Oleh Luh De Suriyani
Ketika banyak perempuan merayakan Hari Kartini, sebagai hari kebangkitan perempuan Selasa (21/4) kemarin, Jero sibuk dengan gerobak sampahnya. Jero adalah perempuan positif HIV berusia 40 tahun. Ia bekerja sebagai pengangkut sampah di area Denpasar Timur, kawasan tempat tinggalnya. Ia tertular HIV dari suaminya yang telah meninggal lima tahun lalu.
Suma diketahui terinfeksi usai peristiwa penolakan warga untuk memandikan jenazah suaminya. “Saya sempat ditinggal keluarga yang melarikan diri setelah tahu suami saya katanya kena AIDS,” ujarnya dalam Bahasa Bali. Jero tidak bisa mengerti Bahasa Indonesia.
Setiap hari, Jero bekerja enam jam sehari untuk menarik gerobak sampah dari rumah ke rumah. Bau sampah tak pernah hilang dari tubuhnya.
Karena peristiwa penolakan warga memandikan jenazah suaminya itulah, Jero mendapat pendampingan dari seorang konselor. Mengingatkan minum obat anti retro viral (ARV) dua kali sehari dan melakukan pemeriksaan viral load.
“Pokoknya saya disuruh minum obat rutin, kalau ingin terus sehat. Saya tidak mengerti apa yang disebut AIDS,” ujarnya, Selasa, ketika beristirahat di depan rumahnya. Gerobak sampah itu membantunya hidup mandiri dengan penghasilan sekitar Rp 500.000 per bulan.
Hingga Februari ini Dinas Kesehatan Bali mencatat terdapat 767 orang perempuan telah terinfeksi HIV di Bali. Namun, Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Bali meyakini kenyataannya jauh lebih tinggi karena pekerja seks perempuan yang terinfeksi HIV saja diperkirakan sebanyak 1900 orang dari 3000 orang. Belum lagi jumlah istri atau pasangan ODHA laki-laki yang berisiko besar tertular.
“Jumlah yang dicatat pemerintah hanya yang berhasil dijangkau melalui skrining dan jangkauan LSM saja,” kata dokter Mangku Karmaya, Koordinator Pokja Humas dan Indormasi KPA Bali.
Ratusan perempuan positif lainnya diperkirakan belum terjangkau karena tidak mengetahui statusnya dan belum menunjukkan gejala khas fase AIDS seperti infeksi oportunistik.
“Selama delapan tahun bekerja mendampingi ODHA, kami baru bisa menjangkau 97 orang perempuan positif dan istri yang terdampak. Sangat sulit menjangkau karena stigma masing sangat tinggi,” ujar Putu Utami, Pendiri Yayasan Bali+, Selasa.
Selain Bali+ (baca Baliplus), memang ada sejumlah lembaga pendampingan Odha lainnya namun juga diperkirakan belum bisa menjangkau setengah perempuan positif di Bali.
Jumlah kasus HIV dan AIDS di Bali meningkat pesat hingga 2666 kasus hingga Februari ini. Faktor risiko terbesar dari hubungan heteroseksual yakni 1679 atau 63 persen. Diikuti injecting drug users sebanyak 26 persen, homo/biseksual 6 persen, dan perinatal 2 persen.
Faktor risiko dari kelahiran ini pertambahannya sangat tinggi tahun ini. Selama dua bulan saja, kasusnya bertambah 18 orang menjadi 46 kasus pada Maret ini. Padahal hingga akhir tahun lalu, jumlahnya 38 kasus.
Utami mengatakan menyelamatkan anak dari penularan HIV ibunya makin sulit lagi karena sikap penolakan dan tidak percaya telah terinfeksi virus yang menyerang kekebalan tubuh itu.
Hasil studi menunjukkan, bahwa perempuan dan remaja putri rentan terhadap HIV, karena lebih mudah tertular 2,5 kali dibanding laki-laki dan remaja putra. UNAIDS melaporkan bahwa 67 persen kasus baru HIV/AIDS di negara berkembang adalah kalangan usia muda 15-24 tahun. Dari jumlah tersebut, sebanyak 54 persen adalah perempuan dan remaja putri.
Kerentanan perempuan tertular HIV umumnya karena kurangnya pengetahuan mereka tentang bahaya HIV/AIDS. Ataupun kurangnya akses untuk mendapatkan layanan pencegahan HIV. Selain itu, secara biologis perempuan lebih berisiko tertular HIV jika melakukan hubungan seksual tanpa kondom, dibanding laki-laki.
“Ironisnya, di banyak daerah perempuan sulit melindungi dirinya dari infeksi HIV karena pasangan seksualnya enggan menggunakan kondom,” ujar Mangku Karmaya. [b]
Versi Bahasa Inggris tulisan ini ada di http://www.thejakartapost.com/news/2009/04/22/women-with-hivaids-need-help.html-0