Oleh Komang Sudiartha
Peristiwa ini terjadi pada Minggu, 22 Juli 2007 lalu. Saat itu keluarga besar kami, termasuk saya, bersama anak-anak berjumlah 21 orang mengadakan sembahyang ke pura Goa Lawah di Kabupaten Kungkung (Semarapura). Kami memilih Minggu karena hari libur sekolah dan bisa mengajak anak-anak agar ikut sembahyang untuk memohon keselamatan.
Pada hari itu kami berangkat pukul 9 pagi dari Denpasar melalui Jl By Pass Prof Ida Bagus Mantra dan tiba di pura pada pukul 10 siang. Sampai di sana kami pertama kali sembahyang di lokasi di depan pura Gowa Lawah. Kedua sembahyang di pantai. Terakhir kami sembahyang pada area pura Gowa Lawah.
Seperti biasanya pemedek (umat Hindu yang akan melakukan sembahyang) di pura ini cukup banyak, apa lagi hari libur. Panitia penyelenggara ’piodalan’ sudah mengantisipasi supaya persembahyangan dapat berjalan dengan tertib dan khidmat.
Hal itu dapat dilihat dari ada pembagian kartu untuk para pemedek yang akan melakukan persembahyangan di pura Gua Lawah tersebut. Sesuai info dari pengayah (panitia), mereka menyiapkan empat warna kartu (merah, kuning, biru, putih) masing-masing seribu lembar. Namun kenyataannya kartu yang ada tidak sedemikian banyak. Mungkin karena ada pemedek yang sembahyang pada hari sebelumnya membawa pulang kartu tersebut.
Pada hari Minggu tersebut, saya bersama keluarga menanyakan kepada panitia di mana kami bisa mendapatkan kartu sebagai tanda giliran kami untuk sembahyang. Mereka bilang harus antre di luar tembok. Namun di sana sudah terlihat banyak orang yang berdesakan dan berebut dengan yang lainnya hanya untuk mendapatkan kartu itu.
Anehnya lagi, kartu yang akan dibagikan itu masih harus menunggu dari para pemedek lain yang sudah mendapatkan kartu. Setelah pemdek itu masuk ke areal pura, kartu itu diambil lalu dibagikan lagi kepada pemedek yang antri.
Banyak di antara mereka bertanya-tanya. Kenapa harus membagikan kartu dari tembok pembatas pura? Kenapa harus menunggu sampai pemedek lain masuk, baru kartu itu diminta dan dibagikan lagi kepada yang antri di luar pura?
Bisa dibayangkan situasi saat itu. Orang berdesakan dan berebutan hanya untuk mendapatkan kartu agar bisa masuk ke areal pura dan sembahyang. Ada yang terjepit. Ada yang sudah dapat kartu namun tidak bisa keluar karena didesak dari belakang.
Hal ini membuat suasana menjadi emosi. Pemedek yang datang ke pura hanya bersama anak, perempuan, dan orang tua, tidak mungkin bisa turut berebutan dan berdesakan untuk mendapatkan kartu tersebut.
Akhirnya karena sudah sampai pukul 13.30 Wita situasi semakin memanas. Emosi pemedek sudah tidak bisa dibendung. Sebagian dari yang antri berdesakan tersebut meminta pada pengayah agar sembahyang dapat dilakukan dari luar pura (bukan di depan pura Goa Lawah), bisa dari areal madya pura (area pertengahan) dan jaba pura (di luar pura). Saya sekeluarga pun sembahyang di areal madya pura. Setelah selesai sembahyang kami sabar menunggu agar mendapatkan tirta (air suci) dari para pemangku yang ngayah ada di pura tersebut.
Belum lagi kami dan banten (sarana upacara) dipercikkan tirta, datang seorang panitia dengan membawa kardus, ke areal banten yang kami haturkan, mengambil ’sari’ (uang) dari banten yang kami haturkan. Serentak para pemedek berteriak, “Hei, banten kami belum dapat tirta, sudah diambil sarinya.” Dengan malu panitia itu pergi, lalu memanggil pemangku untuk memberikan tirta.
Hal yang perlu diperhatikan di sini adalah kalau ada sistem pemberian kartu untuk para pemedek supaya bisa antri dengan santai hal ini sangatlah baik, agar para pemedek tidak berdesakan apabila memasuki areal pura apalagi kalau mengajak balita.
Namun, sebaiknya dibuatkan kartu lebih banyak untuk mengantisipasi jumlah pemedek yang tidak bisa kita prediksikan. Contoh, pada areal pura bisa menampung seribu orang pemedek. Maka dibuatlah kartu sebanyak warna yang ada (merah, kuning, hijau, biru, putih, hitam, dll) masing-masing seribu, dan bisa juga diberikan hurup pada kartu tersebut. Misal merah dengan huruf A, kuning huruf B, agar memudahkan para pemedek (karena kalau malam hari warna akan sedikit mengacaukan mata). Untuk jumlah banyak orang, setelah kartu pertama digunakan lalu dikumpulkan, dan diputar lagi untuk berikutnya.
Dan pembagian kartu janganlah di tembok pagar pura karena bisa merusak tembok. Sebaiknya ada satu tempat agar lebih tertib dan tidak saling berebutan. Harap juga ada tanda sebagai informasi di mana kartu itu bisa didapatkan.
Pengalaman saya yang kemarin semoga tidak terulang lagi di masa mendatang dan di pura-pura lainnya. Agar pemedek bisa sembahyang dengan tenang. [b]
beritanya udah bagus tapi kalau bisa dilengkapi dengan photo terbaru.