Penulis: Rain
Banyak mobil, banyak maut, artinya banyak rezeki, oek. Pariwisata Bali bangkit. Inilah cuplikan pembicaraan saya dengan beberapa pengemudi aplikasi online setiap hari saya melintas by Pass Sanur-Pelabuhan-Sanur untuk kegiatan sehari-hari saya. Jarak 3 kilometer yang biasa saya tempuh selama 10 menit, kini berganti menjadi 30 menit karena padatnya kendaraan khususnya di jam-jam padat.
Saya merasa terguncang karena tampaknya kemautan ini dinormalisasi, bahkan alih-alih dijadikan tolak ukur keberlangsungan ekonomi pariwisata yang selama ini menjadi tulang punggung perekonomian. Saya merasa bingung dan resah, terutama sebagai warga lokal yang tidak bisa mengendarai dan memilih tidak mengemudi. Saya tidak punya banyak opsi.
Banyak yang hilang Sanur berubah, tapi banyak juga yang bilang, “ya ini kan dampak Bali yang berkembang sejak pandemi ya terima sajalah”. Tadinya saya berpikir, Sanur adalah pengecualian karena dengan reputasinya sebagai “kawasan pensiun” atau “wisata sepuh” yang tenang dan aman untuk keluarga.
Sanur tidak mengalami gratifikasi, urbanisasi, dan perubahan pesat seperti kantong-kantong konservasi ekonomi pariwisata baru seperti Canggu, Pererenan, Seseh dan Ubud yang marak dibicarakan dan disoroti berbagai media akhir-akhir ini. Ternyata perubahan Sanur datang juga di Sanur.
Padahal Sanur merupakan gerbang pariwisata pertama Bali dibuka untuk dimana di awal tahun 1960-an. Kala ini dan berdasarkan cerita-cerita orang tua, Pantai Sanur masih asri, pesisir dipadati aktivitas nelayan. Perlahan pembangunan resort dan hotel/guest house berkembangdan menjadikan Sanur sebagai kawasan wisata yang terbilang “adem ayem” dibanding wilayah lain.
Pasca pandemi kerap saya mendengar narasi masterplan dan wacana membangun Sanur melalui wonsup wellness pendirian pelabuhan, shopping mall, beach club mingga wondaminium. Perlu diingat bahwa saya mendukung perubahan dan modernisasi dalam kadar yang tepat dan untuk urgensi dan pemanfaatan yang sebaik-baiknya.
Akhir-akhir ini saya merasa tersesat karena sebenarnya pembangunan ini berorientasi kepada apa? Siapakah yang diuntungkan? Saya yakin kemacetan dan arus lalu lintas hanyalah satu dampak dari pembangunan yang rasanya terlalu cepat, masih banyak aspek lain yang mungkin tidak bisa saya curahkan satu persatu. Kesempatan ini saya jadi bertanya-tanya apakah para developer perubahan kebijakan, pemodal memikirkan tentang bagaimana project mereka mempengaruhi dampak lalu lintas? Apakah ini sebuah pemikiran yang bisa diubah di masa depan? Atau memang jalan yang maut maraknya bangunan ini adalah tolak ukur keberhasilan ekonomi pariwisata kita?
Akhir-akhir ini saya merasa tersesat karena sebenarnya pembangunan ini berorientasi kepada apa? Siapakah yang diuntungkan? Saya yakin kemacetan dan arus lalu lintas hanyalah satu dampak dari pembangunan yang rasanya terlalu cepat, masih banyak aspek lain yang mungkin tidak bisa saya curahkan satu persatu. Kesempatan ini saya jadi bertanya-tanya apakah para developer perubahan kebijakan, pemodal memikirkan tentang bagaimana project mereka mempengaruhi dampak lalu lintas? Apakah ini sebuah pemikiran yang bisa diubah di masa depan? Atau memang jalan yang maut maraknya bangunan ini adalah tolak ukur keberhasilan ekonomi pariwisata kita?