Teks dan Foto Astarini Ditha
Melawan keterbatasan walau sedikit kemungkinan. Tak kan menyerah hadapi hingga sedih tak mau datang lagi.
Barangkali banyak orang setuju Laskar Pelangi adalah film fenomenal sangat inspiratif. Meski telah lewat beberapa tahun, semangatnya masih terpelihara baik di diri mereka yang percaya perubahan besar dimulai dari hal kecil; keberhasilan yang menjelma dari mimpi-mimpi masa kanak.
Paleg Kaja, desa di daerah berbukit Tianyar Timur, Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangsem adalah tujuan perjalanan kami. Saya, beberapa orang dari I’m An Angel (IAA), seorang teman dari Habitat for Humanity dan dua wanita asing, menempuh sekitar 2,5 jam perjalanan. Kontur tanah kering berbatu dan menanjak, medan yang cukup sulit dilalui. “Kalau sudah hujan dan banjir, wah udah pasti tidak bisa lewat ini,” celetuk Andi pengemudi mobil yang sudah terbiasa menemani tim IAA mengunjungi desa ini.
IAA lembaga filantropis berkantor di Kuta, Bali. Mereka rajin memberikan bantuan termasuk ke Desa Paleg di Karangasem, salah satu kabupaten miskin di Bali.
Banyak penduduk Karangasem merantau dan bekerja di “kota”. Ya, dalam hal aksesibilitas, fasilitas, ekonomi, hiburan, dan sebagainya, kota adalah tujuan bagi warga desa. Mereka bosan kondisi desanya yang dilingkupi keterbatasan. Misalnya, pedagang buah keliling di area Kapal dan Perang di Kabupaten Badung. Sejak penghujung 2010 hingga kini, saya bersama beberapa teman cukup sering bertemu para pedagang ini.
Mereka yang bertahan di desa tentu memiliki sejumlah harapan demi perubahan di tempat kelahiran.
Bersama perintisnya, Asana Viebeke Lengkong, IAA sering melakukan misi-misi sosial di daerah-daerah tertinggal di Bali. Mbok Gek, salah satu tim IAA mengatakan, beberapa visi IAA di antaranya adalah perbaikan pendapatan ekonomi masyarakat kecil, mencerdaskan masyarakat, peduli kesehatan masyarakat, dan lain-lain.
Sejak tahun 2008, Desa Paleg Kaja dibina untuk menjadi desa yang lebih baik dari sebelumnya. Jero Bingin, kelian adat desa ini berbagi cerita perubahan tersebut di antaranya soal perbaikan jalan, penampungan air, gedung sekolah, kondisi masyarakat, dan lain-lain.
Jalan, sanitasi, air, edukasi, kesehatan, merupakan segelintir persoalan serius yang harus diselesaikan secara nyata bukan wacana. Menurut penuturan Mbok Gek, di desa ini dulu penampungan air hujan tidak ditutup. Padahal, air itu kerap digunakan untuk keperluan dapur selain mandi dan mencuci.
Memang di sana ada penampungan-penampungan mata air dan lokasinya cukup jauh di bawah, persisnya di depan rumah Jero Bingin. Gedung sekolah mereka tak layak dengan ruang kelas terbatas. Jalan pun tak sebagus sekarang.
“Perlahan kita dorong mereka untuk membuat proposal dan memintanya segera mengajukkan ke pemerintah setempat,” ujar Mbok Gek.
Dalam rentang waktu empat tahun, di desa ini terlihat bak penampungan sudah ditutup seng, jalan sedikit beraspal, gedung sekolah sedang direhabilitasi, ada bangunan dan fasilitas mainan untuk kelas pendidikan anak usia dini (PAUD) dan bantuan obat-obatan dari sumbangan donor IAA. “Ini sudah tahun keempat, dan di tahun ini kami siap untuk melepas desa ini,” ujar Mbok Gek.
Untuk selanjutnya, lanjut Mbok Gek, desa ini akan dibiarkan tumbuh mandiri dengan modal yang telah diberikan. Harapan itu hidup ketika melihat anak-anak SD bertemu IAA.
Diundang Menteri
Seorang bocah lelaki mengacungkan tangannya berkali-kali ketika ditanyakan siapa yang mau menjadi dokter, perawat, guru atau tentara. Ia hanya tertunduk malu ketika ditanyai Viebeke, “Kenken ni adi makejang ke pilih?”. Artinya, bagaimana ini kok semua dipilih. Barangkali ia tidak tahu atau bingung untuk menentukan pilihan.
Ketika sampai, kami menyambangi mereka di area pelaba pura desa. Di sana telah dibangun sebuah bangunan yang akan dipakai untuk kegiatan belajar PAUD. Bangunan yang disekat menjadi tiga ruang kelas darurat itu, untuk sementara menjadi ruang belajar anak-anak SD. Bangunan sekolah mereka belum selesai dirampungkan. Mereka girang dan berlari berhamburan menuju mobil untuk mengambil barang-barang bawaan seperti buku, makanan, susu, dan obat-obatan.
Di bawah pohon mangga yang teduh anak-anak itu duduk setengah melingkar, mengelilingi Viebeke. Sementara para wanita dan lelaki ada yang duduk berjejer dan menyebar di sekitar.
Anak-anak itu mendengar dengan seksama apa yang ditanyakan pada mereka. Setelah berbasa-basi, diceritakan perihal edukasi dini. Mereka diminta menyanyi twinkle little star mendapat cerita tentang drama musikal Laskar Pelangi yang begitu dipuji Viebeke. Lalu, Viebeke mengeluarkan iPad dan memutar salah satu lagu dalam drama musikal itu. Lagu itu diputar berulang. Anak-anak pun diminta untuk menyanyikannya dan kelak harus bisa membuat drama.
Wayan Nengah Dewi, atau Nengah, salah satu anak perempuan menjawab dengan kalem dan malu saat ia bilang ingin jadi guru. Guru dan dokter jawaban paling sering dilontarkan mereka ketika ditanya perihal cita-cita.
Beda lagi cerita Wayan remaja laki-laki kelas 3 SMP yang bersekolah di Kubu. Menurut Wayan, ia sempat menjuarai lomba lari se-kabupaten dan pernah diundang menteri ke Jakarta sekali. Wayan diberi kesempatan magang bekerja di hotel atau villa. Bagi Wayan hal itu adalah sebentuk apresiasi atas prestasinya.
Pangan, Papan, dan Pendidikan
Ada sekitar 120 KK di Desa Paleg Kaja. Mereka tinggal menyebar. Di tempat kami berhenti, di area yang lebih tinggi terdapat 70 KK. Mereka mengolah tanah tegalan untuk keperluan makan sehari-hari.
Mereka memanfaatkan tanah kering untuk menanam tanaman seperti undis; sejenis kacang-kacangan, kacang mente, kacang tanah, kacang kare, jagung, ketela, ental dll. Sebagian dikonsumsi, sebagian lagi dijual. “Di sini jarang makan lauk daging, bumbu-bumbu membeli di pasar,” ujar Wayan Jaya, salah satu warga.
Aktivitas harian mereka tak terlalu bervariasi, berkisar di rumah dan di ladang. Ngarit; mencari rumput, memberi makan ternak, memeriksa tegalan dan sesekali ke pasar baik untuk menjual maupun membeli bahan makanan.
Rumah-rumah mereka nyaris berhimpitan. Pekarangan milik bersama. Rata-rata dalam satu bangunan rumah terdapat sekaligus ruang dapur, ruang tidur, tempat penyimpanan dan sedikit teras. Rumah-rumah dibangun dari batako yang mereka cetak sendiri menggunakan alat milik salah seorang warga.
Ada pula yang sedikit berbeda. Beberapa rumah dibangun dari batu-batu alam lalu direkatkan dengan tanah liat sebagai semen. Ini tipikal rumah Bali kuno yang masih bertahan hingga kini. Konon, rumah seperti ini lebih tahan gempa tinimbang rumah berdinding batako. “Wah, sejak saya lahir sekitar tahun 1970an bentuk rumah ini sudah ada. Bisa jadi lebih jauh dari itu,” jawab Wayan Jaya.
Warisan rumah yang masih bertahan hingga kini itu, dalam beberapa tahun mungkin saja hilang. Dari perbincangan tim IAA, Habitat for Humanity dan warga ada merencanakan program. Salah satunya relokasi rumah tinggal. Dua puluh kepala keluarga sudah setuju pindah dari area semula karena pekarangan sempit dan bertebing. Lokasi telah ditentukan, yakni di sebelah selatan area pemukiman semula di dekat bukit. Tanahnya lebih lapang dan cukup rata. Habitat for Humanity, lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang fokus pada pemberian bantuan material seperti rumah dilibatkan dalam perbincangan dengan warga.
Beberapa poin juga dibahas, seperti persoalan sanitasi. Menurut pengakuan Wayan Jaya, selama ini mereka membuang air besar di sungai atau pun di tegalan. Begitu juga untuk pembuangan lainnya.
Kondisi ini berimbas ke persoalan kesehatan. Penyakit kulit, seperti gatal-gatal pun tak dapat dihindari. Akses keterjangkauan kesehatan tampak begitu jauh dari genggaman. Bila ada pemberian obat gratis, seperti yang dilakukan IAA mereka sangat antusias dan memboyong seluruh warga.
Ada yang minta obat curek; gangguan di pendengaran, batuk, pilek, salep gatal, keluhan rematik. Masing-masing warga diberikan vitamin penambah stamina 2 bungkus. Mereka menerima tanpa banyak bertanya. Bahkan ada yang diam-diam mengambil begitu saja, tanpa bertanya apa fungsi si obat.
Persoalan klasik lainnya, 99 persen masyarakat tersebut buta huruf. “Nanti kalau bangunan kelas PAUD sudah rampung, anak-anak bisa segera belajar di sini. Nanti ibu-ibunya sembari menunggu bisa belajar membaca dan menulis,” seru Viebeke.
Tinggal cukup jauh dari kota, menelikung mereka dengan segala keterbatasan. Semoga mereka bisa melawannya meski dengan sedikit kemungkinan. [b]