodoran, kecenderungan kian pendeknya length fo stay turis berlibur di Bali sepertinya juga ditentukan pengenaan visa on arrival atau VOA (visa kedatangan) yang pilihannya terbatas, hanya ada dua jenis VOA, yaitu visa untuk tinggal 7 hari dan 30 hari, dengan harga masing-masing $10 dan $25.
Dengan pilihan seperti ini dan terlihat dari harga visa, maka wisatawan akan cenderung untuk berlibur seminggu saja. Kalau mereka ingin berlibur 10 hari atau 14 hari, mereka harus membayar visa $25. Wisatawan akan merasa rugi membayar sebesar itu karena tidak dapat menggunakan visanya secara maksimal 30 hari.
Waktu berlibur 30 hari untuk wisatawan berlibur di satu daerah seperti Bali memang relatif panjang tetapi kalau untuk turis petualang yang ingin menjelajah beberapa daerah di Indonesia, 30 hari menjadi relatif pendek.
Fleksibilitas pilihan visa perlu diubah sesuai dengan kepentingan wisatawan. Perubahan seperti ini pernah terjadi. Ketika ketentuan VOA pertama muncul tahun 2004, pilihan visa yang ada adalah visa 3 hari (bayar $10) dan 30 hari (US$25). Pilihan ini diubah menjadi visa 7 hari setelah ada banyak masukan atau komplin dari wisatawan. Jauh-jauh mereka datang dengan ongkos tiket mahal, mereka disodori pilihan yang tidak menarik atau merugikan.
Kini, seandainya Kabupaten Badung atau Bali secara umum ingin menaikkan masa tinggal wisatawan, atau mengembalikan ke angka rata-rata dua minggu, salah satu hal yang bisa dilakukan adalah mohon kepada pemerintah agar memberikan alternatif visa yang lebih bervariasi, misalnya buat visa 3 hari (kalau ada wisatawan mau singgah sejenak), visa 7 hari, 14 hari, 20 hari, dan 30 hari dengan harga yang disesuaikan.
Wisatawan akan merasa gembira membayar visa untuk dua minggu kalau mereka akan tinggal dua minggu. Jangan seperti sekarang, tinggal dua minggu tetapi dihadang visa seharga sebulan. Pola waktu berlibur wisatawan berbeda-beda, ada yang ingin berakhir pekan (tiga hari), ada juga yang hendak berlibur seminggu, dua minggu, dan seterusnya. Ini harus diakomodasikan dengan merevisi pilihan masa VOA.
Keluhan masa tinggal wisatawan yang cenderung menurun datang dari Diparda Badung, namun hal ini semestinya juga menjadi kepedulian semua stake holder pariwisata Bali dan bahkan Indonesia, karena kalau solusi mengubah pilihan VOA bisa dilakukan, yang akan diuntungkan tidak hanya pariwisata Badung, Bali, tetapi juga pariwisata Indonesia. [b]
http://www.cybertokoh.com/index.php?option=com_content&task=view&id=376&Itemid=95