Sekitar 2,7 juta turis yang selalu datang ke Bali akan berpindah tempat.
ForBALI bersama Penggak Men Mersi mengadakan seminar bersama. Dalam seminar bertemakan Bincang-bincang Dampak Reklamasi Teluk Benoa ini hadir dua narasumber, Ketut Sarjana Putra dan Ida Pedanda Sebali Tianyar Arimbawa.
Masing-masing membicarakan soal dampak reklamasi Teluk Benoa yang saat ini mulai dialihkan oleh berbagai isu yang sangat bertolak belakang. Dalam pemaparannya, Ketut Sarjana memaparkan tentang dampak reklamasi Teluk Benoa tidak hanya terhadap lingkungan sekitar namun juga dampak terhadap pariwisata bali.
Bali memiliki potensi ekonomi luar biasa dari keanekaragaman hayati di laut Bali. Pada data yang dihasilkan tahun 2012, Bali memiliki keanekaragaman hayati 420 spesies karang yang menciptakan terumbu.
Karang karang-karang bawah laut inilah yang menyuplai pasir-pasir putih di pantai-pantai Bali. Sebagai daerah dengan keanekaragaman hayati tinggi, dan juga sebagai pulau kecil, Bali harus dikelola dengan hati-hati.
Oleh karena itu, rencana reklamsi Teluk Benoa, menurutnya akan berdampak besar kepada parwisaita bali. Reklamasi menurutnya akan menyebabkan hancurnya ekosistem laut dan terumbu karang yang ada di sekitar kawasan perairan Teluk Benoa.
Sarjana menjelaskan, gerakan air teluk energinya rata karena ada mangrove sehat. Kalau seandainya mengubah bentang alam Teluk Benoa dengan melakukan reklamasi maka ini seperti gelas berisi air yang kemudian diisi batu. Air itu akan tumpah dan menyasar daerah yang lebih rendah.
Hasil pemodelan Conservation International menjelaskan bahwa apabila dilakukan reklamasi di Teluk Benoa seluas 80% maka, perubahan ketinggian air yang terjadi sangat signifikan. Jika air pasang tinggi maka hujan selama 4 jam saja, air di dalam teluk akan naik 4 meter.
“Ke mana 4 meter air ini akan dialirkan? Air akan mengalir ke tempat lebih rendah itu sudah pasti dan yang akan menjadi korban atau berpotensi banjir adalah daerah sekitar teluk dengan ketinggian 0-2 meter seperti Sidakarya, Suwung, Tanjung Benoa dan yang lainnya,” ujar Sarjana.
“Akan terjadi backwash air permukaan yang tak bisa lari, atau rob yang bisa menyebabkan banjir? Bagaimana Bali mengatasinya di masa depan?” tanya Sarjana.
“Kalau ini terjadi setiap saat, bukankah kita punya masalah banjir setiap tahun, sama seperti masalah yang dihadapi oleh Kampung Melayu di Jakarta,” Sarjana melanjutkan.
Karena itu, Sarjana mengingatkan, “Bila sudah banjir tiap tahun, apakah turis masih datang ke Bali? Bukankah akan beralih dari Bali dan mencari tempat di luar Bali yang jauh lebih bagus.”
Tidak hanya soal banjir rob, Wakil Presiden Conservation International ini juga menjelaskan dampak reklamasi terhadap keanekaragaman hayati laut. Reklamasi akan menyebabkan terumbu memutih akibat sedimentasi, lalu karang akan mati sehingga kita tidak punya produsen pasir putih.
Tidak hanya itu, matinya terumbu karang juga akan berdampak pada hilangnya tempat menyelam. Kalau reklamasi dilakukan maka karang tempat nursery dan rumah ikan karang yang menjadi aset pariwisata akan terkorbankan.
Sarjana memberikan alasan kenapa dia menentang reklamasi pada tahun 1995 karena reklamasi berdampak buruk dan menyebakan hilangnya 2 dive spot di Sanur. Dulu gampang di Sanur gampang cari tamu, tidak perlu susah cari tamu karena lokasi dive spot dekat tak perlu pake speedboat. “Bahkan mahasiswa bisa mempelajari karang dengan mudah karena biaya murah,” ujar Sarjana
“Kalau keanekaragaman hayati laut kita rusak, kita akan kehilangan kesempatan ekonomi yang besar. Kalau karang rusak, secara berkelanjutan kita kehilangan karang yang menyediakan natural barrier yang alami karena dapurnya hilang,” kata Sarjana.
Ketika banjir sudah terjadi setiap tahun di Bali dan keanekaragaman hayati laut kita rusak, bukankan 2,7 juta orang yang selalu datang ke Bali akan berpindah tempat.
“Ini akan menyebabkan kerugian besar bagi pariwisata Bali,” tutur Sarjana. [b]