“Hyang Widhi..” (Tuhan Yang Maha Esa..) Ini kata terakhir saat malam naas itu.
Penyebutan yang tidak biasa. Penuh penyesalan seolah memeluk Tuhan yang begitu dekat. Tak ada yang tersisa, kecuali suara teriakan penolakan. Suara itu masih terdengar, hingga sekarang.
Malam 12 Oktober yang tak pantas diperingati. Menolak untuk melupakan bagaimana malam itu merapuhkan setiap sisi Bali. Termasuk harapan.
Seharusnya Jegeg (sebut saja begitu) tidak pentas malam itu. Ia mengaku tak ada gairah menari. Namun, alasan itu tak menjadi firasat keluarganya. Jegeg, gadis ranum yang baru menginjak 17 tahun harus merelakan tubuhnya untuk dikenang.
Ia memiliki jemari yang membuat penontonya terhipnotis. Seharusnya, Jegeg hari ini masih menari. Ya, mungkin ia masih menari, tetapi di surga.
“Saya sering lewat. Ada kepala ayah yang memanggil saya. Katanya Ayah lelah di sana..”
Seorang istri bercerita pada saya sepeninggal suaminya di malam naas 12 Oktober 2002. Ia menolak panggilan janda, sebab ia masih meyakini suaminya masih hidup dan tinggal bersamanya. Dalam bayang-bayang ilusi, sang suami sering minta dibersihkan, diangkat seluruh potongan tubuhnya dari tempat kejadian.
Sang istri hanya menyanggupi. Namun, sampai detik ini potongan tubuh itu entah berada di mana. Suaminya adalah satpam di kawasan Kuta, kebetulan melintas. Bapak dua anak itu tidak akan melintas kali kedua sebab tubuhnya tak utuh lagi.
Selain Jegeg dan seorang ibu yang saya ceritakan di atas, puluhan keluarga juga janda masih tidak bisa memaafkan prilaku keji pengeboman di Bali tahun 2002 dan kembali terjadi di tahun 2005.
Ketika saya berjumpa seorang anak berumur 12 tahun dan menarasikan tentang Bali yang pernah berduka, jawaban “Masa? Benarkah? Kakak sedang mengarang” yang saya terima. Saya hanya tersenyum.
Melihat Bali saat ini, mereka yang usianya masih belia akan menolak, tak percaya. Bali mungkin tidak menampakkan isak tangis yang luar biasa, sebab yang datang ke Bali selalu dipenuhi harapan kedamaian. Bali pernah berduka dan dipaksa menangis setiap kali ingatan tentang bom Bali itu muncul.
Sejak malam mencekam itu, Bali diliputi kecemasan. Banyak pekerja yang urung menafkahi keluarga sebab tak ada restu berangkat kerja. Ada pula yang kehilangan harapan, kehilangan tulang punggung keluarga, kehilangan generasi penerus satu-satunya, juga kehilangan ingatan bahkan kehilangan kewarasan.
Malam di sebuah pulau yang dinamai surga, seketika menjadi mencekam, di Paddy’s Pub dan Sari Club (SC) di Jalan Legian, Kuta, Bali, karena diguncang bom. Dua bom meledak dalam waktu yang hampir bersamaan yaitu pukul 23.05 Wita.
Lebih dari 200 orang menjadi korban tewas keganasan bom itu, sedangkan 200 lebih lainnya luka berat maupun ringan. Banyak saksi yang melihat daging dan potongan tubuh manusia bertebaran di mana-mana.
Tak mudah membangun jiwa Bali selepas tragedi Bom Bali. Harapan seolah tidak pernah ada. Langit yang senyatanya biru tetap mendung. Ada juga perempuan-perempuan yang terkurung dalam masa lalunya, selamanya. Tragedi kemanusiaan ini tidak akan pernah selesai. Sebab bagi mereka yang ditinggalkan, balas nyawa pun tak mampu menghapus kedukaannya.
Namun, pada Bali saya belajar tentang sebuah keikhlasan. Bali perlahan mulai bangkit mencari jati dirinya yang hilang. Bersama perempuan-perempuan tangguh yang meminum dukanya sendiri, mulai sadar bahwa segala hal adalah tentang karma dan phala. Bangun dari mimpi buruk kematian adalah pilihan satu-satunya.
Sekarang saya melihat janda-janda yang ditinggalkan sukses mengasuh buah hati titipan menjadi anak-anak tauladan. Perempuan-perempuan Bali korban bom Bali menjadi penggerak industri, membangun ekonomi keluarga dengan semangat dari sang pemilik semesta. Bali, saya bisa menemukan maaf dan damai pada setiap hati manusianya.
Kasus Hak Asasi Manusia yang juga menjadi perhatian dunia ini tidak dilupakan. Entah siapa yang bersalah juga belum jelas muaranya. Gosip tentang nama agama dan kepentingan juga bertebaran. Susah memercayai setiap intrik. Yang dipercayai manusia Bali adalah tentang kemarahan leluhur, tentang murka dewata sebab anak cucunya hampir gagal memelihara Bali dalam lingkar damai.
Bali belum banyak belajar dari kelam ini. Bali masih belum terhindar dari teror. Langkah membangun Bali yang Internasional dengan menggagahi laut dan semestanya sedang diperjuangkan.
Entahlah… Bali akan berubah wujud menjanjikan atau balik menyedihkan. Bali diprioritaskan untuk investor, wara wiri asing, gema dunia, lantas pemilik tanah Bali sendiri hanya menjadi penonton. Oh…jika membayangkan ini, semoga tidak pernah terjadi.
Warganya berbenah, menyucikan kembali setiap rupa dan laku, serta memohon ampun pada dewi pemelihara kesuburan. Bali kembali menemukan mata airnya. Bahkan, jauh lebih jernih dari saat 2002 yang luluh lantak.
Tak ada yang bisa disalahkan. Saya hanya meminta rawatlah Bali dengan segala kedamaiannya. Kami menerima setiap yang datang dengan harapan baik. Apapun latar belakang dan perbedaan yang dibawa, Bali bisa dihuni tanpa syarat. Hingga, Bali menjadi tujuan kemapanan.
Kami memiliki tradisi, hargailah. Kepercayaan kami biarlah menjadi urusan kami. Yang perlu dilakukan hanya menghargai. Sederhana sekali, bukan. Sama seperti kami yang berusaha memaafkan setiap luka yang katanya atas nama surga. Sekali lagi kami memaafkan. [b]