Oleh Anton Muhajir
Dengan tubuh kurus, dada terbuka, dan leher berkalung tulisan HIV, Alex keluar dari tali rafia yang diibaratkan sebagai penjara. Dia bertemu Mega, istrinya, di luar. Namun ketika tahu bahwa Alex sudah tertular HIV, Mega menceraikan mantan pengguna narkoba itu. Tidak siap menghadapi kondisi tersebut, Alex kembali menggunakan narkoba lalu masuk penjara lagi. Tapi bukannya berhenti, Alex malah makin bebas menggunakan narkoba di penjara. Sebab peredaran narkoba di penjara justru lebih banyak dibanding di luar.
“Penjara sebagai pemberi efek jera telah gagal. Karena itu sudah seharusnya pemerintah memikirkan ulang vonis penjara sebagai hukuman bagi pecandu narkoba. Pecandu seharusnya masuk rehabilitasi, bukan penjara,” teriak Wahyu, sang narator, melalui pengeras suara.
Adegan Alex bersama Mega adalah bagian dari aksi teatrikal Ikatan Korban Napza (IKON) Bali pada Minggu (24/6) sore lalu di Lapangan Renon Denpasar. Selain aksi teatrikal, sekitar 50 pecandu aktif maupun mantan pecandu itu juga melakukan aksi bersih lingkungan dan pameran ratusan surat seruan pecandu. Menurut Koordinator IKON Bali IGN Wahyunda, aksi tersebut sebagai bagian dari upaya untuk menuntut diterapkannya vonis rehabilitasi bagi pecandu.
Memperingati Hari Anti Narkoba Internasional pada 26 Juni ini, salah satu wacana yang mengemuka di Bali memang tentang perlunya vonis rehabilitasi bagi pecandu narkoba. Wacana ini gencar dikampanyekan IKON, kelompok yang terdiri dari pecandu maupun mantan pecandu narkoba di Bali sejak Desember 2006 lalu.
Menurut Wahyunda, tuntutan agar pemerintah segera menerapkan vonis rehabilitasi berdasarkan pada fakta bahwa penjara tidak bisa lagi menanggulangai peredaran gelap narkoba. “Sudah jadi rahasia bahwa penjara merupakan tempat peredaran gelap narkoba paling bebas dan aman. Makanya ada anekdot bahwa maling ayam dipenjara pun bisa berubah jadi junkie (sebutan lain untuk pecandu narkoba),” kata Wahyu yang juga pernah masuk penjara itu.
Tudingan Wahyu itu dibenarkan beberapa pecandu narkoba yang pernah masuk penjara. Tidak hanya menggunakan, sebagian di antara mereka juga menjual narkoba, terutama heroin di dalam Lapas Kerobokan Denpasar.
Lapas Kerobokan merupakan penjara terbesar di Bali. Kapasitas Lapas Klas IIA ini adalah 320 orang. Namun menurut data Lapas Kerobokan, saat ini terjadi overkapasitas hampir 300 persen. Dari jumlah tersebut, 60 persen adalah kasus narkoba.
Mudahnya pemakaian narkoba ini tidak didukung ketersediaan alat untuk menggunakan narkoba, terutama jenis heroin, yaitu jarum suntik. Terjadilah pemakaian jarum suntik secara bergantian di antara sesama pengguna narkoba di penjara. Tidak heran jika human immunodeficiancy virus (HIV), virus penyebab acquired immune deficiency syndrome (AIDS) atau sindrom menurunnya sistem kekebalan tubuh, pun dengan mudah menular dari satu pecandu ke pecandu lain di penjara.
“Pengguna narkoba terutama yang menggunakan jarum suntik cenderung berisiko tertular atau menularkan penyakit melalui darah seperti HIV/AIDS dan hepatitis C,” kata dr AA Gede Hartawan, dokter di Lapas Kerobokan. Pada tahun 2000 lalu, tes darah acak (sero survey) yang dilakukan Dinas Kesehatan Bali di Lapas Kerobokan memperlihatkan hasil adanya 35 penghuni Lapas Kerobokan yang positif HIV. Pada 2007 ini hanya ditemukan 7 orang positif HIV dari 203 orang yang dites darahnya secara acak.
Di Bali sendiri, hingga Maret 2007 lalu, jumlah kasus HIV/AIDS di Bali sebanyak 1400 kasus. Dari jumlah tersebut, 46 persen dari kalangan heteroseksual, 40 persen dari kalangan pecandu narkoba, 8 persen dari homoseksual, 6 persen tidak diketahui, dan 0,9 persen dari kelahiran. Artinya pecandu narkoba masih jadi penyumbang terbesar kedua setelah penularan melalui heteroseksual.
Kondisi inilah yang membuat Wahyu dan ribuan pecandu di Bali kini meminta agar vonis rehabilitasi bisa diterapkan. Apalagi berdasarkan survey mini IKON Bali pada Desember 2006 lalu 77 persen pecandu narkoba mengaku tidak lebih baik setelah dipenjara. Meski begitu mereka sebagian besar dipenjara lebih dari sekali akibat pemakaian narkoba.
Memperjuangkan Vonis Rehabilitasi
Menurut Wahyu hukuman penjara berawal dari perspektif bahwa pecandu narkoba adalah pelaku tindak kriminal. Padahal, lanjutnya, pecandu narkoba hanyalah korban dari peredaran gelap narkoba. “Kami tidak mendapat keuntungan apapun ketika menggunakan narkoba. Para bandarlah yang untung. Lalu kenapa harus selalu disalahkan?” tanya bapak satu anak ini.
Tuntutan vonis rehabilitasi itu sendiri sebenarnya tidak terlalu muluk. Sebab Undang-undang No 22 tahun 1997 tentang Narkotika sebenarnya sudah memungkinkan adanya vonis rehabilitasi bagi pecandu narkoba seperti disebut Pasal 45 serta Pasal 47 ayat a dan ayat b. Kedua pasal itu menyebut bahwa hakim berhak menjatuhkan vonis rehabilitasi jika seorang tersangka kasus narkoba terbukti sebagai pecandu.
Namun meski sudah ada UU yang mengatur, nyatanya belum ada yurisprudensi hukuman rehabilitasi bagi pecandu narkoba. “Hampir semua vonis bagi pecandu narkoba adalah hukuman penjara bukan hukuman rehabilitasi,” kata Wahyu.
Karena itu IKON Bali masih terus memperjuangkan agar vonis rehabilitasi itu bisa segera diterapkan. Dalam beberapa kali aksinya, termasuk ketika memperingati Hari HAM Sedunia 10 Desember lalu, IKON Bali juga melakukan aksi damai ke Pegadilan Negeri Denpasar dan Kejaksaan Negeri Denpasar. Tuntutannya selalu sama, mewujudkan segera vonis rehabilitasi.
Selain melalui aksi damai, semiloka pun sudah pernah dilakukan untuk membahas teknis vonis rehabilitasi tersebut. Semiloka itu melibatkan hakim, psikiater, dokter, pecandu, dan pihak pemerintah. Sayangnya belum ada hasil jelas dari semiloka tersebut. “Salah satu kendala yang dihadapi hakim adalah karena belum adanya tempat rehabilitasi yang representatif bagi pecandu narkoba yang divonis untuk mengikuti rehabilitasi,” ujar Wahyu.
Karena itu, lanjutnya, perjuangan mewujudkan vonis rehabilitasi itu masih panjang. [+++]