Bali pascakolonial, pasca-Soeharto, pasca-bom makin “terpecah” dan “menyatu” pada saat yang sama.
Di permukaan ia terlihat tenang tanpa gejolak, namun di bawah ia penuh benturan, tarik-ulur, dan saling tikam.
Sebelum melangkah lebih jauh, saya ingin melihat Bali melalui dua tulisan penulis Bali yang mengamati Bali; Degung Santikarma (Ajeg Bali: Dari Gadis Cilik ke Made Schwarzenegger) dan I Ngurah Suryawan (“Ajeg Bali” dan Lahirnya “Jago-jago” Kebudayaan). Kedua orang ini mengamati subyek yang “sama”; Ajeg Bali, sebuah “institusi” yang (salah satunya) menegaskan identitas ke-Bali-an orang-orang Bali, dengan cara yang berbeda.
Saya akan memaparkan dua tulisan tersebut dimulai dari Ngurah kemudian Degung.
Dalam tulisannya, Ngurah lebih banyak menyoroti pembentukan “jago-jago” kebudayaan yang lahir dari momen ledakan bom Kuta. Dalam tulisan ini, Ajeg Bali dilihat sebagai kuasa yang berada entah di mana, dan tak tersentuh.
Permasalahan dalam tulisan ini berada di permukaan yang tenang tak menghanyutkan. Tegangan-tegangan terjadi di tataran penentu kebijakan yang bertahta disinggasana tinggi kuasa diawang-awang. Strategi perlawanan the weak tak terlacak, atau dengan bahasa yang lebih “kasar”, the weak tidak sanggup melakukan apapun untuk melawan sang kuasa.
The weak dalam tulisan ini jelas tersurat sebagai “orang luar” yang tidak memiliki hak hidup di tanah Bali. Teror Ajeg Bali yang menghantui penduduk pendatang terejawantahkan melalui “jago-jago” kebudayaan yang keberadaannya direstui kuasa (negara).
Dalam tulisan ini meski tidak tersurat, jelas tersirat pembedaan antara “orang luar” dan “orang dalam”. “Orang luar” adalah mereka yang berasal dari luar pulau, sedangkan “orang dalam” adalah mereka yang berasal dari pulau tersebut.
Kekuasaan yang bertahta entah di mana seakan menjadi menara pengawas yang mengawasi gerak-gerik orang-orang bukan Bali di Bali. Suara-suara mereka yang memprotes tak sampai ke telinga kuasa. Mereka bahkan diganjar “hukuman” karena mereka berada di tempat di mana mereka seharusnya tidak ada.
Hukuman yang saya maksudkan di sini adalah (sebagaimana tersurat dalam tulisan ini) razia penduduk pendatang. Tulisan ini tidak memaparkan bagaimana strategi penduduk pendatang meghadapi tekanan kuasa, namun ia memaparkan peta kuasa yang menekan mereka.
Seperti yang telah saya sebutkan di atas, kekuasaan yang diamati oleh Ngurah adalah kuasa yang “abstrak” tak tersentuh. Ia (dengan sengaja?) tidak mengamati kekuasaan yang telah membadan dalam tingkah polah orang-orang Bali.
Sementara Ngurah mengamati kuasa yang berada entah di mana, Degung mengamati kuasa yang melekat pada “tubuh” orang-orang Bali. Dengan menceritakan sebuah kisah yang terjadi pada kehidupan sehari-hari orang-orang Bali pada suatu waktu pasca -bom di awal tulisan, ia membuat semacam pernyataan bahwa kuasa tidaklah kasat mata. Ia berada sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari.
Dengan kata lain, kekuasaan (negara) telah terinternalisasi kedalam tubuh-tubuh yang bergerak disekitar kita. Secara umum apa yang dibicarakan oleh Degung menyerupai apa yang dibicarakan oleh Ngurah namun perbedaannya terletak pada cara pandang yang mereka ambil. Ngurah mengambil cara pandang seorang ilmuwan yang merentangkan jarak dengan subyek yang ia amati. Sedangkan Degung mengambil cara pandang orang biasa yang menceritakan pengalamannya sendiri.
Senada dengan Ngurah, Degung melihat tarik ulur pemurnian identitas oleh Ajeg Bali berada dalam medan pertempuran antara orang-orang Bali dengan orang dari luar Bali. Meskipun dalam tulisan ini ia sempat menyebutkan bahwa “panglima” kebudayaan Bali adalah orang Bali, yang dengan demikian menunjukkan bahwa ada ketegangan di antara orang-orang Bali sendiri.
Dengan mengatakan bahwa “panglima” kebudayaan Bali adalah orang Bali, maka ada orang Bali lain yang kemudian menjadi “bawahan sang panglima” yang siap diperintah oleh “sang panglima”.
Saya kira pernyataan Degung cukup problematis. Pertanyaan kemudian adalah siapakah yang berhak menduduki “jabatan” “panglima”? Jika pemurnian identitas a la Ajeg Bali menyatakan bahwa yang berhak menduduki “jabatan” “panglima” adalah orang Bali. Maka selanjutnya yang kiranya perlu dipertanyakan adalah orang Bali mana yang memiliki hak itu?
Dalam tulisan ini Degung tidak menjelaskan siapa yang berhak atas “jabatan” tersebut. Namun secara tersirat ia menyebut produksi wacana Ajeg Bali berasal dari birokrat (media) lokal. Dengan demikian pertanyaan yang saya ajukan di atas akan terjawab dengan mudah.
“Panglima” yang disebut Degung adalah birokrat (media). Yang kemudian berarti bahwa “jabatan” “panglima” budaya Bali dipegang oleh dia yang memiliki jabatan “formal”. Akan tetapi pada paragraf terakhir tulisannya ia mempermasalahkan kembali apa dan siapa Bali; “Bukankah Bali sebuah bikinan? Sebuah arkeologi pemikiran dan sebuah jaringan perdebatan dan sekaligus sebuah kesepakatan? Dan siapa orang Bali? Ada Wong Majapahit, ada Wong Bali Mula, ada Wong Bali Aga, dan ada juga Wong Bule Aga (para ekspatriat). Ada gender dan ada kelas dan ada kasta yang menjadikan budaya bukanlah sebuah konsensus, melainkan sebuah debat yang terus menerus.”
Mengikuti Gramsci, bahwa demi dimenangkannya cultural war, maka perang yang mesti disulut pertama kali adalah war of position. War of position di sini dimaksudkan untuk memperoleh suara dominan untuk menegaskan kesadaran kelas. Mengikuti kesuksesan war of position, pemimpin perang akan melaksanakan strategi war of movement, sebuah pemberontakan “sebenarnya” melawan kuasa kapitalisme.
Jika seandainya Gramsci (dalam kasus ini; melalui Degung) benar, maka birokrat (media) lokal bisa dianalogikan sebagai kelas pekerja. Sementara itu lawannya, kapitalis ibu kota bisa dianalogikan sebagai kelas penguasa. Dengan analogi ini akan tetap ada pertentangan dua kelas yang saling beroposisi; kelas pekerja dan kelas penguasa.
Demikian pula pada tataran lokal, analogi ini juga bisa ditempatkan. Pada tataran lokal, birokrat (media) lokal dapat dianalogikan sebagai kelas penguasa, sedangkan yang “menempati” “posisi” kelas pekerja adalah orang-orang Bali diluar kuasa (formal). Dalam pandangan ini oposisi biner dilanggengkan untuk mencari semacam pembenaran akan sebuah permasalahan atau meminjam bahasa Derrida, hasrat penemuan Logos untuk sebuah makna yang stabil.
Pernyataan Degung yang selanjutnya bisa dilihat sebagai kemungkinan-kemungkinan kehadiran Logos, suatu kerinduan akan kestabilan makna. Mengapa? Karena dalam pernyataan “… siapa orang Bali (dst)” tersirat sebuah keinginan untuk menemukan siapakah orang Bali sebenarnya. Padahal dalam setiap kemungkinan jawaban yang Degung tawarkan (selalu) ada penundaan-penundaan akan sebuah kepastian jawaban.
Kepingan Identitas
Bangunan identitas ke-Bali-an yang dibangun dan diandaikan kokoh oleh Ajeg Bali terbantahkan oleh kedua penulis di atas dengan cara mereka masing-masing. Namun kedua penulis tersebut dengan caranya sendiri mencoba membangun sebuah bangunan baru yang diandaikan kokoh.
Namun, bangunan yang mereka andaikan kokoh itu telah teruntuhkan oleh pernyataan mereka sendiri.
Pernyataan yang mengukuhkan suatu keinginan akan sebuah makna tunggal nan rapuh. Sebagaimana menara Babel yang runtuh karena tiada lagi perbedaan. Namun kasus Degung sebenarnya menarik, karena ia memberikan sebuah pernyataan seakan tidak tunggal. Namun di balik kemajemukan pilihan yang ia berikan tersirat keinginan pencarian kepastian makna. Dari reruntuhan bangunan identitas yang teruntuhkan tersebut, kepingan-kepingannya saling merangkai dan pada saat yang sama saling menunda pembentukan bangunan baru.
Dengan kata lain tidak akan pernah ada sebuah jawaban pasti dan benar-benar tepat, karena jawaban-jawaban tersebut akan selalu saling menunda kehadiran makna tunggal. Sebuah pertanyaan akan dijawab oleh sebuah pertanyaan lain. Akhirnya yang tertinggal hanyalah kepingan-kepingan reruntuhan bangunan (identitas).
Keping Pertama: Politik Pariwisata
Industri pariwisata, salah satu gerigi utama penggerak detak jantung perekonomian Bali telah menjadi arena peperangan tak pernah mencapai kata damai. Setiap tindak, dan kebijakan kuasa (negara) adalah demi industri ini. Hampir setiap kepala di Bali tunduk dalam kuasa industri pariwisata.
Alasan setiap pelarangan, pelanggaran, sampai alasan meninggalkan kampung halaman untuk mengadu peruntungan hampir selalu bermuara pada industri ini. Industri pariwisata yang dirasa semakin lama semakin membesar turut serta membidani kelahiran sekolah dan atau perguruan tinggi yang berorientasi kerja, khususnya di bidang pariwisata.
Sementara itu perguruan tinggi yang tadinya tidak berorientasi kerja (pariwisata) memasukkan kurikulum yang berhubungan dengan industri pariwisata. Hal ini saya kira dilakukan untuk mempertahankan institusi sekolah sebagai salah satu instrumen penting dalam hal mencetak sekrup-sekrup kecil mesin industri pariwisata, selain untuk memantapkan posisinya dalam medan industri pendidikan.
Melalui pendidikan (pariwisata) seseorang merasa memiliki kuasa lebih tinggi di lingkungan sosialnya. Karena dengan mencicipi bangku pendidikan (pariwisata) seseorang memiliki peluang lebih tinggi untuk bersaing di medan ini dibandingkan dengan orang lain yang tidak mengenyam pendidikan (pariwisata).
Dengan demikian (secara umum) status sosial seseorang akan terangkat ketika ia “berselingkuh” dengan pengetahuan. Pertama-tama karena ia memiliki akses menuju pekerjaan yang berarti memiliki akses pada kehidupan mapan. Kedua karena ia dianggap lebih tahu tentang “kebenaran”. Pada taraf lebih lanjut, pintu kuasa pun terbuka lebar untuk ia masuki dan kuasai.
Dalam kasus lebih khusus, di Bali, pendidikan saja tidak cukup untuk seseorang memiliki kuasa dilingkungan sosialnya. Modal yang diperlukan untuk itu “lebih banyak” lagi, dan modal itu hanya bisa didapat oleh orang tertentu dan dengan cara-cara tertentu pula. Kasta, misalnya, memperumit hubungan power-knowledge, belum lagi kelas sosial di Bali yang tidak bisa begitu saja berdamai dengan komposisi rumit kasta-power-knowlwdge tersebut di atas.
Keping Kedua: Kelas dan Kasta
Komposisi kerumitan hubungan sosial di Bali semakin diperumit dengan konsep kelas yang tidak bisa begitu saja diuraikan dari konsepsi kelas a la Karl Marx. Pembagiannya pun tidak bisa disederhanakan dengan membaginya menjadi dua kelas yang bertentangan sepanjang masa, sebagaimana dinyatakan oleh Karl Marx beberapa puluh tahun lalu.
Keberadaan kelas di Bali selalu berada dalam posisi saling hantam dengan kasta yang tidak bisa disederhanakan hanya dengan menyebut salah satunya saja. Dengan kata lain konsep kelas di Bali akan selalu berada dalam posisi saling berhadangan dengan konsepsi kasta. Dan kedua konsep ini tidak bisa dengan mudah didamaikan.
Konsep kasta di Bali pada dasarnya sudah “bermasalah”. Masalah-masalah yang hadir pada konsep ini dengan terang dan nyata telah melebur dalam kehidupan orang-orang Bali.
Pertentangan legendaris antara Surya Kanta dan Bali Adnyana saya kira bisa menjadi contoh bagus untuk menyatakan bahwa konsep kasta di Bali telah mengalami pertentangan, dan pembaruan. Meski perseteruan ini berlatar perebutan kuasa, ia memakai kasta sebagai senjata untuk saling menyerang. Ini membuktikan bahwa kasta di Bali sendiri dalam arena perebutan kuasa memiliki peran signifikan (bahkan sampai sekarang).
Pasca-perseteruan legendaris tersebut, banyak sekali kasus adat yang dikait-kaitkan dengan masalah kasta. Sebuah kasus kekerasan bisa jadi dieksotiskan menjadi masalah kasta. Meski terjadi pembaruan dalam hal hubungan antar kasta di Bali, dalam kehidupan sehari-hari kasta tetap menjadi mean of power yang dahsyat.
Pembaruan yang saya maksudkan adalah adanya tuntutan dari soroh tertentu untuk “kembali” kepada ajaran Weda yang dianggap menyimpang. Penyimpangan yang dimaksud ada pada posisi pedanda yang dianggap sebagai satu-satunya pemimpin upacara besar. Posisi pedanda ini menurut tuntutan tersebut bisa digantikan oleh Sri Empu. Pada dasarnya tuntutan ini menyarankan untuk kembali ke catur warna yang lebih menekankan pada pembagian kerja bukan kasta yang lebih menekankan pada “pembagian posisi sosial”.
Demikian “posisi” kasta dalam kehidupan orang-orang Bali selalu menjadi pertentangan dan selalu berada dalam posisi problematik. Dalam praktiknya, kasta sangat berpengaruh dalam pergaulan orang-orang Bali secara umum. Pasca-ledakan bom, kasta menjadi sesuatu yang menunjukkan identitas ke-Bali-an orang-orang Bali. Seseorang dengan kasta lebih tinggi wajib hukumnya untuk disapa dalam bahasa Bali halus oleh orang dengan kasta rendah untuk menunjukkan rasa hormat mereka pada warisan budaya (yang dianggap sebagai sesuatu yang terberi, niscaya, kokoh, dan tak lekang oleh waktu).
Posisi kelas (dan kasta) dengan demikian menjadi cukup problematis dalam wilayah ini. Seseorang dari kelas (ekonomi) yang termasuk kedalam kelas borjuis dalam konsepsi Marxian dan memiliki modal (ekonomi) untuk berkuasa menjadi “tidak berdaya” di hadapan seseorang dengan kasta lebih tinggi.
Namun tidak selalu tepat demikian karena pada kasus tertentu, seseorang dengan economic capital besar terkadang memiliki nilai tawar lebih tinggi di lingkungan sosialnya meski ia berkasta rendah. Di lain tempat cultural capital berupa kasta terkadang juga memiliki nilai tawar tinggi. Dengan demikian permasalahan kasta selalu saling menunda dengan permasalahan kelas.
Keping Ketiga: Subkultur Anak Muda dan Bahasa
Budaya anak muda setiap saat selalu mengelak ketika disamakan dengan parents culture. Ia selalu berusaha terlihat berlawanan dengannya. Parents culture yang diwakili oleh institusi-institusi sosial seperti misalnya keluarga (untuk sebuah contoh paling kecil) selalu berusaha “menata” budaya anak muda agar selalu tampak sejalan dengan kaidah-kaidah kenormalan secara umum.
“Pemberontak-pemberontak” dari subkultur anak muda seperti subkultur punk selalu menunda keberhasilan penataan ini.
Dalam kasus Bali, subkultur anak muda “mengacaukan” tatanan yang berusaha ditanamkan parents culture, Ajeg Bali. Contoh sederhana adalah dikacaukannya struktur kasta. Secara umum, seseorang dengan kasta lebih rendah diwajibkan berbicara dalam bahasa halus dengan orang berkasta lebih tinggi. Namun dalam tubuh subkultur anak muda, hal ini diabaikan, mereka berbicara dalam bahasa yang katakanlah egaliter.
Akan tetapi jangan kira kalau hal ini terjadi di setiap saat dan di setiap tempat. “Pengacauan” struktur kasta melalui bahasa ini sendiri dilakukan secara taktis. Misalnya, seorang anak muda ketika bertemu dengan kawan sepermainannya di tempat umum akan menggunakan bahasa yang (katakanlah) egaliter, namun tidak demikian jika ia bertamu ke rumah kawannya itu; ia tetap akan menggunakan bahasa yang menyiratkan adanya batas-batas hirarkis.
Apakah ini strategi taktis dalam rangka merayakan pernyataan “men was born equal”?
Saya kira jawaban atas pertanyaan ini perlu pengamatan lebih mendalam. Karena politik bahasa di Bali banyak digunakan di Bali sebagai strategi the weaks dalam menghadapi tekanan pihak kuasa. Sebagai sebuah jawaban sementara saya kira cukuplah kiranya untuk mengatakan kalau hal ini adalah sebuah strategi taktis namun bukan dalam kerangka merayakan kesetaraan tetapi lebih pada kebutuhan untuk berkomunikasi dengan bahasa “sama”. Hal ini mungkin menegaskan apa yang dikatakan oleh Habermas bahwa ketika ada public space maka di sana akan terbentuk suatu komunikasi massa.
Menata Kepingan
Demikian bangunan yang diandaikan solid hancur berkeping-keping dan sisa reruntuhannya menyebar. Sulit untuk menyatukan kembali menjadi sebuah bangunan kokoh dan stabil (lagi). Apalagi yang bisa membentuk dengan pasti, jelas dan tegas kedirian seseorang. Seandainya pun kepingan-kepingan ini dipaksakan dalam diri seseorang ia bukanlah sesuatu yang asli lagi, ia telah bercampur dengan debu-debu di sekitar reruntuhan tersebut, namun ia tidaklah membentuk lagi sesuatu yang benar-benar baru.
Ia adalah suatu penjalin kedirian yang hibrid.
Keberadaan penjalin-penjalin identitas yang menyebar ini membuat identitas “bukanlah” sesuatu yang penting selama ia tidak berhadapan dengan others. Ia menjadi penting selama ia berhadap-hadapan baik secara aktual maupun secara simbolis (surat, telepon, dan seterusnya) dengan others.
Reruntuhan ini hanya bisa ditata di suatu tempat di mana ia bisa dengan mudah diambil oleh seseorang ketika ia memerlukannya di saat berhadapan dengan others. Kemudian ketika ia tidak memerlukannya lagi ia bisa dengan mudah diletakkan kembali di tempat tersebut.
Dengan kata lain ketika seseorang berhadapan dengan orang lain identitas yang dibawanya tidaklah menunjukkan kediriannya yang stabil, tetap, dan kokoh. Akan tetapi ia membawa sesuatu yang situasional, sesuatu yang digunakan pada saat ia memerlukannya dan “disembunyikan” di suatu tempat ketika ia tak memerlukannya ketika ia berhadapan dengan others. [b]