Pagi berawan saat itu menuju daerah Kintamani, Bali.
Kami menemani kegiatan para relawan 1000 Guru Bali. Komunitas ini terbuka untuk semua orang yang ingin berbagi kasih dan cinta untuk murid-murid di pedalaman.
Para relawan berjiwa muda dan bertujuan mulia. Mereka pun dipertemukan dengan para murid di SDN Blandingan, Kintamani.
Suasana desa sejuk dihiasi hamparan padi yang mulai menguning siap untuk dipanen. Saat itu udara sedikit dingin bagi para relawan karena terbiasa hidup di daerah perkotaan yang sesak, panas, dan berdebu. Suasana pedesaan dengan oksigen segar pula membuat hati para relawan tidak sabar untuk segera bertemu murid-murid di sana.
Tantangan pertama sudah di depan mata. Kami harus melewati jalan terjal, rusak dan sempit untuk seukuran mobil. Jalanan yang di-‘awasi’ jurang cukup dalam. Hanya satu jalur jalan ada di sini. Rasa takut dan khawatir pastinya terbesit di hati. Juga harap-harap cemas dengan sopir yang menyetir.
Untunglah, puji Tuhan semua di berikan kelancaran. Tibalah saatnya untuk bertemu dengan murid-murid di pedalaman.
Lambaian tangan disertai sorak gemilang dari para murid serta guru yang sudah menunggu di halaman sekolah. “Hore! Hore!” terdengar suaranya yang lantang dari salah satu siswa. “Hallo, Kakak!” terdengar lagi teriakkan yang nyaring dan kompak dari mereka.
Rasa lelah karena perjalanan cukup jauh hilang sirna sudah dari para relawan setelah melihat wajah gemas dan semangat mereka. Wajah-wajah yang tak sabar untuk memulai pelajaran. Adakah kejutan untuk mereka? Atau, mungkin kejutan untuk para volunteer 1000 Guru Bali di gedung ini?
Ekspektasi dengan realita mungkin terbanting cukup jauh. Karena, saat melihat realita di depan mata semua yang ada hanyalah rasa iba, prihatin, dan selebihnya tanpa kata. Dengan sekolah cukup berdebu yang berhadapan dengan pemandangan Gunung Batur yang indah dipandang mata.
Hati siapa yang tak iba dan sedih saat mata menatap ke seluruh kondisi ruangan kelas. Sebagian kelas pintunya jebol, meja rusak dan berumur. Dinding jebol karena terbuat dari triplek. Kelas yang tidak memadai juga kotor. Suasana bising dari kelas sebelah dan luar ruangan tetap terdengar karena ruangan yang tidak bisa mengendap suara.
Sebagian kelas tidak berisi papan tulis. Kelas lain masih menggunakan papan tulis dengan kapur. Ada beberapa kelas yang masih tidak menggunakan meja dan ada pula yang kekurangan bangku. Di antaranya adalah kelas 1 dan 2 tanpa meja dan kurangnya kursi.
Buruknya, karena banyaknya siswa di kelas 1 yang hampir mencapai 40 orang dan kurangnya ruangan kelas, dengan terpaksa bergabung menjadi satu kelas dengan murid-murid kelas 2. Dengan kondisi seperti itu, bagaimana bisa murid-murid untuk berkonsentrasi dalam belajar menulis dan membaca?
Hampir Punah
Ada sesi terbagi dua dalam hal mengajar di sini yaitu indoor teaching (di dalam ruangan) dan outdoor teaching (di luar ruangan). Para volunteer yang sudah dibagi kelompoknya saat briefing, masuk ke kelas masing-masing. Bersama para murid, mereka memulai pengajaran. Tiap-tiap kelas mendapatkan tema berbeda tetapi tidak jauh-jauh dari materi Indonesia.
Ini pertama kalinya para volunteer yang mengajar di kelas 1 dan 2 berada dalam satu ruangan. Pikiran harus berperan aktif di sini agar para murid tidak bosan dan terganggu konsentrasinya. Rasa susah mengajar pasti ada di benak para volunteer. Terutama saat mengajar menulis dan membaca di kelas ini yang notabene tanpa meja dan duduk berdesak-desakkan.
Tapi, sedikitnya keceriaan dan tawa lepas itu tak pernah pudar dari wajah-wajah polos mereka.
Selalu ada tawa di selingan pelajaran. Terutama saat volunteer mengajak mereka bernyanyi lagu anak-anak Indonesia seperti, “Satu Satu Aku Sayang Ibu”, “Dua Mata Saya”, dan beberapa lagu wajib Indonesia. Mirisnya, banyak murid-murid yang belum hafal bahkan tidak mengenal lagu itu. Lagu yang sangat terkenal di zaman 1990-2000-an.
Lagu anak-anak itu kini jarang sekali terdengar di telinga kita. Hampir punah karena anak-anak kini lebih memilih lagu orang dewasa. Padahal mereka sepantasnya butuh pengawasan dari orang-orang sekitar terutama orang tua mereka. Entah apa penyebab yang pasti. Entah karena canggihnya teknologi, jarangnya pemasaran lagu anak-anak, pengaruh lingkungan sekitar, atau tidak pernahnya diajarkan lagu anak-anak oleh pembina di rumah.
Kadang, miris hati melihat jika anak-anak zaman sekarang tidak hafal dengan lagu anak-anak versi baheula.
Tetapi, ada rasa bangga di hati para volunteer sebagai penerus generasi Bali. Murid-murid di sini menggunakan bahasa Bali yang kental. Bahkan banyak di antara mereka yang belum fasih berbahasa Indonesia. Setidaknya, bahasa Bali tak akan mendekati kata punah jika para penerus cilik-cilik ini masih menggunakannnya di hari-hari mereka.
Di kelas lain seperti kelas 3 sampai kelas 6, pare volunteer mengajarkan tentang pahlawan-pahlawan di Indonesia, tanah air Indonesia, pekerjaan, dan masa depan. Suasana yang sejuk karena di bawah kaki gunung membuat kegiatan belajar mengajar terasa lebih nyaman. Apalagi konsep mengajar yang digunakan para volunteer adalah fun and enjoy.
Keceriaan para murid tak ada habisnya setelah indoor teaching selama sekitar 1 jam selesai dan berlanjut pada outdoor teaching. Senyum merekah terlukis jelas di wajah polos murid-murid ini saat mereka berlari ke luar kelas. Ada pula yang menggandeng tangan volunteer. Seperti baru merasakan kegembiraan. Mereka pun terus mengajak para volunteer untuk bermain bola dan permainan tradisional tanpa rasa lelah sedikit pun.
Walau panas dari siang hari yang mulai terasa saat menyentuh kulit, para murid dan volunteer masih tetap setia bermain bersama di halaman sekolah yang berlatarkan Gunung Batur.
Ada yang saling mengejar satu sama lain. Ada yang bermain “meong-meong”. Ada juga yang bermain bola. Ada yang duduk santai sambil bercengkrama satu sama lain dan menikmati lukisan alam yang indah dari Tuhan di ujung sana, Gunung Batur.
“Kakak ini asalnya dari mana?” tanya salah satu murid yang duduk bersama volunteernya.
“Kakak asalnya dari Jakarta, Dik.” jawab volunteer itu ramah.
“Jakarta itu di mana ya, Kak? Jauh gak dari sini?” tanyanya lagi, penasaran.
“Gak jauh kok, Dik. Cuman 1,5 jam lebih perkiraan..”.
“Oh… berarti jauhan rumah saya dong ya dari Jakarta,” jawab murid itu lugu.
“Loh, emang rumah kamu di mana? Emang berapa lama dari sini ke rumah?” tanya volunteer itu penasaran.
“Saya dua jam, Kak. Ini ada temen saya yang jalan kaki sampai enam jam sekali jalan.”
Campur Aduk
Seketika rasa sedih bercampur aduk dengan prihatin jadi satu membuat volunteer 1000 Guru Bali itu tak dapat berkata-kata. Rumah berbeda pulau dan jarak tempuh berbeda. Tetapi memakan waktu yang berbeda. Jakarta yang lebih jauh ternyata lebih cepat dibandingkan rumah anak-anak di Bali ini. Tidak adil rasanya..
Ya, walaupun pesawat adalah di balik jawabannya. Kata-kata murid tadi berhasil menyentuh hati volunteer itu.
Sambil menunggu utdoor teaching selesai, para volunteer yang berprofesi sebagai dokter dan mahasiswa Fakultas Kedokteran dipersilakan untuk mengadakan pengobatan gratis bagi para masyarakat di sana. Masyarakat menyambut hangat kehadiran para dokter. Sebab, di daerah ini cukup sulit untuk mencarinya. Hanya ada satu puskesmas yang cukup jauh dari tempat ini.
Tak hanya itu, masyarakat di sini sangat kesulitan untuk mendapatkan air bersih. Mereka sering kali menampung air hujan yang nantinya akan digunakan. Hanya itu cara satu-satunya agar mereka bisa tetap bertahan hidup.
Saat itu, ada beberapa volunteer yang pergi ke rumah warga untuk mencari air wudhu dan sekadar untuk membersihkan tangan-kaki karena tidak adanya air di sekolah. Apa yang mereka lihat? Ada pemandangan menarik dan asing yang mereka dapat, alat untuk menampung dan menyaring air hujan yang dibuat sendiri oleh warga sana.
Pemandangan yang sedikit asing bagi volunteer yang terbiasa hidup di perkotaan. “Ya ini kita nampung air hujan Gek lalu disaring biar bisa dikonsumsi sama untuk mandi juga,” kata warga pemilik rumah itu. Ya, pemandangan menarik yang akan sangat jarang di temui di kota berhasil menghipnotis dan mencuri perhatian para volunteer.
Setelahnya, ada sesi di mana para murid wajib menulis impiannya pada “pohon impian” yang sudah dipersiapkan oleh volunteer. Impian yang mereka tulis di kertas yang menyerupai bentuk daun nantinya akan ditempel di “pohon impian” yang di tempel di dinding.
Ada beberapa dari mereka yang masih belum tahu apa mimpinya. Ada di antara mereka yang mengikuti impian teman-temannya. Banyak pula yang sudah yakin dengan mimpi-mimpinya. Dokter dan guru adalah impian terfavorit dari seluruh murid di sana.
Sesi selanjutnya adalah sesi terfavorit para volunteer di mana mereka diberikan waktu untuk berbicara hati ke hati dengan para murid. Banyak ragam cerita dari mereka di sini. Ada yang terdengar lucu namun selebihnya adalah cerita sedih yang terlintas dari murid-murid di sana. Anak-anak kecil polos nan lugu itu bercerita tentang bagaimana kondisi dan situasi mereka di rumah. Banyak yang bercerita jika mereka harus jauh berjalan kaki menuju sekolah. Seperti sebelumnya, ada yang harus berjalan kaki sekitar enam jam hanya untuk datang ke sekolah.
Begitu hebatnya mereka mengejar ilmu walau dengan kondisi tidak memadai. Ada sebagian murid yang sudah harus bekerja bersama orang tuanya hanya untuk memenuhi rasa perut yang lapar. Cerita-cerita dari merekalah yang setidaknya membuka pikiran dan menyentuh hati para volunteer. Ini membuat mereka berpikir betapa beruntungnya mereka yang sekarang ada di posisi lebih beruntung.
Penyerahan Donasi
Senyum sumringah itu masih terukir jelas pada wajah murid-murid di sana walaupun kegiatan mengajar sudah usai. Para volunteer 1000 Guru Bali mempersiapkan donasi berupa tas dan hadiah-hadiah lainnya sebelum kembali ke Denpasar. Sorak-sorai terdengar jelas dari para murid yang sudah tidak sabar untuk menerima donasi tersebut. Saking bersemangatnya, ada pula yang sampai berebutan.
Tetapi itulah anak-anak, tak ada habisnya jika berbicara tentang rasa semangat.
Ucapan terima kasih terlontar saat donasi itu mereka terima dengan tangan terbuka. Rasa gembira dan syukur di bawah teriknya matahari membuat siapapun tersenyum jika melihatnya. Acara terakhir yaitu pelepasan balon-balon sebagai tradisi dari komunitas ini. Ada yang berlari, berebut, dan melompat untuk meraih balon-balon itu lalu memecahkannya bersama-sama. Tawa dan teriakan bahagia terdengar jelas di telinga sehingga tak terasa sudah waktunya untuk pulang ke Denpasar.
Bagi mereka, cara untuk bahagia itu bisa di dapat di mana saja dan kapan saja. Bahagia yang mereka dapat adalah bahagia dengan cara yang sangat sederhana tetapi bermakna di hati. Tidak perlu alat canggih untuk membuat mereka tertawa bahagia dan bersyukur, tetapi hanya bermain bersama teman-teman di sekolah layaknya anak-anak pada usia umumnya dengan permainan tradisional Indonesia. Semangat mereka akan selalu di kenang bagi siapa saja yang menyaksikannya. [b]
Hahaha