Oleh Pande Baik
Selasa sore 13 November lalu, seorang gadis remaja kuliahan entah memiliki tujuan apa, terlihat terburu-buru memacu sepeda motor matic di jalan Waturenggong. Jalur orang di sebelahnya pun diserobot demi mendapatkan laju kendaraan yang tetap. Akibatnya orang yang dipepet memperlambat kendaraannya mengalah pada sang gadis.
Saat sebuah mobil Panther berhenti di pertigaan dekat kuburan, sang gadis langsung membanting kemudi motornya ke arah kanan lantas menyalip mobil tadi tanpa memperhatikan kondisi lalu lintas di depannya. Lantaran tak kuasa menahan laju kendaraan dan dari arah berlawanan datang pula mobil yang membanting setir ke kiri demi menghindari sang gadis. Sang gadis terjatuh terseret hingga pertigaan jalan Irawadi. Untung hanya luka dan tak merenggut nyawa.
Namun penyesalan pun datang terlambat.
Pukul 9 malam masih pada hari yang sama, seorang gadis dengan rok pendek melakukan hal yang sama di ruas jalan Setiabudi. Kali ini ditambah keahliannya ber-zigzag di antara kendaraan bermotor lainnya. Sial pun datang. Saat ingin mengalihkan laju ke kanan, datang truk sampah yang berhenti mendadak lantaran mengambil sampah di depan rumah sepanjang ruas jalan tersebut. Tak menyangka akan keterbatasan jarak si gadis terjatuh tepat di depan truk sampah. Dia pun harus dibopong ke pinggir jalan. Untung truk tidak dalam keadaan ngebut.
Sudah kecelakaan masih untung pula. Itulah pendapat orang Bali begitu melihat kecelakaan yang terjadi di depan mata.
Makin tingginya angka kecelakaan lalu lintas tak lepas dari dua contoh kecil di atas di mana faktor tertinggi penyebabnya adalah kecerobohan pengendara dalam memacu kendaraannya. Terburu-buru waktu, keinginan untuk memamerkan keahlian ber-zigzag atau pun ngebut di jalan raya, tanpa mempedulikan bahaya bagi orang lain di sekitarnya. Iya kalau kecelakaan yang terjadi hanya menimpa diri sendiri, kalau sampai merugikan orang lain, masih mau menyalahkan orang lain seperti cerita kelanjutan dari dua contoh di atas ?
Walaupun sempat mengundang emosi massa di sekitar tempat kejadian karena provokasi pendapat dari yang merasakan dirinya sebagai korban lantaran jatuh, namun emosi segera bisa diredam. Massa pun memilih meninggalkan si ‘korban’ setelah beberapa pengendara lain yang dilaluinya tadi memberikan pandangan mereka.
Sudah membahayakan orang lain masih mau menyalahkan orang lain. Itulah potret umum para pengendara motor di Denpasar hari ini.
Bertamasyalah ke pasar tradisional, dan lihat bagaimana perilaku para pengendara yang keluar masuk areal pasar. Tak jarang pengendara motor keluar areal seenaknya tanpa memperhatikan arah datangnya lalu lintas, sehingga kerap terjadi tabrakan kecil yang diawali dengan makian sang pengendara motor dari arah pasar kepada yang menabrak. Kekurangajaran ini akan makin menjadi saat pengendara motor seringkali menghentikan motornya mendadak di areal jalur kendaraan, bukannya malah menepi dan memarkirkan motornya dahulu. Mengakibatkan tabrakan terjadi bagi pengendara lain yang tak siap dengan pemberhentian mendadak tadi.
Siapa yang bisa disalahkan?
Satu gambaran yang sudah biasa terjadi pada sebuah instansi penyedia izin mengemudi, di mana makin mudahnya pengendara dalam mendapatkan izin lewat calo maupun biro jasa mengakibatkan yang namanya ujian tulis maupun praktik sudah jarang dilakukan lagi atau hanya sebagai formalitas. Pemohon tinggal melengkapi syarat, membayar sejumlah uang administrasi plus memo agar dipercepat, tinggal datang pada hari yang telah disepakati untuk difoto. Pemohon pun bisa segera mendapatkan SIM tak lebih dari seminggu.
Kemudahan ini seakan jadi bumerang bagi kepolisian, di mana kemungkinan besar menjadi faktor kedua setelah kecerobohan tadi akan tingginya angka kecelakaan lalu lintas.
Kedisiplinan dalam berkendara baik sedari mengajukan izin sampai berkendara di jalan raya, bisa jadi hanya merupakan satu wacana yang didengung-dengungkan saja tanpa pernah dilaksanakan. Sungguh sayang.
Tak bisa dipungkiri jika orang tua jaman sekarang cenderung memberikan kebebasan bagi anak-anaknya untuk menggunakan motor dijalan raya meski usia sang anak belum menginjak 17 atau 21 tahun. ‘Ne penting nyidang ngilut gas’. Tidak peduli apakah emosi sang anak mampu menangani segala kemungkinan yang terjadi di jalan raya.
Makanya tak heran saat melihat anak SD maupun SMP sudah bebas berkeliaran dengan motor pada ruas jalan pinggiran kota , tanpa helm pula. Tapi SIM mereka punya, mungkin lantaran dapet nembak atau malah mengkatrol usia agar melewati batas yang ditentukan?
Nah kalau sudah terjadi kecelakaan, masih mau menyalahkan orang lain? [b]