Teks Agung Pushandaka, Foto Ilustrasi Internet
Jumat (13/11) lalu saya makan siang di daerah jalan Teuku Umar Denpasar. Di antara sekian banyak toko handphone dan toko elektronik lainnya di jalan itu, terselip sebuah tempat makan yang saya lihat dari luar bukanlah sekelas warung apalagi kaki lima. Lagipula, saya pernah mendengar nama restoran ini waktu saya berkunjung ke Surabaya walaupun belum pernah mengunjunginya. Namanya: Rawon Setan.
Apalagi kemudian di dinding restoran itu terpampang sejumlah foto selebritis nasional yang mungkin pernah berkunjung ke restoran itu. Tidak tahu restoran yang di Denpasar atau mungkin yang di Surabaya. Yang pasti, ada foto-foto itu. Artinya, restoran ini bukan restoran sembarangan.
Tapi, saya tidak akan membahas tentang makanannya yang menurut saya juga standar saja, tidak ada yang istimewa. Saya lebih ingin menyampaikan kekesalan saya sewaktu saya mau bayar makanan pesanan saya di kasir. Mbak kasir yang jauh dari cantik, berusaha menyapa saya ramah. Total harga makanan yang saya pesan adalah Rp 22.500.
Saya rogoh isi dompet. Sepertinya saya punya uang sejumlah Rp 23.000. Tapi setelah saya keluarkan selembar demi selembar, ternyata uang itu cuma Rp 22.000, kurang Rp 500 dari total harga yang harus saya bayar.
“Itu saja, biar pas,” ujar si mbak kasir menunjuk uang Rp 22.000 saya.
“Uang ini cuma Rp 22.000, kurang 500 lagi,” jawab saya.
Si mbak dengan entengnya berujar, “Ya ditambah 500 lagi, dong!”
Anak SD juga tahu, uang saya kurang Rp 500 lagi. Tapi karena saya tidak punya uang pas mau bagaimana lagi. Maka kemudian saya keluarkan selembar uang Rp 100.000. Si mbak kasir menerimanya dan mulai mencatat transaksi itu di mesin kasir. Setelah itu, dia memberikan sisa uang saya. Tapi cuma Rp 77.000.
“Yang 500 lagi mana?” tanya saya.
Sialnya, dengan enteng dia berkata, restoran mewah itu ndak punya recehan 500 untuk membayar sisa uang saya. Loh, kok dia seenak udelnya sendiri mau mengembalikan uang saya sejumlah uang yang dia punya? Maka saya pun cuma bisa berujar, “Ya cari dulu, dong!”
Entah memang si mbak itu bodoh atau tidak peduli dengan rasa nyaman yang harus diperoleh pengunjung, dia pun berteriak-teriak ke sesama karyawan di sana untuk menanyakan apakah di antara mereka ada yang punya uang koin Rp 500 yang saya minta. Ternyata nihil, tidak ada yang punya uang yang menjadi hak saya.
Maka kesimpulan saya kemudian adalah, dia ini sudah bodoh, juga tidak peduli dengan perasaan pengunjung restoran. Kalau memang niat melayani pengunjung, di jalan Teuku Umar terdapat ratusan tukang parkir yang mungkin mempunyai uang Rp 500. Tapi si mbak tadi cuma bisa tersenyum dan bilang, “Ndak ada mas uang 500-nya. Anggap saja saya berhutang 500?
Benar kan? Dia ini orang bodoh? Berhutang sama orang kok sombong? Trus, kalau dia boleh berhutang Rp 500, kenapa saya diminta menambah uang Rp 500 waktu saya menunjukkan uang Rp 22.000 di awal tadi? Semestinya, saya juga boleh donk membayar cuma Rp 22.000 dengan alasan saya tidak punya uang receh Rp 500??
“Ndak benar nih!” umpat saya kepadanya. Belum lagi, ndak ada sepatah kata maaf pun dari mulutnya.
Sebagai orang yang berpendidikan, saya memilih tidak memperpanjang masalah ini. Bermasalah di restoran seperti itu akan menurunkan derajat saya sebagai pengunjung yang seharusnya dihormati. Saya pun memilih pergi meskipun si mbak itu menawarkan selembar uang Rp 1000 untuk menyenangkan hati saya. Saya menolaknya dan melangkah pergi dengan uang kembalian sebesar Rp 77.000.
Saya cuma bisa mengumpat dalam hati, “Saya minta uang 500 saya, bukan 1000. Saya ndak mau dibebani hutang Rp. 500 dari restoran semacam ini. Dasar setan!!”
Hehe! Menyesal banget saya datang ke sana..[b]
Tulisan diambil dari blog Agung Pushandaka. Foto dari sini.
wah, wah, kasusnya bagus, tapi apakah ini bahasanya orang berpendidikan (penulis sendiri yang menyebutkan)? dengan menyebut orang lain bodoh berulang kali dan menyebut diri dengan berpendidikan. saya cuma mau merenungi? apakah benar demikian seharusnya bertutur sebagai orang berpendidikan?
Terima kasih untuk komentar dan kritiknya, mas. Akan jadi bahan renungan juga buat saya.
Walaupun saya blum bisa janji, ndak akan mengatai orang lain bodoh kalau saya diperlakukan seperti itu di depan banyak orang. Hehe!
Terima kasih. Salam kenal..
yah…ini semua buat pelajaran kita kadang ke egoisan kita lah bisa mengatakan hal ini.terimakasih