Oleh Luh De Suriyani
Saya yakin sekali, pusat makanan enak itu ada di pasar tradisional seperti halnya Pasar Badung di jantung Denpasar yang dikelilingi Jl Gajah Mada, Jl Sulawesi, Jl Hasanudin, dan Jl Thamrin. Makanan di pasar tidak hanya rasanya orisinal tapi juga harganya murah dan banyak variasinya.
Dan, inilah salah satu makanan enak itu: bakso kare Pak Min. Nama lengkap pedagangnya Imin, dari Solo, Jawa Tengah. Merek Bakso Solo cukup banyak di seputar Denpasar. Tapi Pak Min memilih tidak latah menggunakan nama Solo di papan nama warungnya. Dia hanya menuliskan Bakso Pak Min. Warung ini adanya di lantai tiga Pasar Badung di sisi selatan, tempat banyak penjual makanan ada di sana. Ini Bakso paling unik yang pernah saya temui. Bakso ini tidak menggunakan kuah bening seperti umumnya bakso lain, tapi kuah kare. Jadi kuah bakso Pak Min berwarna kuning dan bersantan. Sebab salah satu unsur penting dalam memasak kare adalah kunir untuk memberi warna kuning serta santan untuk membuatnya gurih dan kental.
Karena keunikannya ini, banyak orang rela antri. Ketika warungnya mulai buka sekitar pukul lima pagi, sejumlah pembeli mulai antri. Sebagian besar pembeli pagi adalah buruh pasar yang telah mulai bekerja dari sore hingga dini hari. Maklum, sepagi itu mereka sudah lapar dan setia menunggu santan kare yang tengah dihangatkan.
Hmm, makan bubur kare bakso pagi hari memang pas. Pak Min menyediakan dua menu, bakso kare dan bakso kuah bening. Untuk membuat lebih perut kenyang bisa nasi, bubur, atau tipat alias ketupat. Harga rata-rata Rp 4000 alias empat ribu perak. Dengan harga itu pembeli bisa mendapat satu mangkuk bakso dengan sepuluh biji bakso seukuran jempol kaki orang dewasa dan, tentu saja, berkuah kare. Cukup murah.
Campuran bakso biasa seperti mie, sayur ijo, tahu, dan bumbu ditata di mangkuk. Ditambah tipat– yang dimasak berbungkus daun kelapa, bukan plastik- lalu diguyur bakso dan kuah santannya. Terakhir bisa diisi keripik kalau suka. Guyuran dan aroma karenya yang bikin nggak tahan pembeli kalau antri lama. Santannya kental dan cukup berminyak. Bumbunya pekat. Tapi jika tak suka rasa pekat, kuahnya bisa dipilih kuah bening, seperti kuah bakso biasa.
Tak hanya rasa makanan yang disuka dari warung Pak Min ini. Keramahan dan rendah hatinya menjadi pendukung ramainya warung. Mungkin karena dia sudah lebih dari 25 tahun jualan di sana. Bahasa Bali-nya pun sangat lancar. Bahasa tentu faktor penting untuk membantu ramah tidaknya pelayaknya.
Tak hanya pada pembeli, ia pun dengan sabar terlihat melayani obrolan seorang nenek dalam bahasa Bali, ketika dia tengah sibuk melayani pembeli yang hampir selalu memenuhi tempat duduk warungnya. Ketika tangannya menuangkan kuah, ia masih bisa tertawa mendengar omongan pelanggannya. Sejumlah pengemis cilik yang wara-wiri di lokasi warungnya juga kerap ditawari makanan. Ia tak suka memberi uang pada kawanan nak ngidi-ngidih cilik itu. “Mending dikasi makan, biar tidak kelaparan,” ujarnya.
Satu panci ukuran besar tempat karenya biasanya sudah kosong sekitar pukul 12. Padahal, jam segitu, semakin banyak orang yang datang untuk makan siang. Cepatnya habis dagangan karena Pak Min juga melayani order, dengan membawakan bakso langsung ke tempat pembeli. Kebanyakan adalah pedagang di lantai I dan II Pasar Badung yang tak bisa meninggalkan dagangannya.
Banyak pelanggan yang mendesaknya untuk buka cabang di luar pasar atau menambah dagangannya. Dengan halus, ia menolak. Ia beralasan agar ia dan pegawainya bisa istirahat. Padahal di seputaran Denpasar, kayanya belum ada bakso kare seperti buatannya. Bakso istimewa di pasar tradisional. [b]
makanan bali memang mantaf….jadi pengen kembali nostalgia enaknya tipat tahu, rujak pindang, penyet borobudur, dan buanyak lagi….